Liputan6.com, Yogyakarta - Lahir dengan nama Raden Mas Mustahar, Pangeran Diponegoro merupakan seorang pahlawan nasional yang terus dikenang dalam buku-buku sejarah. Ia pernah memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada 1825 hingga 1830.
Mengutip dari berbagai sumber, nama Raden Mas Mustahar kemudian berganti menjadi Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Ketika ayahnya resmi naik takhta pada 1812 menjadi Sultan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono III, Raden Mas Ontowiryo dinobatkan sebagai pangeran.
Ia kemudian menyandang nama Pangeran Harya Dipanegara. Sejak saat itu, Raden Mas Ontowiryo dipanggil Pangeran Diponegoro.
Advertisement
Baca Juga
Pangeran Diponegoro merupakan putra Raden Mas Surojo atau Sultan Hamengkubuwono III dan seorang selir bernama Raden Ayu Mangkarawati, yang berasal dari Pacitan. Ia lahir pada 11 November 1785.
Pangeran Diponegoro dibesarkan dalam lingkungan istana yang sarat dengan nilai-nilai budaya Jawa keraton. Ia juga memiliki latar belakang pendidikan agama, budaya, serta kemampuan seni beladiri yang mumpuni.
Meski merupakan anak sultan, ia tidak ingin hidup dalam kemewahan keluarga kerajaan. Konon, Pangeran Diponegoro merupakan pangeran Kesultanan Yogyakarta dan kelak akan menjadi raja.
Namun, hal itu ditolak secara halus. Ia merasa dirinya tidak pantas karena merupakan anak selir.
Pangeran Diponegoro dijuluki sebagai Ksatria Piningit atau Ksatria Tersembunyi. Julukan yang melambangkan optimisme itu diberikan kepada Pangeran Diponegoro karena perannya dalam memimpin perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Dalam Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang terjadi antara 1825 sampai 1830, Pangeran Diponegoro memiliki peran sangat penting. Perang yang dikenal sebagai perang terbesar selama masa pendudukan Belanda di Indonesia ini berawal dari kekesalan Pangeran Diponegoro dengan Belanda yang ikut campur urusan keraton.
Akibatnya, para petani menderita karena penyalahgunaan kebijakan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman. Dari sanalah Diponegoro bertekad melakukan perlawanan.
Pangeran Diponegoro dikejar oleh pasukan Jawa-Belanda di daerah Tegalrejo atas utusan dari keraton. Ia dan pasukannya berhasil melarikan diri.
Selanjutnya, ia bergerak ke barat sampai ke Desa Dekso, kabupaten Kulon Progo. Menuju ke selatan, ia pun tiba di Goa Selarong dan mendapat banyak dukungan dari masyarakat.
Â
Memimpin Perang
Pangeran Diponegoro memimpin perang yang diikuti oleh kalangan priyayi hingga petani. Mereka menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya untuk keperluan perang.
Sementara itu, Diponegoro memobilisasi massa dan melakukan peperangan selama lima tahun lamanya. Dalam perang tersebut, Diponegoro juga dibantu oleh Kyai Mojo dan para bandit profesional yang sangat ditakuti.
Selain itu, ada juga sekitar 15-19 pangeran yang ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro. Tak lupa, Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Pada 1827, pasukan Pangeran Diponegoro dijepit oleh Belanda dengan asisten banteng. Dua tahun setelahnya, Kyai Mojo tertangkap.
Penangkapan itu disusul oleh Pangeran Mangkubumi. Selanjutnya disusul menyerahnya panglima utama Perang Diponegoro, Alibasah Sentot Prawirodirjo, kepada Belanda.
Pada 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Pangeran Diponegoro. Setelah syarat dipenuhi oleh Belanda, Pangeran Diponegoro pun menyerah.
Perang Diponegoro menewaskan banyak korban, yakni sekitar 200.000 jiwa. Dari pihak Belanda korban yang jatuh berjumlah 8.000 tentara dan 7.000 serdadu berdarah pribumi.
Pangeran Diponegoro akhirnya diasingkan dan dipindahkan ke Manado lalu ke Makassar. Ia menghadapi kondisi yang sulit dan penyiksaan ketika berada di pengasingan. Pada 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro meninggal dunia.
Â
Penulis: Resla
Advertisement