Asosiasi Pengembang Ini Tolak Kepemilikan Properti Asing

Persoalan hak milik properti bagi asing jangan sekadar memikirkan keuntungan semata.

oleh Liputan6 diperbarui 25 Jun 2015, 11:22 WIB
Diterbitkan 25 Jun 2015, 11:22 WIB
Pertumbuhan Properti 2015 Anjlok
Penampakan apartemen di salah satu kawasan di Jakarta, Senin (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menolak dibukanya keran kepemilikan properti bagi orang asing. Apa alasannya?

Ketua Umum DPP Apersi, Eddy Ganefo berpendapat, pemberian hak milik residensial kepada warga asing dipastikan akan mengancam mengancam ketahanan nasional, serta melanggar undang- undang.

Menurut dia, kalau asing diizinkan memiliki properti di Indonesia, maka nantinya banyak pulau-pulau terluar yang berbatasan dengan negara tetangga dikuasai asing dan bukan tidak mungkin akan didorong oleh negara tetangga tersebut untuk dibangun properti dan mereka beli.

"Jika pulau-pulau tersebut sudah dibeli dan didiami oleh orang asing (negara tetangga) maka garis batas negara kita akan bergeser, serta pulau itu bisa diklaim sebagai tanah mereka. Itu semua perlu dipertimbangkan oleh pemerintah," kata Eddy Ganefo yang dihubungi Liputan6.com, Kamis (25/06/2015).

Dia menegaskan persoalan hak milik properti bagi asing jangan sekadar memikirkan keuntungan semata, namun harus juga mempertimbangkan rasa nasionalisme dan kedaulatan nasionalisme. Apalagi tahun ini penerapan pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai diberlakukan.

Pemberian hak properti bagi asing, menurut Eddy, pun jelas melanggar Undang-Undang No 5 tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Di situ disebutkan hanya warga negara Indonesia yang bisa berhubungan langsung menguasai bumi, air dan ruang atau udara di atasnya. Di UU itu disebutkan orang asing hanya diperbolehkan tinggal dengan status hak pakai atau hak sewa dalam batas waktu tertentu.

"Oleh karena itu, rencana pemberian hak milik untuk hunian kepada asing patut ditolak, karena kental dengan aroma kapitalisme dan hanya akan menguntungkan beberapa pengembang besar saja," tegas dia.

Sementara ribuan pengembang lain akan mengalami kerugian akibat harga properti akan melambung tinggi akibat lonjakan harga tanah yang tidak terkendali akibat maraknya pengembangan hunian mewah untuk orang asing tersebut. Begitu pula dengan konsumen, makin sulit memperoleh rumah yang terjangkau.

"Kalau itu terjadi, maka banyak pengembang menengah bawah terutama yang membangun rumah murah akan susah mendapatkan tanah murah. Dampak ini apakah sudah dipikirkan pemerintah?" ungkap Eddy.

Dari pada memberikan hak milik hunian bagi warga asing yang berisiko mengancam kedaulatan negara, Eddy cenderung mendukung perpanjangan jangka waktu hak pakai atau hak sewa dari yang kini berlaku selama 25 tahun, kemudian dapat diperpanjang 20 tahun dan 25 tahun lagi.

"Bisa saja diperpanjang sekaligus menjadi 50 tahun, 70 tahun, atau 99 tahun, tapi apa memang orang asing itu mau tinggal sampai selama itu di Indonesia?" tandas Eddy.

Reporter: Muhammad Rinaldi

(Rinaldi/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya