Pertumbuhan Penyaluran Kredit Properti Melambat

Ketatnya peraturan pemberian kredit properti dan penurunan daya beli masyarakat diakui sebagai faktor yang membuat permintaan menurun

oleh Fathia Azkia diperbarui 21 Jul 2017, 12:55 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2017, 12:55 WIB
Ilustrasi Bank
Ilustrasi Bank

Liputan6.com, Jakarta Situasi perekonomian global dan regional yang masih dalam tahap pemulihan secara makro memberi imbas bagi sektor properti. Adalah salah satunya ekspansi kredit properti yang disalurkan perbankan tertahan sejak 2014, termasuk juga gerak pertumbuhannya yang melambat.

Kredit untuk sektor properti dapat berupa kredit korporasi yang diperuntukkan bagi perusahaan pengembang (developer) maupun perusahaan kontraktor bangunan.

Selain itu, perbankan juga dapat menyalurkan kredit kepada para konsumen dalam bentuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA). Saat ini kredit untuk konsumen (KPR dan KPA) diyakini masih mendominasi porsi kredit perbankan ke sektor properti.

Baca juga: Segala Hal yang Harus Anda Ketahui Seputar Kredit Pemilikan Rumah

Direktur GMT Properti, Sunardjaja Tjitjih, mengatakan ketatnya peraturan pemberian kredit properti dan penurunan daya beli masyarakat diakui sebagai faktor yang membuat permintaan terhadap kredit properti mengalami pelambatan.

“Bisnis properti yang sedang kurang bergairah tersebut menjadi perhatian banyak pihak, termasuk kalangan perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Pasalnya, properti merupakan salah satu sektor yang memiliki kemampuan untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya kepada Rumah.com.

“Di dalam sektor properti setidaknya ada 135 sektor turunan yang memengaruhi ekonomi masyarakat,” katanya dalam sambutan Seminar Strategi Penanganan Pembiayaan Sektor Properti di Tengah Melemahnya Daya Beli yang dihelat di Jakarta.

Sementara itu Marx Andryan dari firma lawyer Marx & Co mengungkapkan, “Naiknya kebutuhan biaya hidup mengakibatkan masyarakat lebih suka menyimpan uang atau berinvestasi pada produk mata uang asing, atau produk perbankan lainnya ketimbang sektor properti.”

“Dampak dari turunnya minat masyarakat untuk membeli produk properti ini mengakibatkan para pelaku usaha mengalami kesulitan untuk menjual produknya, sehingga mengakibatkan gagal bayar (non performing loan),” ia menambahkan.

Menyikapi pelemahan pasar, Direktur Operasional GMT Institute, Frumentius da Gomez, berpendapat dalam penyaluran kredit kepada masyarakat khususnya para pelaku bisnis, terkadang timbul persoalan yang cukup menyulitkan.

“Contohnya saat debitur memiliki kemampuan bayar yang rendah dan tidak berpengalaman dalam mengelola plafon fasilitas kredit. Atau mereka mengalami kesulitan membayar cicilan sementara bunga terus bertambah. Padahal ini terjadi akibat perubahan kondisi ekonomi global dan nasional yang tidak menentu,” jelasnya.

“Di pihak lain, para pengembang juga mengalami kondisi yang sama untuk melakukan pembayaran kredit dan bunga kepada pihak pemberi yaitu bank maupun lembaga keuangan lainnya,” ia melanjutkan.

Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa sumber pembiayaan properti pelaku usaha, kebanyakan merupakan pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya yang memiliki jangka waktu tertentu untuk dilunasi.

Catatan BI Q1 2017

Selama kuartal I (Q1) 2017, pertumbuhan kredit di sektor properti mengalami kenaikan sebesar 15,2%. Hal ini sejalan dengan data Bank Indonesia (BI) yang menyebut kredit perbankan mengalami pertumbuhan 9,1%.

Berdasarkan data uang beredar BI, penyaluran kredit properti per Maret 2017 tercatat mencapai Rp719 triliun atau tumbuh 15,2% lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya yang tumbuh 15%.

Peningkatan ini bersumber dari penyaluran KPR dan KPA yang naik menjadi 8,4% pada Maret, di mana hanya 7,4% pada Februari.

(Rumah KPR di lokasi favorit harga mulai Rp350 juta, mau)

Guna menggenjot industri properti, selama tahun 2016 dan 2017 sebenarnya Pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai kebijakan yang dapat mendorong bangkitnya industri properti.

Contohnya pada bulan September 2016, Suku Bunga Acuan Bank Indonesia turun menjadi lima persen, sehingga diharapkan mampu mendorong permintaan akan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Tidak hanya itu, Bank Indonesia pada Agustus 2016 juga melakukan pelonggaran rasio Loan to Value (LTV) KPR yang semula 20% menjadi 15% untuk rumah pertama.

Bank Indonesia juga menurunkan LTV untuk rumah kedua dan rumah ketiga dengan rasio DP masing-masing 20 dan 25%. Sebelumnya rasio DP untuk KPR rumah kedua dan ketiga sebesar 30% dan 40%.

Pada tahun 2016, Pemerintah juga meluncurkan program tax amnesty. Program ini diharapkan dapat memberi dampak positif terhadap sektor properti, lantaran melalui dana repatriasi dari program tersebut rencananya akan diinvestasikan ke sektor properti, sesuai dengan Peraturan Menteri Keungan (PMK) Nomor 122/PMK.08/2016)

Dana reptriasi yang akan masuk ke sektor properti diperkirakan mencapai Rp70 triliun.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya