Liputan6.com,Yogyakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menengarai sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia belum sepenuhnya menghasilkan kepala daerah yang cerdas dan berintegritas. Hal ini tak lepas dari masih maraknya praktik money politic dan mahar dalam pilkada.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, membeberkan mahalnya tarif mahar seorang calon kepala daerah dalam pagelaran pilkada. Besarannya bisa mencapai puluhan miliar rupiah.
"Seorang teman bercerita menjadi kepala daerah habis Rp 25 miliar," ujar pria yang karib disapa Alex itu di Yogyakarta, Senin, 6 Februari 2017.
Ia menilai, biaya sebesar itu akan memberatkan si kepala daerah ketika terpilih. Imbasnya, kepala daerah itu akan cenderung mengambil kebijakan yang menguntungkan diri sendiri, termasuk meloloskan proyek-proyek yang tidak tepat untuk menutup biaya yang sudah dikeluarkan selama masa pilkada.
Dengan kata lain, kepala daerah akan melakukan segala upaya untuk balik modal dengan prilaku koruptif.
Advertisement
Alex mengatakan KPK sebagai lembaga antikorupsi, tidak bisa bergerak sendiri karena keterbatasan personel. Untuk itu, KPK membutuhkan kerja sama dengan aparat yang ada di daerah.
Baca Juga
"Kami akan melakukan penguatan terhadap inspektorat di daerah dengan menggandeng BPKP sehingga inspektorat bisa lebih independen," ujar mantan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta itu.
Dia menambahkan, persoalan selama ini yang sering terjadi di daerah adalah soal keberadaan inspektorat terbentur dengan aturan yang menyatakan inspektorat bertanggung jawab langsung terhadap kepala daerah.
Dengan kondisi yang ditemukan KPK itu membuat inspektorat sulit melakukan intervensi apabila ada kepala daerah yang terindikasi melakukan pelanggaran.
"Kebanyakan kepala daerah yang bermasalah pasti inspektorat tidak ada fungsinya, dan ini jadi peringatan inspektorat di kabupaten kota," kata Alex.