Anak Mulai Masuk Fase Remaja? 4 Hal yang Harus Orang Tua Ketahui

Orang dewasa cenderung mengingat masa remaja sebagai masa di mana melakukan hal yang serba ‘pertama kali’.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Agu 2021, 16:08 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2021, 08:00 WIB
Seorang Ibu di Inggris Ikut Anaknya Kelas Agar Tidak Berlaku Kasar pada Guru
Ilustrasi remaja putra. (dok. unsplash/Novi Thedora)

Liputan6.com, Jakarta Anak yang mulai beranjak dewasa, khususnya fase remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi untuk mencari jati dirinya.

Sementara itu, orang dewasa cenderung mengingat masa remajanya sebagai masa di mana melakukan hal yang serba ‘pertama kali’.

Misalnya, pertama kali menstruasi untuk perempuan dan ejakulasi untuk laki-laki hingga melakukan hal yang memalukan sekalipun. Ada banyak hal menarik yang dilakukan serba pertama kali sebelum akhirnya masuk ke fase orang dewasa.

Hal tersebut tentunya menjadi titik balik dan proses metamorfosis terbesar kita semua. Namun, bagi mereka yang sedang melaluinya, masa remaja menjadi sebuah perjalanan yang panjang. Dimulai jauh sebelum mengantisipasinya dan berhenti lama setelahnya.

Menurut spesialis kedokteran remaja di Duke Health dr Richard J. Chung, ada kemungkinan bagi sekelompok remaja yang menghabiskan hampir 15 tahun di masa remaja.

Oleh karena itu, perjalanan fase remaja ini bisa lebih mudah diatur ketika pihak-pihak sekitarnya, seperti orang tua, memahami kapan harus khawatir dan rileks, kapan harus menegur dan diam, kapan harus berpegang erat dan melepaskan.

Lalu, bagaimana Anda sebagai orang tua dapat mengetahui hal tersebut? Melansir dari CNN Health, Rabu (10/8/2021), alih-alih menyarankan empat hal yang perlu diketahui orang tua. Yuk, simak penjelasan di bawah ini.

 

 

Kenali Pubertas Anak

Anak remaja/Unsplash Patrick
Anak remaja/Unsplash Patrick

Beberapa anak mulai pubertas sekitar di akhir sekolah dasar, yaitu 6 SD. Anak perempuan biasanya mulai lebih cepat, sekitar usia 8 tahun, dan laki-laki sekitar 9 tahun. Namun, kedua kategori tersebut masuk ke ‘pubertas sebelum waktunya’.

“Anak-anak lain mulai pubertas hingga akhir SMP. Untuk perempuan sekitar 13 tahun dan anak laki-laki sekitar 14 tahun,” jelas Chung. Seluruh proses dapat memakan waktu antara dua sampai lima tahun atau bahkan lebih lama.

Chung kembali menjelaskan mengenai perubahan fisik laki-laki dan perempuan yang mengalami pubertas, seperti membesarnya dada untuk perempuan dan membesarnya testis untuk laki-laki.

Hal ini wajar karena dipicu oleh hormon yang diikuti perubahan fisik, emosional, dan kognitif⎼ termasuk pertumbuhan rambut tubuh, dan perubahan massa otot serta lemak.

Namun, hal yang masih terkadang keliru adalah mengaitkan perubahan psikologis anak anak dengan hormon yang menyebabkan perubahan fisik. Padahal, kedua hal tersebut tidak selalu berhubungan dan masih belum dibuktikan dengan jelas.

“Kita mungkin mencoba menarik benang merah antara perubahan hormonal dan suasana hati, tetapi hal tersebut masih belum ada korelasi yang jelas. Ada beberapa alasan orang muda bertindak yang tidak terkait dengan perubahan hormon,” jelas Chung.

Dalam tahap remaja, ada perkembangan saraf sosial, emosional yang lebih luas dibandingkan fisik dan hormonal. Perkembangan ini masih sangat kompleks untuk diuraikan sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa hormon selalu berkaitan dengan suasana hati.

Apalagi pubertas yang dialami setiap orang berbeda-beda sehingga masih belum ada spesifikasi yang jelas. Ditambah, seringkali orang tua yang Chung temui melakukan riset kecil-kecilan di Google dan menemukan sesuatu yang tidak sesuai ekspektasi mereka.

“Sesuatu yang tidak sesuai justru menimbulkan banyak kecemasan,” paparnya. Melihat keluhan tersebut, Chung ingin orang tua membantu anak-anak melewati masa-masa ini dengan memastikan sang anak merasa nyaman apabila terjadi perubahan dalam tubuh mereka.

Riset juga menemukan ternyata perempuan biasanya lebih terbuka terhadap perubahan fisik dan hormonal yang terjadi dalam dirinya dibanding laki-laki. Hal ini yang membuat laki-laki cenderung merasa malu ketika bertanya mengenai ejakulasi.

“Orang tua perlu memisahkan percakapan antara pubertas dengan seksualitas,” jawab Chung.

 

 

Komunikasikan dengan Tepat

Selama masa pubertas, merasa tidak normal atau merasa bukan menjadi diri sendiri adalah normal. Para orang tua perlu mewaspadai anak perempuan Anda yang berkembang lebih awal, mulai waspadai lingkungan pertemanannya.

“Meskipun perempuan dewasa lebih cepat dibanding laki-laki, mereka sering kali tidak siap dalam aspek seksualitas. Hal tersebut dapat melukai harga diri mereka karena mulai melihat diri mereka sebagai objek” jawab profesor psikiater anak dan remaja di Hassenfeld Children's Hospital dr Jess Shatkin.

Sementara itu, laki-laki yang dewasa lebih awal, orang tua harus ingat bahwa ini akan membuat mereka cenderung berperilaku hal-hal yang lebih beresiko di usia muda daripada teman sebayanya. 

Shatkin menganggap hal ini terdengar masuk akal mengingat secara evolusioner, khususnya laki-laki yang memiliki peran di puncak hierarki sosial pada sejarah ketika era berburu makanan dan berjuang hidup dari tanah.

Namun, perlu digarisbawahi bagi setiap orang tua yang memiliki anak yang lebih cepat atau lebih lambat pubertas, tidak perlu khawatir tentang keadaan emosional mereka atau minta bantuan psikolog.

Tidak semua orang membutuhkan hal tersebut selama ada dukungan yang baik dari keluarga dan teman-teman. Pubertas adalah sebuah pengalaman baru seseorang dalam hidup.

“Bicaralah dengan anak Anda, ingatkan bahwa ini bukan sesuatu hal yang harus dilakukan, melainkan sebuah pengalaman baru dalam hidup,” jelas Shatkin

 

 

Dukung Secara Emosional

Merasa labil dan menunjukkan emosi yang pasang surut menjadi ciri khas dari masa-masa remaja. Hal ini bisa menjadi perhatian ketika mereka datang bersamaan dengan perubahan perilaku yang tiba-tiba.

Jika anak Anda kurang tidur, cemas, depresi, nilai akademis turun, berselisih dengan semua teman, ini adalah tanda emosi tidak stabil pada anak. Solusi yang ditawarkan para ahli adalah mengajukan pertanyaan dan mungkin mencari bantuan profesional.

Bila masalah yang terjadi lebih umum, seperti berkelahi dengan teman, orang tua harus menawarkan dukungan, bukan solusi. “Memiliki rasa ingin tahu, jangan membersihkan kekacauan mereka,” jelas Shatkin.

Namun, yang sering terjadi adalah orang tua membangun citra mereka sebagai teman dan pelindung. Seringkali lupa bahwa Anda tidak bisa selalu bersama sepanjang waktu untuk membuatnya bahagia.

Dengarkan Pendapat Mereka

Ada kalanya anak siap berbicara dan tidak siap berbicara pada Anda. Terkadang, dukungan yang diberikan bukan hanya menyediakan ruang dan waktu berkualitas bersama saja. Ada kebutuhan lain yang harus dipenuhi.

Dengarkan apa yang mereka rasakan, pikirkan, dan hal-hal lain yang bersifatnya lebih personal ke dalam diri anak Anda. 

“Ketika Anda tidak tahu harus berkata apa, alangkah baiknya untuk berada bersama anak Anda dan mendengarkan”, tutup Shatkin

Reporter: Caroline Saskia

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya