Film Soekarno yang kini tengah menjadi kontroversi itu tak menjangkau masa tua Sukarno. Termasuk, tak membentangkan kisah Si Bung menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta.
Itu terjadi setelah Sukarno lengser dari jabatan presiden pada 1966. Ia tak boleh menerima tamu, kecuali anak-anaknya. Militer menjaga dengan ketat. Wisma Yaso kini menjadi Museum Satria Mandala.
Nah, ada cerita Ali Sadikin ketika menengok Sukarno di Wisma Yaso. Dalam pengamatan Ali, tempat itu sangat kotor. Kebunnya tidak diurus. Debu di mana-mana.
"Padahal Bung Karno sangat menyukai kebersihan, sangat tidak senang pada kekotoran," kata Ali dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 yang disusun Ramadhan KH.
Ali menjadi amat sedih. "...mengapa tega-teganya orang terhadap beliau, sampai beliau pemimpin bangsa itu, dibegitukan. Saya yakin pasti beliau sangat menderita. Apakah itu disengaja?" lanjut Ali yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta.
"Bung Karno berhasil menyatukan bangsa. Saya kagum. Tapi saya tidak menutup mata, telinga, dan perasaan. Bung Karno juga punya kekeliruan. Tapi kalau dihitung-hitung, lebih banyak jasanya dibandingkan kesalahannya,"
Ketika Sukarno wafat sampai beberapa tahun setelahnya, Ali menggantungkan potret Sukarno dalam ukuran besar di rumahnya.
"Setiap kali saya menatapnya, rasa kekaguman saya terhadapnya bangkit, hidup dengan kehangatan serta mendorong saya untuk berbuat baik. Ya, saya pengagumnya," kata Ali.
Beberapa tahun sebelumnya, Sukarno memanggil Ali ke Istana. "Ali, aku angkat kamu jadi Gubernur Jakarta. Sedia?" ujar Sukarno setelah Ali tiba.
Ali menyatakan bersedia. Tapi, di benaknya tertanam pertanyaan: mengapa saya? Saat itu, Ali menjadi Deputi Menteri Urusan Ekuin. Menterinya adalah Sri Sultan Hamengkubowono IX.
Pada 28 April 1966, Sukarno melantik Ali. Dalam acara pelantikan tersebut, terpapar alasan Sukarno memilih lelaki kelahiran Sumedang 7 Juli 1927 itu.
"Ada, ada yang ditakuti dari Ali Sadikin itu. Apa? Ali Sadikin itu orang yang keras. Dalam bahasa Belanda ada yang menyebutnya, een koppige vent, koppig. Saya kira dalam hal mengurus Kota Jakarta Raya ini baik juga een beetje koppigheid (sedikit keras kepala)," kata Sukarno.
Ia menambahkan, "Apalagi ndoro dan ndoro ayu sudah tahu, tidak boleh membuang sampah semau-maunya di pinggir jalan, tapi ndoro dan ndoro ayu toh menaruh sampah di pinggir jalan. Nah, itu perlu dihadapi oleh orang yang sedikit keras, yang sedikit koppig."
Sejak awal Sukarno mengingatkan, menata Jakarta bukan pekerjaan mudah. Akan banyak hambatan.
"Tapi, insya Allah, doe je best (berusahalah dengan sebaik-baiknya), agar supaya engkau dalam memegang kegubernuran Jakarta Raya ini benar-benar, juga sekian tahun lagi masih orang mengingat, dit heeft Ali Sadikin gedaan, inilah perbuatan Ali Sadikin. Inilah yang dilakukan oleh Ali Sadikin," kata Sukarno.
Soal jabatan, Ali ingat satu cerita lain soal Sukarno saat ia menjadi Menko Urusan Maritim--sebelum menjadi orang nomor 1 di Jakarta. Suatu hari, Sukarno meminta Ali membantu mertuanya. Tak dijelaskan persoalan apa.
Pensiunan jenderal marinir itu mempelajari setumpuk dokumen yang diserahkan. Ternyata permintaan itu tak bisa dipenuhi. Ali bilang terus terang ke Sukarno yang lantas berujar, "Baiklah. kalau begitu." Selesai.
Ali membatin, Sukarno ini hebat. Tidak menggunakan kekuasaan sebagai presiden untuk menekan Ali yang notabene bawahannya.
Hal terpenting adalah, lanjut Ali, "...saya merasa, ia menghargai saya sebagai pembantunya. Karena peraturan mengatakan begitu, dan saya sebagai bawahan berani berkata begitu, berarti ia menghargai saya sebagai pembantunya. Ia pun tidak marah." (Yus)
Baca juga:
Sukarno Pernah Jebak Marshall Green?
Sukarno di Mata`Sang Pemberontak`
Sukarno dan Hatta, Berbeda Visi Politik, Persaudaraan Tak Putus
Itu terjadi setelah Sukarno lengser dari jabatan presiden pada 1966. Ia tak boleh menerima tamu, kecuali anak-anaknya. Militer menjaga dengan ketat. Wisma Yaso kini menjadi Museum Satria Mandala.
Nah, ada cerita Ali Sadikin ketika menengok Sukarno di Wisma Yaso. Dalam pengamatan Ali, tempat itu sangat kotor. Kebunnya tidak diurus. Debu di mana-mana.
"Padahal Bung Karno sangat menyukai kebersihan, sangat tidak senang pada kekotoran," kata Ali dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 yang disusun Ramadhan KH.
Ali menjadi amat sedih. "...mengapa tega-teganya orang terhadap beliau, sampai beliau pemimpin bangsa itu, dibegitukan. Saya yakin pasti beliau sangat menderita. Apakah itu disengaja?" lanjut Ali yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta.
"Bung Karno berhasil menyatukan bangsa. Saya kagum. Tapi saya tidak menutup mata, telinga, dan perasaan. Bung Karno juga punya kekeliruan. Tapi kalau dihitung-hitung, lebih banyak jasanya dibandingkan kesalahannya,"
Ketika Sukarno wafat sampai beberapa tahun setelahnya, Ali menggantungkan potret Sukarno dalam ukuran besar di rumahnya.
"Setiap kali saya menatapnya, rasa kekaguman saya terhadapnya bangkit, hidup dengan kehangatan serta mendorong saya untuk berbuat baik. Ya, saya pengagumnya," kata Ali.
Beberapa tahun sebelumnya, Sukarno memanggil Ali ke Istana. "Ali, aku angkat kamu jadi Gubernur Jakarta. Sedia?" ujar Sukarno setelah Ali tiba.
Ali menyatakan bersedia. Tapi, di benaknya tertanam pertanyaan: mengapa saya? Saat itu, Ali menjadi Deputi Menteri Urusan Ekuin. Menterinya adalah Sri Sultan Hamengkubowono IX.
Pada 28 April 1966, Sukarno melantik Ali. Dalam acara pelantikan tersebut, terpapar alasan Sukarno memilih lelaki kelahiran Sumedang 7 Juli 1927 itu.
"Ada, ada yang ditakuti dari Ali Sadikin itu. Apa? Ali Sadikin itu orang yang keras. Dalam bahasa Belanda ada yang menyebutnya, een koppige vent, koppig. Saya kira dalam hal mengurus Kota Jakarta Raya ini baik juga een beetje koppigheid (sedikit keras kepala)," kata Sukarno.
Ia menambahkan, "Apalagi ndoro dan ndoro ayu sudah tahu, tidak boleh membuang sampah semau-maunya di pinggir jalan, tapi ndoro dan ndoro ayu toh menaruh sampah di pinggir jalan. Nah, itu perlu dihadapi oleh orang yang sedikit keras, yang sedikit koppig."
Sejak awal Sukarno mengingatkan, menata Jakarta bukan pekerjaan mudah. Akan banyak hambatan.
"Tapi, insya Allah, doe je best (berusahalah dengan sebaik-baiknya), agar supaya engkau dalam memegang kegubernuran Jakarta Raya ini benar-benar, juga sekian tahun lagi masih orang mengingat, dit heeft Ali Sadikin gedaan, inilah perbuatan Ali Sadikin. Inilah yang dilakukan oleh Ali Sadikin," kata Sukarno.
Soal jabatan, Ali ingat satu cerita lain soal Sukarno saat ia menjadi Menko Urusan Maritim--sebelum menjadi orang nomor 1 di Jakarta. Suatu hari, Sukarno meminta Ali membantu mertuanya. Tak dijelaskan persoalan apa.
Pensiunan jenderal marinir itu mempelajari setumpuk dokumen yang diserahkan. Ternyata permintaan itu tak bisa dipenuhi. Ali bilang terus terang ke Sukarno yang lantas berujar, "Baiklah. kalau begitu." Selesai.
Ali membatin, Sukarno ini hebat. Tidak menggunakan kekuasaan sebagai presiden untuk menekan Ali yang notabene bawahannya.
Hal terpenting adalah, lanjut Ali, "...saya merasa, ia menghargai saya sebagai pembantunya. Karena peraturan mengatakan begitu, dan saya sebagai bawahan berani berkata begitu, berarti ia menghargai saya sebagai pembantunya. Ia pun tidak marah." (Yus)
Baca juga:
Sukarno Pernah Jebak Marshall Green?
Sukarno di Mata`Sang Pemberontak`
Sukarno dan Hatta, Berbeda Visi Politik, Persaudaraan Tak Putus