[OPINI] Donald Trump dan 'Campur Tangan' Ketua DPR

Kehadiran Setya Novanto selaku Ketua DPR tentunya dapat dianggap mencampuri urusan pemilihan presiden di negara Paman Sam.

oleh Liputan6 diperbarui 14 Sep 2015, 19:00 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2015, 19:00 WIB
Hikmahanto Juwana
Hikmahanto Juwana

Liputan6.com, Jakarta - Negara merupakan entitas abstrak. Negara dapat melakukan aktivitasnya melalui orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan yang diatur dalam konstitusi maupun pelbagai peraturan perundang-undangan.

Dalam hukum internasional tindakan individu yang menduduki suatu jabatan resmi negara berarti tindakannya dapat diatribusikan atau dimaknai sebagai tindakan negara. Dalam hukum internasional juga terdapat prinsip di mana sebuah negara dilarang mencampuri urusan dalam negeri dari negara lain (non-intervention principle).

Tindakan Setya Novanto selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menghadiri acara konferensi pers Donald Trump, pengusaha Amerika Serikat (AS) yang sedang berancang-ancang untuk mengikuti pemilihan Presiden di AS, dimaknai sebagai tindakan Indonesia mencampuri urusan dalam negeri AS.

Mengapa? Pertama, Setya Novanto menggunakan simbol DPR di jas yang dikenakan. Kedua, Setya Novanto dikenalkan oleh Donald Trump sebagai Ketua DPR. Terakhir, Setya Novanto mengiyakan perkenalan Donald Trump tersebut.

Ini menandakan Setya Novanto hadir dalam konferensi pers dalam kapasitasnya selaku ketua, meski dalam Undang-Undang Hubungan Internasional, Ketua DPR bukan merupakan pihak yang dapat mewakili Indonesia, namun jabatan selaku Ketua DPR dapat diatribusikan sebagai Indonesia.

Kehadiran Setya Novanto selaku Ketua DPR tentunya dapat dianggap mencampuri urusan pemilihan presiden di negara Paman Sam. Para calon kandidat Presiden AS dapat mempermasalahkan. Mereka dapat menuduh Donald Trump memanfaatkan Ketua DPR RI untuk memperbaiki imejnya sebagai calon kandidat Presiden AS.

Di dalam negeri AS, meski dukungan terhadap Donald Trump menguat, namun ia mendapat tentangan dari kaum minoritas AS. Termasuk di dalamnya kaum Muslim.

Trump dalam berbagai kesempatan menganggap, kaum minoritas yang berasal dari imigran gelap telah membebani AS. Trump dalam beberapa kesempatan juga tidak menyetujui pembangunan masjid di gedung pengganti World Trade Center.

Strategi untuk menghadapi tentangan dari kaum minoritas adalah memanfaatkan kehadiran Ketua DPR dan delegasi. Dengan kata-kata 'they come to see me' (mereka datang untuk menemuiku), ia ingin memberi kesan Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, tidak mempunyai masalah dengannya. Trump tetap dibutuhkan oleh negara-negara yang identik dengan Islam.

Belum lagi ketika Trump menanyakan kepada Ketua DPR apakah rakyat Indonesia menyukai beliau dan mendapat jawaban 'ya, sangat', inipun akan memberi kesan Trump bukanlah orang yang harus dimusuhi oleh mereka.

Ketua DPR mungkin saja tidak menyadari saat itu ia sedang dimanfaatkan oleh Trump, paling tidak oleh penasehat dan tim ahli strategi yang akan menjadikan Trump sebagai Presiden AS. Beruntung para calon kandidat presiden dari Partai Republik dan Partai Demokrat tidak memprotes hal ini.

Mengapa tidak protes? Bisa jadi karena Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang signifikan untuk memberi dukungan ke Donald Trump. Hal ini tentu akan berbeda bila Ketua DPR negara besar seperti Russia, Inggris, atau Jepang yang hadir dalam kesempatan tersebut.

Tetapi secara hukum internasional, tindakan Setya Novanto tidak boleh terulang kembali kepada siapapun warga Indonesia yang sedang memegang jabatan. Jabatan yang melambangkan Indonesia harus dijaga oleh siapapun yang mengembangnnya. Disinilah seharusnya kehati-hatian Setya Novanto dituntut.

Sebagai Ketua DPR, ia harus sadar akan jabatan yang diemban. Kalaulah ia menghadiri konferensi pers sebagai tamu Donald Trump, seharusnya atribut DPR tidak digunakan. Bahkan perkenalan sebagai Ketua DPR pun tidak dilakukan.

Ia pun harus berdiri tidak di belakang Trump dan berbaur dengan para pendukung Trump. Seharunya Ketua DPR dan delegasi berdiri disamping yang tidak terlihat. Tetapi harus diakui, Trump pandai memainkan kartu.

Dalam konstitusi AS, Ketua DPR mempunyai jabatan ranking nomor tiga setelah Presiden dan Wakil Presiden. Trump tahu betul ia sedang berhadapan dengan televisi AS dan tentunya pemirsa AS.

Memperkenalkan Setya Novanto sebagai Ketua DPR RI berarti orang nomor tiga di Indonesia datang menemuinya. Ini terlepas di Indonesia Ketua DPR dalam konstitusi tidak menduduki ranking jabatan nomor tiga.

Meski di AS kehadiran Ketua DPR dalam konferensi pers Donald Trump tidak dipermasalahkan, namun di dalam negeri Setya Novanto dipermasalahkan. Sejumlah anggota Dewan telah mengadukan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan. Setya Novanto diduga telah melanggar kode etik anggota DPR.

Tentu kita semua harus menunggu apa yang menjadi putusan Mahkamah Kehormatan Dewan. Terlepas dari putusan Mahkamah Kehormatan Dewan, pelajaran penting dari insiden ini adalah siapapun yang sedang mengemban jabatan negara ketika berada di luar negeri, harus berhati-hati dalam bertindak dan selalu sadar akan jabatan yang diemban.

Jangan mereka ingin selalu diperlakukan agung dengan jabatannya di dalam negeri, tetapi menjual murah jabatan tersebut saat berada di luar negeri. (Sun/Mut)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya