Liputan6.com, Banjarnegara - Banyak gedung bioskop pernah menjadi saksi bisu kejayaan film Indonesia. Namun seiring waktu, banyak gedung bioskop yang kini tumbang dan tak terurus.
Padahal, bioskop di daerah-daerah sering menjadi tempat yang paling tepat untuk menjadi titik berkumpulnya semua orang dari segala lapisan.
"Dulu kalau Rhoma Irama main, orang dari gunung turun semua," kata Waris Mulyono, 52 tahun, warga Kelurahan Kutabanjar, Kabupaten Banjarnegara, Minggu (3/4/2016).
Rumah Waris berada di belakang Cahyana Teater, satu-satunya gedung bioskop di Banjarnegara yang kini sudah tutup. Lokasi Cahyana sendiri berada di Jalan Komisaris Suprapto, jalan utama kabupaten itu.
Cahyana dulunya adalah gedung ketoprak Sidoagung. Seiring semakin surutnya tontonan rakyat itu, pemilik gedung yang bernama Cuk Yan mengubah gedung pertunjukan ketoprak itu menjadi gedung bioskop.
"Dibangun tahun 1972, bioskop ini menjadi satu-satunya di Kota Banjarnegara," kata dia.
Baca Juga
Bioskop Cahyana hanya mempunyai satu ruangan. Kapasitasnya bisa mencapai 400 tempat duduk. Kalau lagi ramai, penonton berdiri dan sanggup menampung 800 orang.
"Biasanya penonton di depan membawa tikar untuk lesehan," tutur Waris.
Meski hanya satu ruangan, ada tiga kelas dalam bioskop ini. Kelas pertama berada di paling belakang, kelas kedua di tengah dan terakhir, kelas ketiga di depan layar. "Sekatnya hanya dari papan triplek," ujar dia.
Kursi yang digunakan pun tak senyaman kursi bioskop zaman sekarang. Tempat duduknya menggunakan kursi seng yang biasa digunakan untuk hajatan di kampung pada zaman dulu.
Saat itu, kata Waris, harga tiketnya masih sangat murah. Setidaknya untuk ukuran zaman sekarang. Tahun 1972, harga tiket untuk kelas 1 hingga kelas 3 tiket dijual berturut-turut, Rp 10, Rp 15 dan Rp 25.
Tahun 1980-an, harga tiket dinaikkan menjadi Rp 50, Rp 100, dan Rp 150. Sedangkan di tahun 1990-an hingga bioskop ini tutup, harga tiketnya mulai Rp 300, Rp 500, dan Rp 750.
"Kalau saya sering dapat tiket gratis karena rumahnya di belakang bioskop," ujar Waris tertawa.
Advertisement
Demam Rhoma
Yanto, 48 tahun, masih ingat betul bagaimana Rhoma Irama si Satria Bergitar membuat rakyat Banjarnegara berumpul di Bioskop Cahyana. "Orang dari gunung berbondong-bondong datang ke bioskop," kata dia.
Ia mengatakan pemutaran film dilakukan pada tiga sesi, yakni pukul 14.00, 16.00 dan 19.00. Kalau ada film baru yang lagi ramai, juga ada pemutaran tengah malam atau midnight.
Selain menjadi pusat hiburan, gedung ini juga menjadi lokasi mencari rezeki, terutama bagi para calo tiket yang menjual tiket lebih lama dibanding harga asli. Tak ketinggalan, para pencopet juga mendapatkan rezekinya, terutama jika ada film yang ramai ditonton.
Bioskop zaman dahulu adalah anomali bioskop zaman sekarang. Jika sekarang penonton tak boleh merokok di dalam bioskop, zaman dulu diperbolehkan.
"Ruangan pekat dengan asap rokok. Kami bebas udad-udud di dalam ruangan sambil makan makanan yang dijual di kantin depan," kata dia.
Film yang pasti selalu ramai jika diputar adalah film yang dibintangi Rhoma Irama. Apapun judulnya, jika Rhoma main, pasti penontonnya berjubel.
Lahan parkir di depan bioskop penuh sesak. Antrean mengular hingga ratusan meter sampai jalan raya depan bioskop. Dan tentu saja, calo tiket dan pencopet panen rezeki.
Antrean semakin panjang karena hanya ada dua loket tiket. Lubang tiket hanya muat untuk satu tangan, sehingga kadang-kadang ada tangan-tangan terluka karena berebut membayar tiket melalui lubang yang sempit itu. Belum lagi orang pingsan karena tergencet penonton lain saat antre tiket.
Suasana di dalam bioskop pun tak kalah seru. Sorak-sorai penonton membahana saat jagoannya keluar. Umpatan pun keluar saat tokoh antagonis muncul di layar film.
"Tidak ada yang merasa terganggu dengan suara sorak-sorai itu. Semua bergembira menikmati film," kata Yanto yang penggemar berat Rhoma Irama itu.
Saking ramainya, film yang dibintangi Rhoma Irama bisa diputar berminggu-minggu. Sedangkan film yang dibintangi Suzana biasanya bertahan hingga seminggu. Film lainnya yang banyak ditunggu adalah film Trio Warkop DKI Dono Kasino Indro. Film India dengan Tuan Takur-nya juga cukup laku saat itu.
Yanto menyebutkan gedung ini tutup sekitar tahun 1996. Saat itu masyarakat mulai mengenal VCD dan DVD dan alat pemutarnya.
Gedung ini pun kini tinggal kenangan. Atapnya sudah tidak ada. Rumput liar memenuhi sekujur tubuh gedung, merambah hingga bangunan atas. Cahyana kini mirip rumah hantu.
Bangun Kembali
Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, Djonny Syafruddin, mengatakan seiring tumbuhnya perfilman nasional, kini sudah saatnya membangun kembali gedung bisokop di daerah-daerah.
"Setelah peresmian gedung bioskop di Banjarnegara, selanjutnya adalah di Cilacap," kata dia.
Di Banjarnegara kini sudah ada gedung bioskop baru dengan tiga ruang putar. Di Cilacap juga sama, ada tiga ruang putar yang disiapkan.
Berkecimpung di bisnis bioskop sejak 1975, Djonny mengklaim saat ini dirinya fokus mengembangkan bioskop non jaringan.
"Ya tanggung jawab sebagai Ketua Umum GPBSI yang di daerah-daerah perlu kita bantu. Yang di atas (bioskop jaringan) sudah bisa jalan sendiri," kata dia.
Jawa Tengah, kata Djonny, termasuk daerah potensial bisnis bioskop. Terlebih sejarah mencatat beberapa kota kecil sudah memiliki bioskop dan menjadi idola di zamannya.
Seperti Banjarnegara, Surya Yudha Cinema menjadi semacam obat kangen untuk masyarakat yang dulu hobi nonton di Cahyana Bioskop.
"Untuk Jawa Tengah kita sudah mulai di E-Plaza Semarang , Gajah Mada Cinema Tegal, Borobudur Pekalongan. Saya yakin pasar di Jawa Tengah bagus. Kepada masyarakat, mari kita dukung dan ramaikan bioskop," ujar Djonny.
Selain wilayah kota, Cilacap Barat juga memiliki sejarah hiburan rakyat bioskop. Sebut saja misalnya Tjahaya Theater dan Bioskop President.
Keduanya memiliki segmen berbeda, tapi hanya berjarak sekitar 1 kilometer. Keduanya kini tinggal kenangan, hanya tersisa gedung menjadi saksi bisu.