Kisah Wanita Tionghoa Berkaki Kecil hingga Satai Babi Bumbu Jawa

Budaya Tionghoa Semarang yang bertahan hingga kini adalah adonan Tiongkok, Islam, dan Jawa.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 17 Jun 2016, 19:01 WIB
Diterbitkan 17 Jun 2016, 19:01 WIB
Tionghoa Semarang
Budaya Tionghoa Semarang yang bertahan hingga kini adalah adonan Tiongkok, Islam, dan Jawa.

Liputan6.com, Semarang - Syahdan, seorang perempuan Tionghoa totok (Tionghoa murni) pertama kali datang ke Semarang, Jawa Tengah, pada 1815. Ini didasarkan keterangan Liem Thian Joe dalam Riwajat Semarang. Pakaian perempuan itu aneh dengan kaki yang diikat kecil.

Perempuan totok itu menjadi tontonan nyonya-nyonya Tionghoa peranakan di Semarang karena hal itu asing sekali bagi mereka. Bahkan, sesudah menonton, nyonya-nyonya Semarang memberi persen (uang) kepada perempuan Tionghoa totok tersebut.

Di Semarang, nuansa Tionghoa dan peranakan memang tampak dominan. Hal ini bisa dimengerti karena Semarang merupakan persinggahan bagi armada Laksamana Cheng Ho pada 1405, lebih dari 600 tahun yang lalu.

Armada yang ditinggalkan dan imigran yang dibawa tidak membawa istri, sehingga perkawinan dengan perempuan pribumi menjadi sangat lumrah.

Budayawan Tionghoa yang tinggal di Semarang, Tubagus P Svarajati, mengatakan bahwa pada sekitar akhir tahun 1960-an saat ia masih kecil, ia masih sempat menjumpai pemandangan itu.

"Sikap jalan mereka tak bisa tegak. Tubuh condong sedikit ke depan. Karena keempat jari kakinya terlipat, maka mereka seakan jalan berjinjit. Jari dan kaki kecil itu dari proses pengecilan yang dipaksa," kata Tubagus kepada Liputan6.com, Kamis, 16 Juni 2016.

Sejak balita perempuan Tiongkok zaman itu dipaksa memakai sepatu kecil. Jari mereka pun dibebat. Namun secara medis kerap terjadi pembusukan akibat aksi ini.

Tradisi ini sebenarnya bagian dari wacana kecantikan. Dengan kondisi kaki seperti itu dan cara jalan yang setengah gontai, para perempuan dianggap cantik karena diibaratkan sedang menari.

Menurut Tubagus, mereka yang berkaki kecil itu adalah yang mengikuti tradisi bebat kaki di Tiongkok. Mereka adalah pendatang langsung dari Tiongkok Daratan. Orang-orang tersebut itu disebut orang Singkek atau Tionghoa totok.

"Baju mereka khas orang Tionghoa daratan. Bercelana dan berbaju model (mirip) baju koko yang kerahnya kecil. Kancingnya di samping terbuat dari kain yang ujungnya diikat, sehingga berupa bulatan. Bulatan itu dimasukkan ke semacam tali berlubang yang juga terbuat dari kain yang sama," kata Tubagus.

Ia menegaskan bahwa di Indonesia tidak pernah ada perempuan Tionghoa peranakan yang berkaki kecil. Mereka tidak melanjutkan tradisi yang berasal dari Tiongkok Daratan itu.

Sejalan, Onghokham dalam Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa menegaskan bahwa kebiasaan mengikat kaki hingga menjadi sangat kecil tak pernah dikenal di Jawa. Kebiasaan perempuan Tionghoa peranakan pada abad ke-19 untuk mengikir dan menghitamkan gigi para anak gadisnya adalah seratus persen kebiasaan yang diambil dari gadis-gadis Jawa.

"Putusnya tradisi kaki kecil itu salah satu contoh bahwa Tionghoa peranakan lambat-laun menjauh dari kultur asalnya. Makin lama makin menjauh. Kalangan anak mudanya apalagi," kata Tubagus.

Kuliner Peranakan

Sejarawan Onghokham dalam Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa menyebutkan, kaum yang lahir di Indonesia itulah yang dinamakan peranakan. Di kemudian hari, kaum peranakan di Semarang menciptakan kekayaan kulinernya sendiri. Dengan demikian, kita dapat melihat suatu akulturasi antara orang Tionghoa peranakan dan penduduk Bumiputra.

Hiang Marahimin, pemerhati kuliner yang pernah tinggal di Gang Pinggir, Semarang, juga seorang peranakan. Ia menggali kekayaan kuliner Semarang lantaran teringat kenangan masa lalu akan neneknya yang sangat pintar memasak.

Hiang Marahimin, terlahir sebagai Be Hiang Nio, dalam buku Masakan Peranakan Tionghoa Semarang mengatakan, "Para perempuan pribumi pun mempelajari cara memasak Tionghoa untuk suami mereka. Kalau suami mereka ingat cara memasaknya, ya diajarkan, tetapi kalau tidak ingat, para perempuan itu berkreasi sendiri. Yang pasti, pengaruh Jawa tidak lepas dari masakan mereka sehari-hari itu."

Keturunan perkawinan orang Tionghoa dan Jawa, yang dikenal sebagai "nyonya" pun, banyak mengikuti kebiasaan ibu pribumi mereka dalam hal memasak.

Salah satu yang paling terkenal adalah lumpia Semarang. Cobalah sesekali menikmati lumpia dengan memperhatikan dan merasakan sensasi historisnya. Persilangan budaya tampak dari isi lumpia. Cara memasak, bentuk, dan nama merupakan ciri hidangan Tiongkok, sementara rasa manis dan orak-arik sebagai isi lumpia merupakan ciri khas hidangan Jawa.

Bakpao Babi

Budayawan Tionghoa asal Semarang, Tubagus P Svarajati, menyebutkan kaum Tiongkok peranakan itu mayoritas mempraktikkan sinkretisme Islam-Jawa. Salah satunya dengan tradisi selametan.

"Di Semarang itu ada China peranakan yang khusus melayani praktik sinkretisme Islam-Jawa ini. Namanya Wak Seneng. Dia jago masak buat kenduri ala Jawa," kata Tubagus.

Sosok yang oleh Tubagus dipanggil Wak Seneng adalah seorang Tiongkok peranakan yang masih berkain sarung dan berkebaya encim. Ia satu-satunya orang yang mampu menyiapkan sesajen berupa ingkung, kluban, dan sejenisnya. Saat ini Wak Seneng sudah meninggal. Namun, ilmu itu dilanjutkan oleh anak satu-satunya yang sampai usia senja terus melajang.

Budayawan peranakana dari Semarang Tubagus Svarajati (Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Di Semarang, masih ada orang-orang Tionghoa peranakan yang ketika bulan Ramadan juga menggelar selametan. Mereka menggelar kenduri di rumahnya dengan doa-doa dan tata cara agama Islam.

"Meski mereka bukan Islam. Tapi mereka mengundang orang yang bisa memimpin doa dan kenduri. Kemudian nasi berkat itu dibagikan kepada yang hadir," tutur Tubagus.

Kebiasaan ini berlaku bukan saat Ramadan saja, tetapi juga saat Imlek. Kenduri sebagai wujud tradisi Jawa dengan doa-doa Islam dan diadakan oleh peranakan yang beragama non-Islam, sungguh merupakan sebuah pesan pluralitas dan toleransi yang sangat bermutu.

Biasanya kuliner yang disajikan saat kenduri itu adalah kuliner hibrid. Masakan Jawa yang dimasak dengan tata cara Tiongkok atau berbumbu Tiongkok, minus hal-hal yang diharamkan.

Hiang Marahimin memberi contoh, kecap yang dalam kuliner Tiongkok berasa asin, misalnya, oleh orang etnis Tionghoa di Semarang dibuat menjadi kecap manis karena pengaruh cita rasa Jawa. Masakan seperti satai babi dan babi cin memakai bumbu Jawa, seperti ketumbar, kencur, bawang merah.

Banyak masakan Tionghoa yang diadopsi dan diubah agar sesuai dengan selera Jawa. Misalnya bakpao dan pia yang aslinya diisi daging babi, kini dibuat halal dengan isi cokelat, kacang hijau, atau kacang tanah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya