Liputan6.com, Makassar - Kabar pelaksanaan pernikahan dini di Desa Gantarang, Kecamatan Kelara, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, yang dipublikasi di dunia maya, belum lama ini menghebohkan banyak netizen. Selain dinilai tak masuk akal, sejauh ini hal itu sudah mengundang reaksi amarah warga Turatea -- sebutan Jeneponto di Sulawesi Selatan.
Apalagi, foto pasangan suami istri (pasutri) yang mengenakan pengantin adat Bugis-Makassar itu menjadi viral di media sosial atau medsos.
"Memang aneh tapi nyata di dunia maya. Seorang tukang foto pengantin yakni Iwank Sapurata yang disebar di Facebook 5 Juni 2016 itu sudah permalukan warga Turatea. Dan hal ini sudah mengundang amarah pihak keluarga, aktivis sosial budaya, mantan aktivis Turatea dan warga Jeneponto acara umum," ucap Alimuddin Daeng Lau, mantan Ketua Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Turatea (HMPT) Komisariat UMI kepada Liputan6.com, Senin, 13 Juni 2016.
"Namun oleh pihak keluarga kita sudah redam karena hal itu sudah jadi pergunjingan umum. Padahal tidak etis dan sepantasnya Iwank Sapurata, serta kalangan media memberitakan hal yang tidak rasio tanpa narasumber yang jelas," Daeng Lau menambahkan.
Ia mengatakan pula, surat Turatea (suara rakyat Turatea) adalah akun di media sosial Facebook yang akurasi isi pemberitaannya tidak jelas.
Advertisement
Baca Juga
"Celakanya lagi karena salah satu media online di Makassar langsung copas atau copy paste dan menyiarkan anak umur 13 tahun menikah. Pertama anak usia 13 tahun belum punya kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat utama pernikahan di negara ini," ujar Daeng Lau.
"Dan secara agama Islam juga telah memberikan rambu-rambu agar upacara tersebut tidak terdapat penyimpangan yang dianggap keluar dari jalur ajaran Islam," Daeng Lau.
Karena itu, menurut dia, apa yang disampaikan Iwank Sapurata sebagai fotografer pengantin bocah itu adalah hoax. Sebelumnya, Iwank menyatakan bahwa pengantin laki-laki tanpa nama itu baru saja menamatkan pendidikannya di salah satu SD di Jeneponto, sementara mempelai perempuan lebih tua setahun.
"Dan hal ini sangat jelas berita sesatnya yang diunggah ke media sosial. Bahkan pihak keluarga sudah ada yang emosi ingin mencari wartawan yang memberitakan dan Iwank Sapurata tukang foto pengantin yang telah melanggar hak asasi manusia dan eksploitasi anak di bawah umur kepada khalayak ramai," Daeng Lau memungkasi.
Tradisi Kawin Gantung
Terlepas benar tidaknya pernikahan dini tersebut, sejumlah daerah di Tanah Air, seperti Aceh dan Sulawesi sejak dahulu telah mengenal adanya kawin gantung atau khitbah. Pada Maret 2010, Komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqiiyah Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar, Sulawesi Selatan, khusus membahas masalah tersebut.
Saat itu, seperti dilansir laman sulsel.kemenag.go.id, Komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqiiyah mengesahkan hukum kawin gantung. Dalam pembahasan ini, pria ataupun wanita tidak dibatasi umur untuk melakukan pernikahan.
Kawin gantung yang dimaksud di sini adalah pernikahan sejak dini tanpa harus didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini dimaksudkan untuk mengikat keduanya agar tidak menikah dengan pihak lain saat mereka sudah dewasa. Kawin gantung juga dimaksudkan untuk menghindari perzinahan.
Namun, setelah prosesi nikah tersebut berlangsung, pasangan itu dilarang berkumpul hingga menginjak usia dewasa. Setelah dewasa dan memiliki kesiapan berumah tangga, mereka dinikahkan kembali dengan didaftarkan ke KUA.
Di sisi lain, dalam UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak, di antaranya disebutkan anak di bawah umur 16 tahun tidak boleh dikawinkan. Yang melanggar UU itu bisa dikenai sanksi pidana. Namun berdasarkan hasil pembahasan dalam Muktamar NU tersebut, kawin gantung itu berhukum sah jika terdapat maslahah dan ijab kabul dilakukan wali.
Hanya saja, keputusan Muktamar NU yang mengesahkan kawin gantung dipertanyakan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA). Menurut Sekretaris Jenderal KPA, Arist Merdeka Sirait, kawin gantung melanggar dan merugikan hak anak.
Selain tak terdaftar di catatan sipil atau KUA, kawin gantung biasanya banyak terjadi pada anak di bawah umur. Karena itu, KPA menolak adanya kawin gantung. Aris menegaskan, anak Indonesia berhak mendapatkan ataupun diakui negara dalam hal pernikahan dengan tercatat di catatan sipil atau KUA.
Advertisement