SMRC Sebut 80 Persen Publik Percaya KPU, TKN Minta Upaya Delegitimasi Dihentikan

TKN menilai selain mendeligitimasi, juga mengganggu. Sehingga itu di-framing seakan-akan KPU dipakai pemerintah untuk kepentingan tersebut.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Mar 2019, 21:49 WIB
Diterbitkan 13 Mar 2019, 21:49 WIB
Jurgen Morlok Kunjungi DPP PKB
Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding (kanan) bersama Pembina Friedrich Naumann Stiftung (FNS) Jerman, Jurgen Morlok memberikan keterangan pers di Jakarta, Selasa (31/10). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, Abdul Kadir Karding berharap tidak ada upaya deligitimasi penyelenggara pemilu. Menurut Karding, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah dinilai publik bekerja independen.

"Publik menilai KPU telah bekerja keras, independen, berupaya semaksimal mungkin untuk profesional. Kita punya kepentingan agar KPU ini miliki legitimasi agar bisa bekerja baik. Justru jangan dikacaukan, jangan diganggu, jangan dideligitmasi," kata Karding saat dihubungi, Selasa 12 Maret 2019.

Hal itu merujuk jajak pendapat yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting. 80 persen publik percaya kepada KPU. Hasil itu, kata Karding penting untuk menujukan ada yang sengaja membangun opini untuk mendelegitimasi KPU.

"Memang ada upaya-upaya yang serius dibangun oleh, terutama dugaan saya oleh kubu 02 untuk mendeligitimasi KPU sebagai penyelenggara pemilu. Dan ada upaya untuk mengganggu dalam artian kerja-kerja mereka (KPU)," jelasnya.

"Jadi selain mendeligitimasi, juga mengganggu. Sehingga itu di-framing seakan-akan KPU dipakai oleh pemerintah untuk kepentingan itu. Dan sekali lagi itu pasti tidak benar," tegas Karding.

 

Framing KPU Tak Netral

KPU Simulasi Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu 2019
Ketua KPU Arief Budiman memasukkan surat suara saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2019 di halaman Gedung KPU, Jakarta, Selasa (12/3). Simulasi untuk merepresentasikan pemungutan suara seperti di TPS. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara itu pengamat komunikasi politik, Emrus Sihombing setuju ada upaya framing KPU tidak netral. Menurutnya, ada upaya wacana publik yang dilemparkan sebagai agenda politik.

"Saya kira tidak ada pesan komunikasi tanpa tujuan. Kritik soal netralitas KPU itu sudah ada sejak sebelum pemerintahan Jokowi, SBY, dan sebelum-sebelumnya. Tujuannya untuk membuat orang-orang yang mendukung kekuatan politik tertentu menjadi pasif. Supaya jumlah orang yang ke TPS dan kotak suara yang mendukung kekuatan politik tertentu berkurang," jelasnya.

Namun mengutip survei SMRC, kepercayaan terhadap KPU sudah kuat. Kendati masih ada 10-11 persen tidak percaya KPU netral.

“80 persen itu dari sudut statistik sudah signifikan, sudah sangat kuat. Tidak bisa digeneralisasikan ke populasi. Artinya sudah sangat mempunyai representasi secara politik maupun legitimasi dari rakyat,” tegasnya.

Kendati demikian, sebagai lembaga KPU juga tetap memiliki kelebihan dan kekurangan. Emrus mencontohkan soal DPT warga negara asing yang langsung direspons cepat oleh KPU.

“Dengan kemampuan KPU sekarang, sebagai produk politik teman-teman di legislatif, sampai saat ini dan saya yakin sampai dilantik presiden kita, siapa pun nanti yang terpilih, mereka (KPU) adalah lembaga yang tetap independen melakukan tugas-tugasnya,” jelas Emrus.

Dia menilai kritikan bisa menjadi energi bagi KPU untuk berbenah. Tantangan ke depan, KPU harus lebih transparan dalam melakukan semua kegiatannya.

"Rapat-rapat mereka disaksikan dan bisa diakses masyarakat. Detik demi detik terbuka dan semua bisa mengontrol. Berikutnya, saya saran kepada KPU supaya hati-hati dengan teknologi yang digunakan. Jangan sampai ada teknologi lain mengintervensi dan mengganggu sistem kereja mereka (KPU). Proteksi teknologi harus mereka benahi supaya realiable,” jelas Emrus.

Reporter: Ahda Bayhaqi

Sumber: Merdeka.com

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya