Tradisi Menolak Pernikahan Antar-warga 2 Desa Berdampingan

Tradisi itu berkaitan dengan kisah perkawinan yang hampir terjadi antara Kedono dan Kedini.

oleh Felek Wahyu diperbarui 07 Nov 2016, 19:42 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2016, 19:42 WIB
Tradisi Menolak Pernikahan Antar-warga 2 Desa Berdampingan
Tradisi itu berkaitan dengan kisah perkawinan yang hampir terjadi antara Kedono dan Kedini. (Liputan6.com/Felek Wahyu)

Liputan6.com, Grobogan - Cinta antara pria dan perempuan bisa timbul pada siapa saja, termasuk dua orang yang masih saudara sekandung. Hal inilah yang dialami Kedono (Raden Bagus Sutejo), sesepuh Desa Karanglangu, dan Kedini (Raden Ayu Mursiyah), sesepuh Desa Ngombak, Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Karena kecantikan Kedini, Kedono rela menyeberangi Sungai Tuntang untuk meminang gadis cantik itu. Ketika pesta sudah siap dan ratusan warga sudah berkumpul di rumah mempelai wanita, keduanya baru menyadari jika mereka adalah saudara sekandung.

Pernikahan akhirnya dibatalkan karena pertalian darah itu. Meski begitu, pesta yang sudah disiapkan tetap dilanjutkan dengan meriah. Bahkan, pesta itu berlangsung hingga sepekan lamanya.

Jika di awal pesta digelar untuk pernikahan, pesta kemudian berubah untuk merayakan pertemuan dua saudara yang terpisah selama puluhan tahun. Tradisi itu bertahan hingga kini yang dikenal sebagai Asrah Batin atau penyerahan jiwa dua saudara.

Tradisi itu digelar dua tahun sekali secara turun temurun. Seluruh warga di dua desa, tidak memandang dari agama apa, rela mengikuti tradisi yang mewajibkan warga menggelarnya selama sepekan.

Kegiatan awal pesta adalah gebyok atau mencari ikan di Sungai Tuntang. Mereka mencari ikan menggunakan alat manual berupa jala dan irek. Kegiatan yang dipimpin langsung oleh kepala desa itu bertujuan untuk menyediakan menu makanan botok atau sayur campuran antara kelapa, cabai dan ikan kecil ini.

Jelang sepekan sebelum kegiatan puncak, warga terutama pemuda dengan semangat kembali mencari ikan untuk tambahan agar pada hari puncak ikan melimpah untuk dinikmati warga dari dua desa.

Dari usaha keras selama dua hari, warga Ngombak berhasil mengumpulkan 848 tusuk bambu ikan. Ikan yang dipanggang, separuh digunakan untuk botok dan separuh lagi di serahkan ke Desa Karanglangu untuk kemudian digunakan sebagai bahan rebutan warga.

"Pernikahan tidak pernah terjadi dan kedua desa kini memeringati tradisi para leluhur desa. Tradisi itu masih diikuti sampai sekarang. Di mana, warga keturunan asli kedua desa tidak pernah melakukan pernikahan karena dianggap pernikahan sedarah," kata sesepuh Desa Ngombak, Tamsir, beberapa waktu lalu.

Air Tape, Ikan dan Bedak Adem

Tradisi Menolak Pernikahan Antar-warga 2 Desa Berdampingan
Warga menyeberangi sungai sebagai bagian tradisi asrah batin. (Liputan6.com/Felek Wahyu)

Dalam visualisasi tradisi di lokasi, proses memasrahkan batin ditandai dengan menyeberang Sungai Tuntang yang memisahkan dua desa ini. Kepala Desa Karanglangu, Agus Slamet beserta istri menaiki rakit yang dihias dengan janur, dua bendera Merah Putih dan beralas karpet.

Arus Sungai Tuntang yang deras tak membuat prosesi tersebut dibatalkan atau diubah. Puluhan warga membentuk rantai dari satu tepi sungai ke tepi lainnya untuk melindungi rakit dari terjangan arus deras. Sebuah tali sling bahan kawat baja dibentangkan di antara sungai tersebut.

Sebuah perahu karet serta warga yang mengenakan jaket pelampung disiagakan di sekitar lokasi. Sungai yang lebarnya sekitar 30 meter diseberangi mereka dalam waktu lima menit. Warga memandu dan mendorong rakit sampai ke tepi sungai.

Sehari sebelum puncak acara, ikan yang dimasukkan ke dalam nasi dibagikan kepada warga yang hadir. Ditambah menu minuman Badek, yakni air tape, dan Boreh, yakni serbuk bedak adem, yang sebelumnya dihantar ke Desa Ngombak menjadi bagian dari sajian tradisi juga dibagikan.

Pembagian ini berlangsung riuh rendah. Warga yang mengerumuni rumah Kades Ngombak merangsek masuk ke ruang tengah. Mereka berebut makanan yang dibagikan. Warga yang mendapatkan serbuk bedak langsung mengoleskan ke wajah.

Inayati, warga Dukuh Karanggeneng, Desa Nngombak, Kecamatan Kedungjati mengungkapkan, tradisi Asrah Batin telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Wanita yang sudah delapan tahun menjadi bagian dokumentasi kegiatan ini mengaku, tradisi turun temurun tidak saja diikuti dari segi kegiatan.

"Sampai sekarang, warga dua desa tidak ada yang berani menikah. Tidak saja karena tradisi, namun warga khwatir jika terjadi pernikahan sedarah akan menyebabkan penyakit turunan yakni seperti anak tidak normal atau terjadi kelumpuhan," ucap Inayati.

Untuk jadi penitia, tambah dia, dipercaya harus memiliki niat yang tulus dan tidak berpikir neko-neko. "Saya pernah hanya bertanya apakah saduara dari desa sebelah tidak capek karena harus berjalan 5 hingga 7 kilometer. Malah pada hari H kaki saya sakit dan tidak bisa bekerja bahkan bergerak harus ngesot atau merangkak," tutur dia.

Tradisi Asrah Batin bukan saja menjadi tradisi turun temurun. Namun, kegiatan yang menjadi kekayaan daerah tersebut mampu mempererat keberagaman warga.
 
"Kegiatan tradisi menjadi bagian dari kekayaan budaya atau kearifan local yang memberi manka terkait pentingnya persatuan. Kekayaan ini juga menjadi daya tarik wisata baik lkcal maupun luar daerah," ujar Ngatmo, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Grobogan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya