Dalam sebuah persidangan tertutup yang digelar 20 November lalu, nasib Angelina Sondakh kembali diputuskan di ujung palu hakim. 3 Kali sudah mantan Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat itu yang karib disapa Angie itu harus mendengar putusan hakim atas 2 kasus korupsi yang dituduhkan padanya.
Namun entah apa yang ada di benak Angie saat mantan Putri Indonesia itu mendengar putusan hakim yang menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta pada dirinya. Hukuman yang dijatuhi Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi itu hampir 3 kali lipat lebih berat dari putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kepada Angie.
12 Tahun mendekam di balik jeruji penjara dirasa setimpal untuk membayar tindakan mantan anggota Komisi X DPR itu atas korupsi proyek pembangunan wisma atlet Kemenpora dan Kemendiknas.
Sementara di lain pihak, kali ini hembusan angin segar penegakan hukum sepertinya dapat dirasakan masyarakat negeri ini. Komisi Pemberantasan Korupsi yang tak puas dengan putusan tingkat pertama dan ke dua pengadilan atas hukuman Angie, berhasil memenangkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Vonis 4 tahun 6 bulan penjara berganti menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Tak cuma itu, hakim juga memutuskan, Angie harus membayar uang pengganti sebesar Rp 12,58 miliar dan US$ 2,350 juta. Apakah ini pertanda masih ada tempat untuk menegakkan keadilan di negeri ini? Mampukah hukum membuat jera para koruptor?
Adilkah?
Inilah jawaban Ketua KPK Abraham Samad: "Kita apresiasi (putusan MA) sudah mencerminkan keadilan dalam masyarakat. Kita ingin setiap terdakwa korupsi itu putusannya memberi efek jera agar supaya orang berpikir."
Penambahan vonis hukuman Angie juga disambut baik partai oposisi, PDIP. Langkah MA itu dinilai dapat memberi efek psikologis kejeraan bagi para koruptor.
"Saya kira masyarakat menafsirkan ini sebagai sinyal positif. Artinya lembaga peradilan ingin menimbulkan psikologi kejeraan yang lebih parah dari efek jera," kata politisi senior PDIP Hendrawan Supratikno.
Sementara itu partai tempatnya bernaung, Demokrat yakin, ini berat buat Angie. Namun partai besutan Presiden SBY itu berharap, Angie dapat berbesar hati menghadapi putusan ini. Ketua Fraksi Demokrat Nurhayati Ali Assegaf mengaku prihatin atas putusan MA terhadap Angie. Dia meminta keadilan dalam penegakan kasus korupsi tak hanya berlaku terhadap Angie, tapi juga untuk terdakwa kasus korupsi lainnya.
"Angie pasti berbesar hati. Tapi kalau tidak, ini tanggungjawabnya di akhirat," kata Nurhayati di Gedung DPR, Jumat (22/11/2013).
Suara lain datang dari politisi Demokrat lainnya, Ruhut Sitompul. Dia memuji langkah kasasi yang dilakukan KPK terhadap Angie. "Memang dia harus dihukum seberat-beratnya. Sekarang Angie merasakan," sembur Ruhut.
Contoh untuk Pengadilan Tipikor
Komisioner Komisi Yudisial (KY) Taufiqurrahman Sahuri menyatakan, hukuman Angie seharusnya bisa lebih berat dari 12 tahun. Majelis kasasi sudah tepat menerapkan Pasal 12 huruf a UU Tipikor. Sebab, dalam pasal itu dijelaskan, siapa saja yang menerima korupsi secara aktif, dalam arti menggerakan uang itu untuk suatu kepentingan.
"Dan harusnya lebih berat lagi, karena dengan Pasal 12 huruf a UU Tipikor itu, maksimal kan penjara seumur hidup," ucap Taufiq.
Taufiq berharap, putusan majelis kasasi terhadap perkara Angie ini menjadi contoh majelis hakim PN Tipikor untuk menggunakan Pasal 12 huruf a bagi mereka yang korupsi untuk menggerakan suatu kepentingan.
"Mudah-mudahan ini jadi contoh untuk putusan-putusan hakim-hakim di bawahnya," harapnya.
Sementara itu, kuasa hukum Angie, Teuku Nasrullah mengaku, belum menerima salinan putusan tersebut. Dia juga mengaku belum bertemu Angie. Karenanya, dia akan bertemu dengan kliennya terlebih dahulu untuk membahas putusan MA itu. Namun Nasrullah menyebut, putusan itu tidak berperikemanusian tanpa melihat fakta hukum di persidangan. Menurutnya, Angie hanyalah perantara untuk membagikan uang kepada anggota DPR lainnya.
"Sebagai seorang pengacara akan berkomentar, kalau sudah baca surat dari MA, setidaknya saya bisa baca materi hukuman. Saya baru baca dalam running text," ucap Nasrullah.
Alasan MA
Majelis Kasasi MA menyatakan, Angie secara aktif meminta imbalan uang ataupun fee kepada Mindo Rosalina Manulang dari PT Permai Grup, sebesar 7 persen dari nilai proyek dan disepakati 5 persen. Dia juga dinyatakan aktif memprakarsai pertemuan untuk mengenalkan Mindo kepada Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendiknas Haris Iskandar, dalam rangka mempermudah upaya penggiriangan anggaran di Kemdiknas.
"Menjatuhkan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan. Itu aktifnya dia. Untuk membedakan antara Pasal 11 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dengan pasal 12 a," kata Hakim Artidjo Alkostar, Kamis 21 November 2013 lalu.
"Kita ini kan menerapkan Pasal 12 a. Perbuatan terdakwa itu memenuhi unsur unsur Pasal 12a UU Tipikor dalam dakwaan primair," imbuhnya.
Sementara pada pengadilan tingkat pertama, Angie divonis 4 tahun 6 bulan penjara. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai Angie terbukti bersalah dan melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Ndy)
Namun entah apa yang ada di benak Angie saat mantan Putri Indonesia itu mendengar putusan hakim yang menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta pada dirinya. Hukuman yang dijatuhi Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi itu hampir 3 kali lipat lebih berat dari putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kepada Angie.
12 Tahun mendekam di balik jeruji penjara dirasa setimpal untuk membayar tindakan mantan anggota Komisi X DPR itu atas korupsi proyek pembangunan wisma atlet Kemenpora dan Kemendiknas.
Sementara di lain pihak, kali ini hembusan angin segar penegakan hukum sepertinya dapat dirasakan masyarakat negeri ini. Komisi Pemberantasan Korupsi yang tak puas dengan putusan tingkat pertama dan ke dua pengadilan atas hukuman Angie, berhasil memenangkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Vonis 4 tahun 6 bulan penjara berganti menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Tak cuma itu, hakim juga memutuskan, Angie harus membayar uang pengganti sebesar Rp 12,58 miliar dan US$ 2,350 juta. Apakah ini pertanda masih ada tempat untuk menegakkan keadilan di negeri ini? Mampukah hukum membuat jera para koruptor?
Adilkah?
Inilah jawaban Ketua KPK Abraham Samad: "Kita apresiasi (putusan MA) sudah mencerminkan keadilan dalam masyarakat. Kita ingin setiap terdakwa korupsi itu putusannya memberi efek jera agar supaya orang berpikir."
Penambahan vonis hukuman Angie juga disambut baik partai oposisi, PDIP. Langkah MA itu dinilai dapat memberi efek psikologis kejeraan bagi para koruptor.
"Saya kira masyarakat menafsirkan ini sebagai sinyal positif. Artinya lembaga peradilan ingin menimbulkan psikologi kejeraan yang lebih parah dari efek jera," kata politisi senior PDIP Hendrawan Supratikno.
Sementara itu partai tempatnya bernaung, Demokrat yakin, ini berat buat Angie. Namun partai besutan Presiden SBY itu berharap, Angie dapat berbesar hati menghadapi putusan ini. Ketua Fraksi Demokrat Nurhayati Ali Assegaf mengaku prihatin atas putusan MA terhadap Angie. Dia meminta keadilan dalam penegakan kasus korupsi tak hanya berlaku terhadap Angie, tapi juga untuk terdakwa kasus korupsi lainnya.
"Angie pasti berbesar hati. Tapi kalau tidak, ini tanggungjawabnya di akhirat," kata Nurhayati di Gedung DPR, Jumat (22/11/2013).
Suara lain datang dari politisi Demokrat lainnya, Ruhut Sitompul. Dia memuji langkah kasasi yang dilakukan KPK terhadap Angie. "Memang dia harus dihukum seberat-beratnya. Sekarang Angie merasakan," sembur Ruhut.
Contoh untuk Pengadilan Tipikor
Komisioner Komisi Yudisial (KY) Taufiqurrahman Sahuri menyatakan, hukuman Angie seharusnya bisa lebih berat dari 12 tahun. Majelis kasasi sudah tepat menerapkan Pasal 12 huruf a UU Tipikor. Sebab, dalam pasal itu dijelaskan, siapa saja yang menerima korupsi secara aktif, dalam arti menggerakan uang itu untuk suatu kepentingan.
"Dan harusnya lebih berat lagi, karena dengan Pasal 12 huruf a UU Tipikor itu, maksimal kan penjara seumur hidup," ucap Taufiq.
Taufiq berharap, putusan majelis kasasi terhadap perkara Angie ini menjadi contoh majelis hakim PN Tipikor untuk menggunakan Pasal 12 huruf a bagi mereka yang korupsi untuk menggerakan suatu kepentingan.
"Mudah-mudahan ini jadi contoh untuk putusan-putusan hakim-hakim di bawahnya," harapnya.
Sementara itu, kuasa hukum Angie, Teuku Nasrullah mengaku, belum menerima salinan putusan tersebut. Dia juga mengaku belum bertemu Angie. Karenanya, dia akan bertemu dengan kliennya terlebih dahulu untuk membahas putusan MA itu. Namun Nasrullah menyebut, putusan itu tidak berperikemanusian tanpa melihat fakta hukum di persidangan. Menurutnya, Angie hanyalah perantara untuk membagikan uang kepada anggota DPR lainnya.
"Sebagai seorang pengacara akan berkomentar, kalau sudah baca surat dari MA, setidaknya saya bisa baca materi hukuman. Saya baru baca dalam running text," ucap Nasrullah.
Alasan MA
Majelis Kasasi MA menyatakan, Angie secara aktif meminta imbalan uang ataupun fee kepada Mindo Rosalina Manulang dari PT Permai Grup, sebesar 7 persen dari nilai proyek dan disepakati 5 persen. Dia juga dinyatakan aktif memprakarsai pertemuan untuk mengenalkan Mindo kepada Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendiknas Haris Iskandar, dalam rangka mempermudah upaya penggiriangan anggaran di Kemdiknas.
"Menjatuhkan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan. Itu aktifnya dia. Untuk membedakan antara Pasal 11 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dengan pasal 12 a," kata Hakim Artidjo Alkostar, Kamis 21 November 2013 lalu.
"Kita ini kan menerapkan Pasal 12 a. Perbuatan terdakwa itu memenuhi unsur unsur Pasal 12a UU Tipikor dalam dakwaan primair," imbuhnya.
Sementara pada pengadilan tingkat pertama, Angie divonis 4 tahun 6 bulan penjara. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai Angie terbukti bersalah dan melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Ndy)