Menyumbang Oksigen Bumi Lewat Kareumbi

Pertamina melalui program CSR memberi bantuan 100 ribu pohon di Kawasan Konservasi Gunung Masigit Kareumbi sejak 2012-2013.

oleh Shi diperbarui 10 Des 2013, 00:01 WIB
Diterbitkan 10 Des 2013, 00:01 WIB
pertamina-pohon-adv-131209c.jpg

Ikut ambil bagian dalam program Wali Pohon, Pertamina menanam 100 ribu bibit pohon di Kawasan Konservasi Gunung Masigit Kareumbi. Andil dalam melestarikan kawasan wisata alam dan menghidupkan kembali paru-paru bumi di hutan yang pernah telanjang berdiri.

Jelang siang saat itu, di tengah udara yang begitu sejuk, dengan angin yang berhembus membawa aroma alam dan pepohonan. Udara dirasa begitu segar dan menjernihkan pikiran dan mata saat menikmati panorama alam dan barisan bukit dan gunung. Di bawah kerumunan pohon pinus dan vegetasi lokal lainnya di Kawasan Konservasi Gunung Masigit Kareumbi saat itu terlihat berbagai aktivitas orang berbagai usia, mulai dari bersantai, berkemah, outbound, berburu objek foto hingga orientasi mahasiswa baru sebuah perguruan tinggi.

Orang-orang tampak menikmati dan melepas kerinduannya dengan alam. Jarak 14 kilometer yang ditempuh dengan medan berkelok naik melewati puluhan Dusun di empat Desa, Desa Dampit, Tanjung Wangi dan Sindulang menjadi tidak terasa, kala sampai di tujuan, Kawasan Wisata dan Konservasi Gunung Masigit Kareumbi.

Terletak di Basecamp Kareumbi, Kawasan Taman Buru Masigit Kareumbi. Kampung Leuwi Liang, Desa Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Jawa Barat, lahan yang sejatinya merupakan kawasan taman buru yang kini menjadi wilayah konservasi dan eco wisata ini terbentang di lahan seluas 12.420,70 hektar dan terletak pada area yang menjadi kewenangan tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut. Sebagian besar area berada di Sumedang dan Garut.

Uniknya, jika kita sampai di sana, maka kita akan sekaligus berada di 3 batas wilayah sekaligus, dan ketika kita berpindah beberapa meter, maka kita sudah berada di wilayah lain di Jawa Barat. Kawasan konservasi Kareumbi juga merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk yang juga menjadi penyangga bagi sungai Citarum, sungai terbesar di Jawa Barat.

Nama Masigit  diambil dari Pasir Masigit yang terletak di sebelah timur kawasan. Sedangkan Kareumbi berasal dari Gunung Kareumbi di sebelah barat kawasan. Kareumbi juga tampaknya diambil dari nama sebuah pohon, yaitu pohon Kareumbi (Homalanthus populneus) yang semestinya dahulu banyak terdapat di gunung tersebut.

Namun siapa sangka Kareumbi dulunya memiliki masa-masa kritis, saat bukit-bukit dan gunungnya terancam telanjang berdiri. Pada tahun 1998 terjadi penyelewengan izin tebang yang dilakukan oleh pengelola taman buru terdahulu. Saat itu pengelola mendapatkan izin menebang sejumlah pohon dengan alasan pemberdayaan ladang penggembalaan, untuk bisa ditanami rumput, dengan catatan penebangan dapat dilakukan dalam jumlah kuota pohon tertentu.

Akan tetapi dalam perjalanannya, terjadi penyalahan izin. Penebangan dilakukan melampaui dari kuota yang ditentukan. Hal tersebut pun kemudian menyeruak dan menjadi kasus yang menyeret banyak pihak kepada hukum, terutama pihak pengelola, sampai akhirnya kawasan ini diambil lagi pengelolaannya oleh Balai Konservervasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

"Namun apa daya hutan sudah kadung gundul," ungkap Direktur Konservasi, UUO Manajemen Pengelola Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi, Sandyakala Ningtyas yang akrab dipanggil Echo.

Echo menuturkan, modus penebangan pohon yang dilakukan pengelola saat itu terbilang cerdik dan efisien tanpa mengeluarkan biaya. Pengelola terdahulu memberdayakan tenaga gratis dari masyarakat, dengan iming-iming pembukaan lahan bercocok tanam.

"Silahkan ajah garap, tapi ini yah nitip kayunya," Echo menirukan.

Cara tersebut memang sangat hemat dan efisien ketimbang cara yang dilakukan oleh Echo yang membuka lahan sendiri dengan tenaga dan biaya sendiri. Namun setelah lahan-lahan tersebut dibuka dan digunakan untuk berkebun, sedimentisasi lahan kemudian semakin tinggi akibat pola bercocok tanam yang tidak membumi dengan menggunakan mulsa atau penutup tanah berbahan plastik yang menyebabkan run off saat terjadi hujan deras.

Erosi kemudian meninggalkan bekas dengan sendimentasi yang sukses menenggelamkan danau-danau di sekitar kawasan. Seperti yang terjadi pada Situ (Danau) Gamlok yang kini berubah menjadi rawa-rawa. Echo mengungkapkan, seharusnya danau-danau tersebut ada demi keseimbangan alam yang bisa menahan air selama mungkin di hulu agar jangan langsung ke hilir.

Hingga tahun 2008, kawasan ini terutama area "KW" (Kawasan Wisata) berada dalam kondisi terbengkalai. Infrastruktur dan bangunan yang dibangun oleh pengelola sebelumnya, termasuk oleh pemerintah dan berbagai program yang telah diluncurkan lambat laun rusak. Selain itu, perambahan kawasan untuk pertanian dan pengambilan kayu untuk keperluan bahan bangunan serta kayu bakar juga marak. Demikian juga perburuan liar yang menyebabkan satwa terutama rusa tak berbekas.

Pada sekitar tahun 2006, sesepuh Wanadri yang sering melakukan perjalanan ke kawasan ini, Remi Tjahari (W-090-LANG) melihat potensi kawasan yang sangat besar. Namun di balik potensi kawasan sebagai daerah konservasi dan sangat layak dikembangkan untuk wisata dan pendidikan alam terbuka juga terdapat potensi kerusakan lingkungan bila tidak dikelola dengan baik. Akhirnya pada tahun 2007, Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri menyampaikan minat untuk melakukan pengelolaan kawasan pada pihak Kementerian Kehutanan dan BBKSDA.

Setelah melalui proses presentasi yang memakan waktu panjang yang berakhir persetujuan, maka pada akhir tahun 2008 dibentuklah tim yang disebut Tim Manajemen Pengelola Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi. Sejak itu tim mulai bekerja melakukan pembenahan di kawasan utama yang disebut "KW". Model pembenahan kawasan dengan cara cost-recovery dan pola pelibatan masyarakat sekitar kawasan serta kolaborasi dengan berbagai pihak. Strategi tersebut menjadi andalan tim manajemen ini.

Program-program awal yang dilakukan di sini adalah Pendidikan dan Pelatihan serta Program Konservasi Wali Pohon. Sejak diperkenalkan pada akhir 2008 sampai Maret 2009, program Wali Pohon telah menanam sejumlah 10.500 batang pohon dengan model adopsi bergaransi selama 5 tahun. Namun dengan berbagai pertimbangan masa garansi atau pemeliharaan tersebut kemudian dipersingkat menjadi tiga tahun.

"Sebenarnya dengan pengalaman yang udah, pas 2012 itu kita udah jalan yang 3 tahun juga, dan dengan pemeliharaan yang bagus, itu sudah cukup. Tapi sebenarnya itu sebenarnya kita nggak nyalahin akad, karena selama ada Wanadri di sana, sudah pasti kita punya tanaman ya kita rawat," terang Echo.

Pertamina dengan melalui program Corporate Sosial Responsibility (CSR) lingkungannya merasa terketuk untuk ambil bagian dalam program penanaman pohon ini. Dimulai sejak tahun 2012 hingga 2013, Pertamina memberikan bantuan berupa 100 ribu pohon melalui keikutsertaanya dalam program Wali Pohon. Penanaman dilakukan dalam dua tahap, 50 ribu di tahun pertama dan sisanya pada tahun berikutnya.

Jumlah plot tersebut kian bertambah dari penanaman sebelumnya di tahun 2012 dengan jumlah plot sebanyak 5 plot pada area seluas 324.979 M2 (32.5 hektar). Kelima plot tersebut berlokasi di beberapa blok seperti Blok Bagus, Blok Cinini, Blok Hadun, dan blok Gamlok. Plot atau area penanaman penanaman pohon Pertamina di kawasan konservasi Masigit Kareumbi kini tengah sudah mencapai 7 plot, dan tengah berprogress menuju angka total 10 ribu pohon.

Echo bertutur bagaimana Wali Pohon berjalan dan bagaimana pengaruhnya. Ia kemudian menjabarkan beberapa tahapan penanaman yang dilakukan oleh timnya dalam program Wali Pohon yang didukung oleh Pertamina ini. Tahapan tersebut meliputi Land Clearing, Pembuatan Jalur, Pemasangan Ajir, Pembuatan Lubang Tanam, dan Penebaran pupuk selektif pada lokasi yang tanahnya kurang subur.

Land clearing merupakan proses pembukaan dan pengolahan lahan sampai dengan lahan tersebut siap ditanami. Wilayah konservasi ini memiliki topografi kawasan yang umumnya berbukit hingga bergunung-gunung dengan puncang tertinggi yakni Gunung Kerenceng, dengan ketinggian kurang lebih 1.763 m dpl. Terjalnya medan dan akses yang cukup pelik, dan hingga kini proses ini dilakukan secara manual di wilayah konservasi Kareumbi. Untuk melakukan proses ini, Echo bergiat dengan memberdayakan tenaga masyarakat setempat dengan cara bergerilya. Prosesnya dimulai dengan membabati tanaman liar dan membersihkannya agar bisa ditanami bibit tanaman. Setelah itu kemudian dilakukan pembuatan jalur yang kelak akan ditanami bibit tanaman. Jalur tanaman ini dibuat sengan cara berbaris rapi, hal ini dilakukan untuk mempermudah proses penanaman dan monitoring.

Echo mencontohkan untuk lokasi yang berat (Gamlok), di mana lebih dari  60% merupakan perdu keras dan sudah ada tegakan pohon. "Kami menghemat tenaga kerja dan waktu dengan melakukan land clearing model banjar harian. Pada model ini jalur dibersihkan dulu dari perdu dan semak yang menghalangi dengan ukuran jalur kurang dari 1,5 meter. Sedangkan untuk plot Cinini, kami kembali menerapkan model cacar panggung, yakni pola  Banjar harian yang ditambahi pemangkasan atau pembabatan semak dan perdu di pinggir jaluran tanam," urai Echo.

Untuk plot Hadun, pola banjar harian kembali digunakan selain untuk menghemat waktu dan tenaga, lokasi ini memiliki akses paling sulit,kondisi perdu cukup berat dan memiliki area lahan kosong yang paling luas. Kedua pola ini dilakukan sebagai bentuk kaji terap  terhadap dua perlakukan yang berbeda pada pembuatan jalur penanaman dan selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap efektivitas kerja kedua pola tersebut.

Setelah jalur penanaman terbuka proses kemudian dilanjutkan dengan pemasangan ajiran, dengan ajir di titik pembuatan lubang tanam. Ajir merupakan bambu berukuran kurang lebih 50 cm, berdiameter 1-2 cm dengan warna kuning mencolok di ujung tumpulnya. Fungsinya selain sebagai penanda, ajir juga  berfungsi untuk menghitung jumlah pohon yang akan ditanam dalam lokasi tersebut. Berikutnya akan dilakukan pembuatan lubang tanam sesuai dengan titik tanam, dengan spesifikasi ukuran atas  40cm x 40cm, ukuran Bawah  30cm x 30cm dengan kedalaman  40 cm.  Posisi pemasangan ajir  ± 25 cm ke arah atas dari titik tengah jaluran tanam. Selanjutnya setelah ajir dipasang, tim pekerja priamembuat lubang tanam sesuai dengan titik tanam.Berikutnya adalah proses penanaman yang umumnya dilakukan pada saat curah hujan tinggi (musim tanam).

"Kami nanam itu pada musim hujan, soalnya di kawasan konservasi itu beda kawasan hutan di tengah-tengah masyarakat yang terurus dan tersiram," terang lelaki berdarah Sunda kelahiran 1976 ini.

Echo menuturkan bahwa memang di kawasan konservasi air ketersediaan kadang-kadang sulit , dan kalau pun ada effort nya tidak terlalu besar. Oleh karena itu Echo dan tim lebih memilih musim hujan yang biasanya datang di bulan November, Februari hingga Maret. Di luar itu biasanya tidak akan ada prosesi penanaman.

Para pembuatan lubang taman dilakukan tidak secara segera pada hari itu juga diikuti oleh penanaman. Sehingga hujan akan membawa lumpur dan endapan masuk ke dalam lubang tanah. Apabila terlalu dangkal, maka lubang tanam bisa kembali tertutup oleh lumpur atau  tanah yang terbawa air. Pada lubang-lubang tanam tersebut akan dilakukan pemupukan dasar dengan menggunakan pupuk kandang, yang berasal dari bahan organic seperti kotoran hewan seperti domba yang didapat dari perkampungan sekitar.

Bibit tanaman yang ditanam di kawasan konservasi Gunung Masigit tidak sembarangan, Kareumbi menanam jenis-jenis tanaman lokal seperti Puspa  (Schima waliichi), Ki Sireum  (Syzgium lineatum), Ki Huut  (Glochidion obscorum), Manglid  (Manglietia glauca), Jenis Huru, Ki Cangkudu  (Tarrenoidea Triveng), berbagai jenis tanaman Rimba Campuran dan Mala-Raksamala.  Terkait pemilihan jenis tanaman, Echo mengatakan bahwa hal ini didasari oleh ketentuan khusus dari Balai Konservasi yang mengharuskan menanam tanaman lokal.

Selain itu, Echo juga menambahkan bahwa tanaman-tanaman tersebut memiliki jenis kayu keras berumur panjang, endemik dan berasal dari pohon induk di sekitar hutan Kareumbi. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa tanaman-tanaman tersebut memiliki performa tumbuh yang baik. Dibanding pohon-pohon pinus yang kini tumbuh menjulang tinggi disekitar kawasan konservasi, tanaman lokal memiliki nilai konservasi yang tinggi.

"Nanti kalau sudah tumbuh besar biji-bijinya dimakan burung nilai konservasi tanaman-tanaman ini lebih tinggi dibanding pinus, pinus juga bukan berarti nggak ada, buahnya dimakan bajing, buah mudanya. Semua pohon yang ditanam di wilayah konservasi itu dilindungi oleh undang-undang nggak boleh ditebang nggak boleh diproduksi," ungkap Echo yang pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran ini.

Berbeda dengan tanaman yang ditanam di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), seperti Jabon dan Sengon yang cepat pertumbuhanya, tanaman lokal yang ada di Kareumni umumnya tumbuh lambat. Walau pun demkian, Echo juga menuturkan bahwa diharapkan tanaman tersebut bisa memnawa banyak manfaat seperti fungsi oksigen dan konservasi di sekitar lahan.

"Jadi tanaman ini ditanam dan tumbuh, jadi bukan cuman kita bisa diliatin doang, ya mudah-mudahan bisa jadi fungsi oksigen, pengawetan tanah, air dan segala macam manfaatnya. Berbagai jenis bibit tumbuhan seperti Puspa, Manggis, Pasamala  tumbuhnya lambat, karena itu memang orang kan nggak suka untuk produksi, dan jarang orang yang mau membibitkan cukup banyak, makanya kita bikin pembibitan sendiri, dan bekerjasama dengan masyarakat sekitar," papar Echo.

Sedianya Kareumbi memiliki lahan pembibitan sendiri, yang kini sudah berjumlah 5 lahan pembibitan yang isinya banyak ditanami bibit-bibit lokal tadi. Umumnya bibit yang ditanam di program wali pohon itu berumur sekitar 8  sampai 18 bulan, dengan tinggi   25 sampai 100 cm. Di lapangan, bibit ini tumbuh dengan ketinggian yang bervariasi bergantung pada jenis bibit itu sendiri. Berbeda dengan penanaman lain, di Kareumbi Echo memiliki standarisasi bibit, ia mengatakan tidak mau menanam bibit yang terlalu tinggi hal ini tentunya dengan berbagai alasan, termasuk agar bibir bisa beradaptasi dilapangan sehingga bisa tumbuh maksimal.

"Kita disini nggak nanem bibit gede, biasanya bibit-bibit  yang besar itu pasti lama dipersemaiannya. Mungkin dua tahun atau tiga tahun, tapi dipersemaian lama-lama biayanya besar. Selain itu kalau lama dipersemaian bibit akan lama di poly bag kecil dan ini nantinya nggak seimbang ketika dilepas ke alam, batang besar tapi akar kecil, jadinya kecentet (kegencet) efeknya nanti tumbuh di alamnya lama dan nggak ngenjat-ngejat," paparnya.

Standardisasi bibit itu tidak harus melulu dinilai dari tinggi saja seperti persepsi orang kebanyakan. Namun menurut Echo ukuran umur pohon itu dinilai dari diameter batang. "Kalau orang ngukurnya tinggi aja salah juga, karena bibit muda bisa aja dibikin tinggi. Nah yang kita tanam disini, kita pengan, tingginya sih nggak terlalu tinggi, namun dia cukup kuat gituh. Umurnya jangan terlalu muda, kalau terlalu muda juga jelek," pungkasnya.

Echo mengungkapkan bahwa dirinya bisa aja membuat bibit muda yang tinggi, prosesnya cukup mudah tinggal membuat tempat persemaian gelap, namun demikian Echo lebih manyukai proses yang alami dinilai lebih membumi dan membuat bibit lebih kuat. Proses persemaian ia lakukan dengan memberikan atap jaring yang dibantangkan di atas barisan bibit tanaman untuk  untuk menakar sinar matahari. Fungsinya adalah untuk mengatur panas, serta curah hujan. "Curah hujan yang tinggi dengan air yang deras bisa memukul langsung bibit pohon, akibatnya bisa merusak kondisi bibit. Ranting-ranting yang jatuh berlebih juga bisa merusak bibit," imbuhnya.

Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyiapkan bibit ini, oleh karenanya pelaksanaan program penanaman tidak bisa dadakan. "Biasanya mesti satu tahun sebelumnya, dan kami tahu betul tentang bibit yang kami siapkan itu," ucap Echo.

Saat penanaman, bibit-bibit dari tempat persemaian diangkut dibawa ke lahan-lahan yang telah dilubangi. Setelah lubang tersebut ditanami bibit proses berikutnya yakni penghitungan jumlah pohon. Bibit-bibit pohon tersebut akan terus dipantau dan dipelihara pertumbuhannya secara inten, mulai dari pembersihan dari berbagai gangguan, seperti belitan gulma, dan gangguan lainnya.

Layaknya proses penyemaian dan penanaman, pada praktik pemeliharaan bibit tanaman di Kareumbi, lagi-lagi dilakukan secara alami. Salah satunya terdapat pada proses mulsa, yakni penutupan tanah disekitar bibit dengan menggunakan ranting dan ilalang kering. Proses natural dilakukan guna menjaga kelembaban tanah. Teknik mulsa ini berbeda dengan teknik yang dilakukan umumnya kini, yakni dengan menggunakan plastik yang dibentang memanjang dan menyelubungi jalur tanam. Menggelitiknya mulsa yang digunakan Echo di Kareumbi bertolak belakang dengan mulsa yang kini digunakan para petani yang bercocok tanam di wilayah yang letaknya tidak jauh dari wilayah konservasi Kareumbi yang menggunakan mulsa plastik.

Memang jika dihitung-hitung dari fungsi dan efisiensi waktu, mulsa plastik memang lebih efiesien karena lebih hemat dan lebih  bisa diandalkan untuk mengejar kecepatan pertumbuhan. Namun demikian secara ekologis, mulsa plastik tersebut lambat laun akan berakibat fatal lingkungan. Dicontohkan oleh Echo bahwa jika ada hujan, terlebih jika curahnya tinggi dan deras, maka tingkat run off dari air akan tinggi yang berakibat tingkat erosi yang luas biasa tinggi, karena tidak menyerap hujan.

Hal ini berbeda dengan mulsa alami yang bisa menahan air hujan agar tidak lamngsung kontak dengan tanah namun juga dapat menyerapnya, meresap dan bisa jadi pupuk ketika hancur dan berbaur dengan tanah. "Teori nge-mulsa tuh, biar mikroorganismenya bisa berkembang kalau yang pakai plastik itu nggak berkembang. Nggak ada udara keluar masuk, nggak sehat.  Efisien memang nggak usah ngerambet  (membabat kecil)  namun nantinya kondisi tanah kedepannya akan tidak sehat," Echo menjelaskan.

Echo juga menyebutkan bahwa untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensikerja, program Wali Pohon melakukan beberapa improvisasi penanaman yakni menggunakan bor tanah (ground drill) bermesin bensinuntuk membuat lubang tanam dan penanaman dengan metoda Rapid Planting yang diadaptasi dari pola penanaman di negara maju. Selain itu kini Echo mengungkapkan sistema penanam cepat tanpa poly bag, dimana bbibit langsung dicabut dan ditanam kemudian diberikan treatment khusus.

Sedangkan untuk masaah bibit-bibit yang mati, kering dan layu saat menjalani proses pertumbuhannya, tim pengelola dari Kareumbi akan menggantinya dengan cara menyulam atau menanaminya dengan bibit yang baru. Setiap bibit pohon yang ditanami tersebut memiliki dokumentasi, sertifikat sesuai dengan penanamnya, dan akan ada laporan regulernya yang di-update di situs online Kareumbi.

Dengan menyumbang bibit pohon seharga lima puluh ribu Rupian, para donator sudah ikut ambil bagian dalam menyumbang produksi oksigen dan melestarikan bumi untuk masa depan. Biaya lima puluh ribu perpohon tersebut termasuk biaya penanaman dan perawatan selama tiga tahun.

Seiring berlajannya waktu, program wali pohon selain berdampak sangat positif bagi bumi juga memberikan transfer knowledge kepada masyarakat sekitar. Echo menimbuhkan bahwa kini warga sekitar sudah mengerti tentang bahaya penggundulan, dan pentingnya penanaman kembali hutan. Adanya dukungan dari Pertamina dengan jumlah donasi bibit yang cukup banyak, Echo mengaku senang, "Bantuan dari Pertamina itu signifikan sekali yang pertamina itu, banyak sekali," ungkapnya.

Walaupun Echo sempat mengaku kerepotan dengan bantuan ini, mengingat kondisi medan dan cara kerjanya yang masih bergerilya. "Dan kalau di kawasan koservasi gini kalau mau banyak-banyak juga da nggak bsia mekanikal yah," katanya sambil melempar senyum.

Lahan Konservasi Kareumbi memang jelas berbeda dengan HTI yang terbilang tidak begitu sulit. Di HTI pasca penebangan, tinggal masuk alat berat, bull dozer , di set lalu ditanami lagi. "Sedangkan di Kareumbi alat berat sukar masuk jadi tetap pakai orang," ucap Echo.

Kendati demikian Echo dan tim tetap bersemangat baginya yang penting sekarang adalah adanya tegakan (pohon) di kawasan hutan. Ibarat pribahasa Sunda, yang penting kan taneuh teh aya buluan (yang penting tanah itu ada bulunya), yang penting tanah itu nggak telanjanglah, sehingga bumi bisa lestari untuk anak cucu nanti. "Ya sekarang mah kita berbuat baik sebisa kita, karena kalau semua ditanganin mah ya susah, kita juga bukan Tuhan," cetus Echo sambil tersenyum tulus. (Adv)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya