Liputan6.com, Jakarta Perpecahan antara Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) dengan penyelenggara Indonesia International Motor Show (IIMS) memunculkan kabar tidak sedap. Dealer-dealer di bawah Agen Pemegang Merk (APM) yang menjadi anggota Gaikindo dikabarkan dilarang untuk mengikuti ajang pameran berskala internasional tersebut.
Namun Ketua I Gaikindo Jongkie D Sugiharto mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah melarang anggotanya untuk ikut serta dalam pameran manapun.
"Mau IIMS silahkan, GIIAS (Gaikindo Indonesia International Auto Show) silahkan," ujarnya di Jakarta, seperti ditulis Kamis (28/5/2015).
Dia mengungkapkan, Gaikindo memang menyelenggarakan pameran tersendiri dan terpisah dari IIMS, yaitu GIIAS. Namun bukan berarti pihaknya melarang para dealer untuk ikut IIMS dan harus ikut dalam GIIAS.
"Kami memang menyelenggarakan GIIAS, tapi anggota kami bebas mau menentukan sendiri, tidak ada larangan (mengikuti pameran lain)," katanya.
Jongkie juga enggan berkomentar lebih jauh tentang kemungkinan adanya APM yang melarang dealer-dealer dibawahnya untuk ikut IIMS. Menurut dia, hal tersebut merupakan otoritas masing-masing APM.
Seperti diketahui, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan telah menerima aduan terkait pelarangan terhadap dealer dari beberapa brand kendaraan roda empat untuk mengikuti ajang pameran IIMS 2015.
Juru Bicara KPPU Mohammad Reza mengatakan, pelarangan ini diduga merupakan buntut dari perpecahan antara penyelenggara IIMS dengan Gaikindo yang pada tahun ini akan menggelar pameran sendiri bernama GIIAS.
"Dalam pemahaman kami, kalau nggak ikut hanya karena nggak ikut bisa karena keputusan bisnis semata, tetapi kalau melarang orang tidak ikut pameran itu menjadi masalah," kata dia.
Jika benar ada unsur pemaksaan terhadap dealer-dealer agar tidak ikut pada IIMS tahun ini, ada beberapa pasal yang bisa dikenakan kepada pihak yang melakukan pemaksaan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada pasal 15 tentang execlusive dealing dan pasal 19 tentang diskriminasi.
"Nanti kami akan melihat dulu seperti apa sesungguhnya yang akan dilaporkan. Tapi ini ancamannya denda Rp 1 miliar hingga Rp 25 miliar. Untuk persaingan, memang sifat dendanya administratif," tandas Reza.
(dny/sts)