Liputan6.com, Semarang Badai Cempaka atau siklon tropis Cempaka yang berpusat di selatan Kota Pacitan membawa dampak banjir di banyak kota. Yogyakarta dan Pacitan adalah kota yang tergolong parah terkena banjir, Selasa, 28 November 2017.
Data dari BNPB menyebutkan badai dengan nama sebuah bunga di Indonesia ini pusatnya berada di 32 km sebelah selatan-tenggara Pacitan Provinsi Jawa Timur dengan kekuatan 65 km per jam. Meski demikian, efeknya terasa hingga 21 kabupaten/kota di Pulau Jawa dan Bali.
Mungkinkah dampak badai Cempaka tersebut dikelola positif oleh pawang hujan? Ya, pawang hujan adalah sebuah profesi unik di Indonesia. Profesi ini bertugas meredakan hujan yang turun atau mengendalikan hujan.
Advertisement
Baca Juga
Mbah Bejo adalah salah satu pawang hujan Semarang yang dihubungi Liputan6.com. Lelaki bernama asli Nuryanto ini mengaku, pawang hujan sangat tidak mungkin mengendalikan hujan yang diakibatkan badai atau siklon.
"Seorang pawang hujan ketika menjalankan tugasnya ada dua pilihan. Pertama memindahkan atau menggeser hujan. Kedua, menahan selama mungkin agar awan yang ada tak berubah menjadi air yang jatuh," kata mbah Bejo, Rabu, 29 November 2017.
Untuk memperlancar tugasnya, setiap pawang biasanya survei lokasi. Apakah sedang musim hujan atau enggak. Pawang yang profesional selalu menggeser hujan ke arah laut. Lalu, mengapa hujan akibat badai tak bisa dikelola?
Menurut Mbah Bejo, secara teori sesungguhnya bisa dilakukan. Namun secara praktek hal itu sulit sekali. Selain karena hujan akibat badai memiliki arah angin yang berubah-ubah, juga kepekatan dan volume awan di langit sangat tinggi.
"Teori bisa dilakukan. Namun praktiknya enggak mungkin. Bagaimana akan kita buang ke laut, jika angin di laut tak tentu arah, malah nanti bisa kembali ke daratan dengan kekuatan yang sangat besar," kata Mbah Bejo.
Secara ilmiah, Mbah Bejo menjelaskan awan adalah sekumpulan uap air hasil evaporasi (penguapan). Setelah berkumpul dan saling mengikat, maka awan tersebut memiliki muatan elektron.
"Pawang hujan memanipulasi elektron ini, agar tidak segera terjadi kondensasi atau pengembunan. Nah, ini adalah pilihan kedua jika sudah tak memungkinkan memindahkan,"kata Mbah Bejo.
Yang dimaksud memindahkan adalah mencegah turunnya hujan dengan menggeser awan yang sudah pekat ke arah lain. Jadi sifat kerja pawang hujan adalah mencegah terjadinya hujan, bukan meredakan hujan yang sudah jatuh.
Terkait dengan badai Cempaka, Mbah Bejo menyebutkan bahwa badai itu sesungguhnya adalah hembuan angin yang sangat kuat. Karena bentuknya siklon atau berputar, maka badai Cempaka memiliki daya hisap dan daya sedot terhadap awan-awan di sekitarnya. Awan-awan ini kemudian terkumpul dan menjadi jenuh.
"Awan yang berpotensi hujan ini mau digeser ke mana kalau di mana-mana sudah dipenuhi awan yang sama? Apalagi terus menerus ada tambahan dari pusaran siklon Cempaka itu. Pawang hujan jelas enggak mampu," kata Mbah Bejo.
Melawan Alam = Bunuh Diri
Kemungkinan kedua adalah menahan selama mungkin agar awan tak segera berubah menjadi uap air. Namun, hal ini pun sangat sulit dilakukan oleh seorang pawang hujan. Meskipun ia bisa memperkirakan volume awan dan memprediksi waktu yang dibutuhkan untuk mengembun, menunda proses alam yang sangat kuat, sama saja bunuh diri. Langkah ini dilakukan dengan manipulasi muatan elektron.
"Tentu ini butuh energi dalam yang sangat besar, sementara pasokan awan terus terjadi selama badai masih berlangsung. Melawan alam siapa pun manusia tak akan sanggup," kata Mbah Bejo.
Energi dalam yang dibutuhkan seorang pawang hujan sesungguhnya energi telekinesis. Dengan energi itu, ia kan mempengaruhi medan magnetik benda lainnya. Awan adalah benda alam yang memiliki medan magnet. Dengan memainkan medan magnetik, pawang hujan dapat mendorong, memindahkan, menahan, bahkan menurunkan/menyedot (menjadi hujan) atau sekedar mendatangkan awan dari daerah lain (menjadi mendung/teduh).
"Dari penjelasan itu, sangat tidak mungkin seorang pawang hujan mempengaruhi medan magnet yang memiliki kekuatan lebih besar. Kekuatan itu semakin membesar karena adanya pusaran angin dari badai itu," kata mbah Bejo.
Diakui oleh Mbah Bejo alias Nuryanto ini, bahwa seorang pawang hujan biasanya tak langsung menyanggupi sebuah permintaan dari klien. Ketika berada di puncak musim hujan dimana awan tersebar merata, mereka sangat jarang menerima klien.
Pawang hujan memang tak seperti Avatar yang memiliki kemampuan mengendalikan angin, air, bahkan api secara paripurna. Namun kehadiran mereka memang menjadi sebuah fenomena. Sebuah fakta yang nyaris tak bisa dijelaskan secara ilmiah. Apalagi dengan pendekatan keilmuan dunia barat yang menempatkan rasio sebagai panglima.
Pawang hujan adalah sebuah fenomena yang hanya bisa dijelaskan dengan logika spiritual. Ia ada dan bukan makhluk imajinasi seperti Avatar.
Advertisement