Air Mata di Kampung Gane Halmahera

Ekspansi perkebunan kepala sawit memicu konflik perusahaan dan warga. Liputan6.com menelusuri ke Gane Dalam, Halmahera Selatan.

oleh Hairil Hiar diperbarui 12 Sep 2016, 10:31 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2016, 10:31 WIB
Kampung Gane Halmahera
Kampung Gane Halmahera masih berkonflik isu kelapa sawit (Liputan6.com / Hairil Hiar)

Liputan6.com, Halmahera Selatan - Pada kelapa dan pala kami berharap. Demikian warga bagian selatan Haliyora atau nama lain dari sebutan Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Sebagian besar kepala keluarga menyekolahkan anak-anak mereka dari penjualan hasil dua tanaman itu. Jika panen melimpah bahkan bisa naik haji.

Namun, itu cerita dulu, ketika belum ada tanaman sawit.

Tanaman dan lahan petani menjadi lahan konsesi perkebunan sawit. Kebun petani terdesak perluasan kebun sawit milik PT Gelora Mandiri Membangun (GMM) anak cabang Korindo Grup asal Korea di sana.

Mencapai lokasi itu dari Kota Ternate harus menyeberangi lautan menggunakan transportasi laut atau kapal rute Bacan. Kurang lebih satu malam di kapal, bertolak dari Pelabuhan Bastiong pukul 21.30 wit dan tiba di Bacan pukul 08.00 WIT.

Di areal pelabuhan Bacan, ibu kota Kabupaten Halmahera Selatan, perjalanan selama 1 jam menggunakan speed boat menuju Desa Gane Dalam, ibu kota Kecamatan Gane Barat Selatan.

Kecamatan yang mekar pada 2011 ini memiliki jumlah penduduk 6.149 jiwa. Memiliki delapan desa, yaitu Awis, Jibubu, Pasipalele, Tawa, Papaceda, Yamli, Sekli, dan Gane Dalam.

Titik Nol Perkebunan Sawit

PT GMM merupakan anak perusahaan Korindo Grup. Berawal dari izin pengelolaan kayu, PT Korindo ekspansi usaha perkebunan sawit sejak 2010. Kurang lebih tiga bulan musyawarah antar warga desa dengan perusahaan tersebut berjalan.

Tidak ada titik temu dalam musyawarah itu. Semua warga menolak menjual lahannya untuk dijadikan perkebunan sawit. Namun ada kejadian saat kegiatan mendoakan orang meninggal.

”Saat itu semua orang berkumpul, datanglah orang perusahaan membawa selembar kertas untuk ditandatangani. Kami tidak tahu kalau kertas yang ditandatangani itu untuk kesediaan menjual tanah dan kebun,” kata Hasan Kahar, 70 tahun, warga Gane Dalam, baru-baru ini.

Sejak warga tahu bahwa tanah dan kebun sudah terjual, mulai muncul kekhawatiran akan nasib kebun mereka. Karena tanah dan kebun warga itu merupakan sumber utama ekonomi.

Hasan mengatakan, masuknya PT GMM, bukan hanya membuat masyarakat terancam atas lahan perkebunan mereka, tetapi juga merusak warisan leluhur, dan pada puncaknya adalah konflik yang sampai sekarang belum mereda.

Sisa Kampung Pertama

Kampung yang dituakan warga setempat sebagai kampung kejadian pertama dalam sebutan warga Gane Dalam, juga dikapling perusahaan sebagai areal perkebunan sawit. Kampung itu adalah salah satu warisan leluhur.

Hasan mengatakan, kampung itu berada di atas bukit yang dulu ditandai dengan sebuah pohon cempedak, pohon sagu, dan jere atau makam tua. Semua memiliki nilai sejarah bagi masyarakat setempat. Kini tinggal cerita.

“Kampung kejadian pertama adalah awal mula masyarakat Gane Dalam membangun dan hidup bersama. Dari kampung ini proses kehidupan serta budaya masyarakat Gane Dalam terbangun, yang kemudian berpindah ke teluk Kasuari," jelasnya.

Kampung di Teluk Kasuari berjarak 200 meter dari kampung kejadian pertama.

Hasan mengungkapkan, bahwa leluhur masyarakat Gane Dalam dahulunya pernah menikahi saudara perempuan dari Sultan Ternate bernama Jou Boki (sebutan wanita bagi kaum ningrat Kesultanan Ternate).

“Masjid ini Sultan yang bangun, bentuknya sama persis masjid Sultan di Ternate. Saya punya dotu (kakek buyut) kawin dengan saudara perempuan Sultan Ternate, namanya Jou Boki. Rumah mereka di belakang Masjid mirip Keraton Ternate,” kata Hasan mengenangnya.

Tanah dan kebun serta peninggalan bersejarah semuanya hancur karena mengalami penggusuran dari perusahan sawit PT GMM. Persoalan tersebut membuat masyarakat Gane Dalam marah dan melakukan perlawanan kepada perusahaan.

“Warga di sini tetap mempertahankan cempedak karena peninggalan leluhur. Selain itu ada pohon sagu dan jere. Tapi masuknya perusahaan, hutan hancur, peninggalan leluhur hancur, adat di sini hancur, jere (makam leluhur) kami dan kelapa-kelapa hilang,” kata dia.

Hasan mengatakan, penggusuran kampung kejadian pertama itu merupakan pemicu konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PT Korindo alias PT GMM.

Perlawanan Berujung Penjara

Hasan mengatakan, benih-benih konflik masyarakat Gane Dalam dengan perusahaan tidak sebatas itu. Ada juga faktor jual beli tanah dan kebun.

Menurut dia, kehadiran perusahaan berawal ketika ada seseorang warga bernama Haji Bayau yang menjual tanah atau kebunnya kepada PT GMM. Hal itu menjadi awal keberadaan perusahaan sawit di tengah-tengah masyarakat Gane Dalam.

Kampung Gane Halmahera masih berkonflik isu kelapa sawit (Liputan6.com / Hairil Hiar)

Warga lain turut melepas tanahnya. Salah satu sebabnya lahan warga yang bertetangga dengan lahan Haji Bayau rusak akibat gempuran alat berat dan pepohonan.

“Ada juga warga yang mendapatkan lahannya digusur duluan kemudian ganti rugi dari belakang,” kata Sanusi, warga Gane Dalam, yang lahannya juga digusur.

Sanusi yang tidak menerima lahannya digusur, kala itu, melakukan perlawanan hingga dimasukkan ke penjara bersama beberapa temannya.

“Kalau tidak salah itu terjadi pada 28 April 2015. Hari itu saya bersama saudara pergi ke kebun. Sampai di sana, kebun kami sudah digusur, kemudian mereka (PT GMM) tampung kayu loging di lahan saya. Hari itu tim survei dari PT GMM datang. Pohon kelapa dan pala sebagian mereka gusur,,” kata Sanusi mengenangnya.

"Hari itu kami berkelahi. Hari itu saya tangkap tim survei itu tapi saya tidak pukul."

Perusahaan yang telah menggusur lahan miliknya dan warga lainnya itu, kemudian menampung kayu-kayu hasil penggusuran di lahan mereka. Warga yang tidak menerima itu kemudian melakukan pemblokiran aktivitas perusahaan.

“Saat itu kami sekitar 30 orang terdiri dari warga Gane Dalam, Sekli, dan Jibubu, pagi-pagi sekali kami ke Malalo. Di sana sudah ada teman-teman, ada yang membawa parang. Ketika memasuki siang hari kami memalang jalan yang masuk ke kebun," katanya.

"Setelah itu perusahaan datang membawa polisi. Dari situlah terjadi adu mulut antara kami dengan tim survei PT GMM. Yang kemudian kami ditahan di penjara, karena pihak perusahaan melapor."

Lahan Sawit Bertambah Luas

Warga setempat menjadi ketakutan jika tetap mempertahankan lahan dan kebun mereka. Selain itu, konflik juga terjadi sesama warga, ada yang menolak perusahaan sawit ada juga yang mendukung perusahaan sawit. 

“Gara-gara perusahaan saja sampai sesama saudara sedesa tidak rukun lagi.  Lahan kami tambah habis. Saya ini kalau ke kebun dan lihat lahan itu air mata saya jatuh,” kata Astuti Sangaji, warga Desa Gane Dalam

Selama empat tahun, sambung Astuti, warga melakukan aksi menolak perkebunan sawit, tetapi lahan perusahaan terus meluas. Meski sebagian warga mempertahankan lahan dan kebunnya, tetapi warga yang lain menjual tanahnya.

Hal ini, menurut Astuti, karena pihak perusahaan beralasan bahwa tanah yang ada di hutan itu milik perusahaan, sehingga perusahaan berhak menggusur.

“Perusahaan bilang, itu hak pemerintah bukan hak rakyat, yaitu 3 km ke pantai, 3 km ke hutan. Perusahaan bilang perluasan di hutan itu bukan hak kami, kecuali jorame (batas luasan lahan dengan lahan yang lain),” katanya.

“Warga yang menjual kebun (ada tanaman kelapa) Rp 15 juta per hektar. Yang perusahaan ganti tanaman saja, karena itu ditanam warga. Harga tanaman per kebunnya bervariatif, maksimal Rp 15 juta 1 hektar. Kalau tidak ada tanaman (jorame) tetap perusahaan bayar tetapi nilainya kecil,” ia menambahkan.

PT GMM Tidak Serobot Lahan

Kepala Humas PT GMM Mahdi M. Nur mengatakan, sampai sekarang tahapan pembongkaran lahan tahap satu yang ditanami sawit sudah berbuah. “Itu adanya di blok 5 dan 6. Selain itu ada pembongkaran hutan dan lahan di blok 15 sampai 20 namun masih tahap pembuatan jalan sampai blok 24,” kata dia.

Meski belum ada Hak Guna Usaha pihak perusahaan tetap melakukan perluasan areal kebun yang berpatokan dengan izin Kemenhut dengan luas 11 hektare. Sampai sekarang pihak perusahaan sudah melakukan pembongkaran lahan sampai di blok 15 dan 20.

Kampung Gane Halmahera masih berkonflik isu kelapa sawit (Liputan6.com / Hairil Hiar)

Menurut Mahdi, blok pertama sudah ada yang berbuah. Pihak perusahaan berkeinginan sampai blok 24, yang sekarang sudah melakukan pembuatan jalan untuk pembongkaran hutan blok 24.

Proses ganti rugi lahan, kata dia, dilakukan sesuai peraturan Pemda setempat. Menurut dia tak ada paksaan bagi warga untuk menjual lahan kepada PT GMM.

“Kalau itu kita sudah melakukan MoU (Memorandum of Understanding atau perjanjian kerja sama) dengan warga lingkar perkebunan. Jadi tidak ada paksaan untuk menjual, tapi melindungi kebun warga yang ada di luar perusahaan,” kata dia.

Dia mengatakan, banyak kebun yang masih ada di dalam areal kebun sawit. "Jadi kalaupun ada warga yang tidak melepas lahannya, ya perusahaan tidak menggusur,” ujar dia.

Dia mengatakan, izin perusahan tersebut lokasinya dikeluarkan oleh Bupati Halmahera Selatan, melalui rekomendasi Gubernur Maluku Utara. Sementara izin pelepasan kawasan hutan sebagai perkebunan sawit dikeluarkan Kementerian Kehutanan.

Perusahaan ini mengelola kayu masyarakat karena mengantongi Izin Pengelolaan Kayu (IPK) yang dibentuk berdasarkan kelompok petani. Dari pengelolaan kayu itulah PT Korindo kemudian menjalankan usaha di bidang perkebunan sawit.

PT Korindo mengelola lahan konsesi budidaya sawit atas nama PT GMM dengan luas 11.003,90 hektare. Luasan ini berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.22/MENHUT-II/2009 tentang pelepasan sebagian kawasan hutan produksi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya