Penyebab Tidak Efektifnya Penegakan Pidana Pemilu

Bawaslu bersama Polri dan Kejagung menandatangi peraturan bersama tentang proses penanganan tindak pidana pemilu.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 21 Nov 2016, 17:14 WIB
Diterbitkan 21 Nov 2016, 17:14 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Bawaslu bersama Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) menandatangi peraturan bersama tentang proses penanganan tindak pidana pemilu di kompleks Mabes Polri, Jakarta. Langkah ini dilakukan untuk mengefektifkan tindakan bagi pelanggar pidana pemilu, khususnya pada masa kampanye dan pelaksanaan Pilkada 2017.

"Kalau kita melihat sentra Gakumdu versi lama, itu jumlah tindak pidana pemilu yang bisa ke pengadilan dan diputus hakim itu sangat sedikit, terbatas jumlahnya dari yang disampaikan oleh Bawaslu dalam sentra Gakumdu," kata Ketua Bawaslu Muhammad, Senin (21/11/2016).

Menurut dia, ada beberapa penyebab tidak efektifnya penegakan hukum bagi para pelaku pidana pemilu. Di antaranya koordinasi yang masih minim antar pihaknya, Polri, dan Kejagung.

"Salah satu penyebabnya adalah karena tidak efektifnya koordinasi dari ketiga lembaga ini. Panwas dan penyidik dan penuntut kejaksaan ini, versi UU sebelumnya. Dalam UU baru ini, setelah dievaluasi dari tiga unsur ini, akan kita optimistis bahwa proses penanganan pidana pemilu, jauh lebih efektif dan responsif," terang Muhammad.

Selama ini, Muhammad menuturkan, proses penanganan tindak pidana pemilu berjalan tidak simultan. Bila ada laporan masuk ke Panwaslu, butuh 2-3 hari untuk meneliti laporan tersebut. Kemudian baru diserahkan ke penyidik Polri.

Tak sampai di situ, laporan yang diterima penyidik Polri dari Panwas harus dipelajari terlebih dahulu selama 14 hari. Lalu setelah itu dilimpahkan ke Kejaksaan.

Di Kejaksaan pun, berkas perkara tersebut tak langsung disimpulkan dan dikirim ke Pengadilan. Bila jaksa menganggap ada kekurangan, maka berkas tersebut dikirim kembali ke Panwas. Menurut Muhammad, proses tersebut memakan waktu yang lama dan tidak efektif.

"Akhirnya pada proses Pilkada sebelumnya, banyak proses hukum itu berhenti karena kehabisan waktu atau kedaluwarsa. Sebagaimana kita pahami bersama, UU kita terkait pemilihan gubernur, bupati dan wali kota, itu menggunakan lex specialis. Limitasi waktu yang sangat ketat," tambah dia.

Dengan adanya penandatanganan peraturan bersama, Muhammad berharap proses penanganan laporan atau temuan pidana pemilu bisa langsung dipelajari oleh Bawaslu, Polri, dan Kejagung.

"Begitu ada laporan, hari pertama sudah diproses oleh ketiga institusi sehingga penanganannya lebih cepat," ucap Muhammad.

Cegah Pelanggaran

Sementara, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Ari Dono Sukmanto berharap kerja sama ini dapat menghasilkan efek preventif atau pencegahan terkait pidana pemilu. Sehingga, pelanggaran pidana pemilu bisa diminimalisasi.

"Bukan kita mengutamakan menangkap atau menindak, tapi lebih ke preventif untuk mencegah suatu pelanggaran di dalam kegiatan pemilu ini," kata Ari.

"Nantinya diikuti juga oleh seluruh Kapolda, para Kepala Kejaksaan Tinggi dan Panwaslu di seluruh Indonesia," sambung Ari.

Jaksa Agung Pidana Umum Noor Rochmad menilai, kerja sama ini dapat mempermudah pihaknya dalam melengkapi berkas perkara pidana pemilu. Kemudian, ketika nanti berkas dibawa ke meja hijau, pihaknya bisa lebih mudah melakukan pembuktian adanya dugaan pidana.

"Sehingga ketika dibawa ke pengadilan, tentu jaksa lebih gampang dalam membuktikannya ke pengadilannya. Saya berharap nantinya sinergi antara Bawaslu, penyidik, dan kejaksaan benar-benar menjadi satu pemahaman ke pengadilannya lebih mudah pembuktiannya," tutur Noor Rochmad.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya