Enaknya Gelenak, Camilan Langka Favorit Orang Tionghoa

Gelenak hampir mirip dengan wajik atau dodol. Teksturnya kenyal dan manis, tapi terasa banyak rempah-rempah di dalamnya.

oleh Nefri Inge diperbarui 07 Mei 2016, 15:51 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2016, 15:51 WIB
Kuliner Gelenak
Gelenak kuliner kerajaan yang nyaris punah.

Liputan6.com, Palembang - Palembang yang kondang sebagai salah satu kota wisata makanan di Indonesia kini masih merawat makanan tradisional yang sudah mulai langka. Selain camilan Gula Puan yang sudah sangat jarang ditemui, kini ada camilan Gelenak yang juga termasuk langka dan semakin jarang ditemui.

Dari teksturnya, Gelenak hampir mirip dengan wajik atau dodol. Bentuknya sedikit kenyal dan manis, tapi terasa banyak elemen rempah-rempah saat mencicipinya. Warnanya juga cokelat kehitaman dan dicetak dalam ukuran bulat kecil.

"Susah mencari orang yang bisa membuat Gelenak ini karena dibuat dari rempah-rempah asli Indonesia dengan takaran tertentu. Kalau saya sudah dari kecil diajarkan orang tua agar mahir membuat makanan khas Palembang ini," ujar Rofika (58), salah satu penjual Gelenak yang tersisa, kepada Liputan6.com di Palembang, Jumat (6/5).

Camilan tradisional ini ternyata dibuat dari berbagai jenis rempah-rempah, seperti gula, pala, jahe, sahang, kayu manis, engkeh, cabai Jawa, kelapa, tepung, dan bahan lainnya.

Proses pembuatannya kira-kira memakan waktu dua jam, mulai dari pencampuran rempah-rempah, penghalusan, sangrai dan kukus serta pencetakan.

Untuk memperkaya rasa, Gelenak juga dicampur dengan taburan tepung tanpa rasa yang dibuat dari beberapa bumbu tradisional.

Setiap hari, Rofika mampu membuat hingga 150 bungkus Gelenak untuk kemudian ia jajakan di pasar-pasar tradisional. Barulah pada hari Jumat, utamanya setelah salat Jumat, ia berjualan di halaman Masjid Agung Palembang.

Favorit Warga Tionghoa

Kendati merupakan makanan khas Palembang, Gelenak seakan dilupakan oleh warga Palembang. Banyak warga lokal generasi tahun 2000 yang tidak tahu dengan camilan ini. Sesekali cemilan ini hanya hadir saat bulan puasa Ramadan saja.

Alasan inilah yang membuat pemasaran cemilan tradisional ini semakin langka dan sulit diedarkan. Namun Rofika tidak berputus asa. Meskipun banyak yang sudah melupakan Gelenak, masih ada langganannya yang selalu ketagihan mengonsumsi cemilan ini.

"Kebanyakan pelanggannya adalah warga Tionghoa yang tinggal di kawasan Pasar Kentut, Sayangan, Palembang," ujar dia.

"Mereka rutin memesan ke saya. Bahkan setiap saya berjualan di daerah Sayangan Palembang, Gelenak dengan cepat habis dibeli. Beda dengan dijual di pasar atau di kawasan warga lokal, sulit untuk laku semua. Mereka banyak yang tidak tahu makanan apa ini," kata Rofika.

Tidak seperti Gula Puan yang hanya bisa bertahan selama seminggu, Gelenak lebih tahan lama. Keawetan Gelanak bisa bertahan hingga satu bulan. Karena proses pemasakannya dilakukan sebanyak dua kali, sehingga bahan-bahannya matang dengan sempurna.

 "Bisa sampai sebulan awetnya, tidak perlu dimasukkan ke dalam kulkas," ucap Rofika.
 
Tetap Lestarikan Gelenak

Sudah 40 tahunan Rofika menggantungkan hidupnya dari berjualan Genelak. Sempat beberapa kali Rofika berganti profesi menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT). Namun ia lebih nyaman mandiri berjualan Gelenak daripada ikut kerja dengan orang lain.

Pendapatan dari hasil penjualan Gelenak juga tidaklah banyak, Rofika hanya mendapatkan untung sekitar Rp 25.000 dalam sehari. Tak jarang saat jualannya tak laku, ibu lima anak ini hanya mengantongi beberapa ribu rupiah saja.

Meskipun penghasilannya hanya sedikit, Rofika tetap senang menggeluti usaha ini. Tidak hanya sebagai penghasilan, tapi ini menjadi cara Rofika untuk kembali menghadirkan makanan Palembang yang nasibnya di ujung kepunahan.

"Dari keluarga besar, tinggal saya yang bisa membuat Gelenak ini. Karena jarang yang jual, makanya saya memilih menjual Gelenak. Saya ingin melestarikan makanan Palembang, walau pemerintah sendiri tidak peduli dengan kepunahan makanan ini," kata dia.

Rofika menjajakan Gelenak dengan berjalan kaki, dari rumahnya di kawasan Tangga Buntung, 35 Ilir Palembang. Ia tetap bersemangat menjajakan makanan yang dulunya sangat terkenal Palembang.

Ia juga menggantungkan hidupnya di cemilan ini karena suaminya sudah meninggal enam tahun lalu dan anak-anaknya yang juga hidup serba pas-pasan tidak bisa membantu kehidupan Rofika.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya