Religiusitas dan Gereja Inklusif

Dalam konteks beragama, religiusitas itu tidak memikirkan diri sendiri, justru memberikan diri untuk keselamatan orang lain.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Mar 2018, 19:03 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2018, 19:03 WIB
Opini Benny Susetyo PR
Opini Benny Susetyo PR (liputan6.com/Trie yas)

Liputan6.com, Jakarta - Agama harus sampai pada religiusitas. Dan beragama harus mengembangkan kehidupan inklusif. Pemahaman agama yang sempit didasari cara pandang agama yang sempit, karena bukan melihat agama dalam pengertian realitasnya.

Dalam realitasnya adalah pluralisme agama yang hidup di bumi Indonesia. Oleh karena itu, yang lebih penting dikemukakan dalam konteks ini adalah pemahaman religiusitas.

Dengan adanya pemahaman religiusitas yang memadai, maka kita akan mencetak, seperti dikatakan Spranger, manusia religius.

Manusia religius adalah manusia yang memahami hakikat agama dalam bingkai pluralisme.

Manusia Religius

Dalam konteks ini, manusia religius merupakan manusia yang menyerahkan kehidupannya kepada Yang Ilahi. Dia tidak akan sekali-kali mempolitisasi agamanya untuk kepentingan politik dan kekuasaan.

Karena politik dan kekuasaan diarahkan untuk menjatuhkan lawan dan akan begitu selamanya, sementara agama diarahkan pada yang suci dan mulia.

Dengan demikian, manusia religius pertama-tama tidak memandang apa agama yang dianut, tetapi bagaimana mengarahkan seluruh kehidupannya kembali kepada Yang Ilahi.

Dalam realitas pluralisme ini, agama dipahami dalam konteks privat daripada publik.

Dalam konteks beragama, religiusitas itu tidak memikirkan diri sendiri, justru memberikan diri untuk keselamatan orang lain. Iman harus menghasilkan buah kebaikan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan.

Pada intinya, beragama secara benar adalah bila kita mampu mengendalikan diri kita sendiri untuk tidak memuaskan diri sendiri.

Jadi, cara beragama yang sehat tidak cukup hanya menyangkut acara ritual di antara tempat dinding rumah ibadah saja, tetapi perlu diimplementasikan dalam realasinya di tengah-tengah agama lain.

Oleh karena itu kita perlu menafsirkan kembali cara beragama kita kepada Tuhan. Cara kita beragama harus dikembalikan dalam realitas sosial. Bila engkau masih melakukan korupsi, kolusi, ataupun nepotisme, selesaikanlah lebih dahulu, baru merayakan ibadat.

Peribadatan kita menjadi memuakkan, ketika dalam waktu yang bersamaan tangan kita berlumuran dosa-dosa sosial.

Seperti dikatakan Romo Mangun Wijaya, bahwa orang yang memiliki religiusitas itu tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi justru memberikan diri untuk keselamatan orang lain.

Sejauh mana cara beragama kita kepada Tuhan sudah kita arahkan kepada orang lain, sesama kita yang membutuhkan kehadiran kita untuk keselamatan.

Kita harus mengajarkan pada generasi hari ini untuk beragama menggunakan kepekaan hati dan nalar sehat.

Dengan cara beragama yang demikian, kita akan mengembangkan humanisme dalam religiusitas kita beragama, sehingga akan membuat bangsa ini semakin kuat dalam ikatan sosial-religius, dalam beragama di tengah-tengah agama lain.

Dalam konteks relasi lintas agama, setiap orang boleh saja meyakini kebenaran agamanya secara fundamental, tetapi dia tidak boleh memaksakan keyakinannya itu kepada orang lain, apalagi dengan cara-cara kekerasan.

Kita ingin membentengi diri atau saudara-saudara kita dari gerakan fundamentalis, kita harus mengikuti metode kerja dengan memproduksi makna religiusitas yang mudah dimengerti, dan juga berisi janji-janji yang pasti tentang keselamatan.

 

Gereja Inklusif

Gereja Santa Maria de Fatima
Gereja Santa Maria de Fatima (Liputan6.com/Lady Farisco)

Gereja harus aktif mengembangkan kehidupan beragama yang inklusif. Istilah Inklusif dalam kehidupan beragana merujuk pada suatu perilaku yang terbuka, yang toleran kepada kelompok lain yang berbeda identitas dengan kelompok kita.

Perilaku terbuka tersebut mengandung kepercayaan bahwa di luar kelompok kita ada banyak kebenaran yang bisa kita pelajari, dan untuk itu kita bukan hanya bisa, tetapi perlu banyak bergaul, bersahabat, bahkan bekerjasama dengan berbagai kelompok yang ada di luar diri kita.

Gereja mengembankan sikap religius di tengah agama lain untuk bersama-sama mewujudkan keselamatan.

Sebaliknya, jangan memelihara inklusivitas. Dalam sikapnya beragama, yang dimaksud dengan eksklusif adalah perilaku yang berlawanan dengan sikap inklusif.

Sikap ekslusif mengacu pada perilaku yang merasa bahwa diri kita adalah kelompok yang paling benar, paling suci, paling baik, dan paling sah untuk melakukan berbagai hal.

Entah dari mana muncul klaim seperti ini, yang pasti bahwa klaim seperti ini tidaklah betul. Sebab, sulit bagi kita manusia untuk menentukan siapa sesungguhnya yang paling benar.

Sikap inklusif membuka kerukunan hidup bersama. Gereja hadir di dalam masyarakat di tengah-tengah agama lain. Di sini kerukunan dimengerti sebagai hidup rukun, artinya hidup bersama secara tenang dengan saling menghormati dan menghindari timbulnya konflik emosional.

Kerukunan sejati melebihi sikap toleran dan bercorak positif: saling menerima dalam segala kesamaan dan perbedaan.

Kerukunan menuntut semua pihak untuk bersikap tidak saling mengganggu dan tidak menolak perbedaan, serta tidak sekadar memperoleh "keuntungan".

Sikap religius di tengah agama lain akan menyuburkan dialog antar agama.

Pokok yang sejalan dengan salah satu pernyataan dari Sidang Para Uskup Se-Asia (FABC), yang menyebutkan bahwa dialog antarumat beragama, mempunyai empat dimensi perwujudan, yakni: (a) Dialog Kehidupan, dimana orang berjuang untuk hidup dalam semangat keterbukaan dan bertetangga, dengan saling membagi pengalaman kegembiraan dan kedukaan, permasalahan-permasalahan serta keprihatinan-keprihatinan manusiawi.(b) Dialog Tindakan, dimana orang-orang Kristiani dan orang-orang yang beragama lain bekerjasama bagi terwujudnya kemajuan dan pembebasan rakyat secara utuh.

(c) Dialog Pengalaman Religius, dimana orang-orang yang berakar pada tradisi keagamaan mereka masing-masing berbagi kekayaan rohani.

(d) Dialog dalam Pembicaraan Teologis, dimana para spesialis berusaha memperdalam pemahaman mereka mengenai warisan-warisan religius mereka, serta saling menghargai nilai-nilai kerohanian yang dimiliki masing-masing pihak.

 

 

Kesalehan Sosial

Toleransi Umat Beragama di Flores Timur
Toleramsi Umat Beragama di Flores Timur. (Liputan6.com/Ola Keda)

Mengapa sikap inklusif itu penting? Yang patut menjadi perhatian kita bersama adalah bahwa sikap menerima kelompok lain dengan terbuka adalah hal yang sangat dianjurkan oleh Gereja.

Bahkan dalam banyak hal, kita harus membuka mata dan makin mengenali mereka yang ada di sekeliling kita. Usaha semacam itu sebenarnya sudah banyak diupayakan berbagai pihak.

Sikap beragama yang inklusif ini kemudian menjadi penting, karena sesungguhnya kita bisa saling bekerja sama dengan kelompok-kelompok yang berbeda untuk menangani isu-isu yang menjadi keprihatinan bersama.

Hal ini mengacu pada apa yang sudah disebut sebagai dialog kehidupan, dialog tindakan, dialog pengalaman religius, dan dialog dalam pembicaraan teologis.

Pokok ini sejalan dengan sikap gereja terhadap hubungan antarumat beragama. Dalam hubungan dengan umat beragama lain, akan ada empat macam kemungkinan sikap yang mungkin terjadi.

Pertama, adalah sikap eksklusif, yaitu sikap yang mempunyai kerangka pikir bahwa orang tidak akan diselamatkan kecuali kalau mengakui iman yang saya akui atau memeluk agama yang saya peluk.

Orang yang berpola pikir demikian akan berpendapat bahwa keselamatan hanya terjadi dalam Gereja, sedangkan di luar Gereja dianggap tidak ada keselamatan.

Sikap seperti ini harus kita jauhkan karena hanya akan berujung pada pemahaman agama yang sempit.

Kedua, adalah sikap inklusif, yaitu sikap yang menerima adanya perwahyuan dalam agama-agama lain, yang juga menjadi tanda dan sarana untuk menuju keselamatan.

Keselamatan orang lain terjadi melalui unsur yang menentukan dalam agama yang saya anut. Dalam pandangan ini, orang beragama lain juga akan diselamatkan melalui Yesus Kristus, juga kalau mereka tidak menyadari atau tidak mengakui hal itu.

Sikap ini menunjukkan simpati kepada penganut agama lain tanpa harus menyamaratakan semua ajaran agama. Sikap seperti ini yang harus terus kita kembangkan untuk sampai pada pemahaman iman, dengan sikap religius yang terbuka di tengah agama lain dalam realitas masyarakat Indonesia yang plural.

Ketiga, adalah sikap menerima pluralitas atau sikap pluralis. Dalam hal pluralis ini, muncul sikap bahwa "semua agama sama saja".

Sayangnya, dengan sikap ini orang kurang menyadari makna mendalam dari agama yang dipilih dan dipeluknya sendiri. Hal itu dapat disebut sebagai pluralis tanpa integritas yang tegas.

Keempat, adalah sikap yang disebut sebagai pluralis berintegritas terbuka. Maksudnya adalah sikap pluralis yang "mengakui dan menerima kekhasan agama masing-masing sekaligus saling belajar dari yang lain".

Sikap ini juga dapat dikatakan sebagai pluralis dialogal, yang mengakui kenyataan pluralisme iman dan agama secara serius. Kita perlu mengembangkan sikap beriman secara kritis.

Gereja tidak menghendaki kita melakukan kegiatan agama hanya secara formal, atau jatuh dalam sikap "formalisme beragama".

Keberagaman kita di Indonesia mestinya tidak sekadar kesalehan individual, tapi juga kesalehan sosial. Jika beragama kita berwajah seperti itu, maka wajah agama kita amat manusiawi. Sebab orientasinya tidak egoistik, tetapi mengandung relasi dengan sesama, bahkan altruistik.

Jika demikian, ibadatnya pun lebih dilandasi sikap hati yang tulus untuk memberi penghargaan terhadap martabat kemanusiaan. Karena mempersembahkan korban bukan hal utama, melainkan pemihakan kepada nilai-nilai kemanusiaan.

Inilah makna religiusitas itu, menghayati iman dengan mengembangkan sikap religius di tengah agama lain.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya