Liputan6.com, Jakarta Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil menyarankan Partai Politik menolak calon kepala daerah yang pernah tersandung kasus penyalahgunaan narkoba pada Pilkada 9 Desember 2020 mendatang.
Untuk memilih calon pemimpin daerah, partai Selektif dan memiliki sistem verifikasi untuk menelusi jejak rekam jejak calon yang bakal diusung.
Baca Juga
"Apa tidak ada kader yang bukan mantan pengguna narkotika yang jauh lebih sehat, yang jauh lebih berintegritas, yang punya rekam jajak bersih. Kan banyak kader-kader partai, banyak figur-figur yang bisa didorong, kenapa harus mendorong mantan pengguna narkotik. Kalau menggunakan perspektif pemilih kan seperti itu. Nah cara pandang seperti itu yang harus dilakukan partai ketika mengusung atau tidak mengusung satu calon," ujar Fadli saat dihubungi, Minggu (26/7/2020).
Advertisement
Menurut Fadli, partai harus membangun mekanisme verifikasi sebelum menentukan calon kepala daerah.
Teknisnya, kata dia, partai bisa bekerjasama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) Pusat, BNN daerah, dan sejumlah rumah sakit rehabilitasi untuk menelusuri jejak rekam apakah calon yang akan diusung itu pernah terlibat dalam penyalahgunaan obat-obatan zat adiktif atau tidak.
"Jadi desakannya tidak hanya kepada membangun sistem verifikasi terhadap mantan pengguna narkoba tapi juga mendesak kepada partai untuk lebih hati-lebih mencalonkan siapa orang yang akan diusung. Jadi kan tidak boleh melihat problem ini hanya dari satu aspek saja," katanya.
Fadli juga mendorong Komisi II DPR, Kementerian Dalam Negeri, KPU dan Bawaslu menggodok peraturan yang melarang mentan pengguna narkoba maju di Pilkada. Aturan tersebut bisa berpedoman pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016.
"Harus diturunkan dalam regulasi teknis di peraturan KPU. Nah dalam menyusun regulasi teknis itu kolaborasi yang positif dengan Rumah Sakit rehabilitasi mantan pengguna narkoba. Itu harus dilakikan, harus dibangun komunikasi dengan BNN, BNN Daerah. Dan kepolisian juga mesti melakukan sistem pelacakan dan verifikasi yang baik. Itu kalau kita bicara poroses dihilirnya kalau nanti memang ada mantan pengguna narkoba dicalonkan. Jadi harus ada instrumen hukum yg disiapkan. Tapi sebelum itu ya proses di hulunya ya partai politik. Ngapain partai nyalonin mantan pengguna narkotika," katanya.
Fadli menambahkan, partai tidak boleh bersikap pragmatis dalam mengusung calon pejabat publik, seperti calon kepala daerah. Partai harus menjalankan sistem kaderisasi dan penjaringan calon kepala daerah.
"Iya harusnya partai punya sistem kaderisasi dan rekrutmen yang jauh lebih demokratis sehingga penelusuran jejak rekam siapa yang dicalonkan itu tidak boleh pragmatis sederhana saja tapi juga betul-betul orang yang berintegritas, orang-orang yang punya jejak rekam yang bersih. Nah itu yang kemudian harus diperhatikan (partai)," tambahnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Gugatan Mantan Bupati Ogan Ilir
Untuk diketahu, pada Desember 2019 lalu MK memutuskan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016. Putusan MK tersebut melarang pecandu narkoba maju di Pilkada.
Putusan Mahkamah ini berawal ketika mantan Bupati Ogan Ilir, Ahmad Wazir Noviadi, mengajukan permohonan uji materi aturan tentang syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Pasal tersebut adalah larangan bagi seseorang dengan catatan tercela mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dan pemakai dan bandar narkoba dianggap perbuatan tercela.
MK menyebut pemakai narkoba dilarang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, kecuali dengan alasan kesehatan si pemakai yang dibuktikan dengan keterangan dari dokter. Selain pengguna dan bandar narkoba, perbuatan tercela dalam putusan Mahkamah tersebut juga termasuk judi, mabok dan berzina.
Advertisement