Metode Belajar Unik dan Tiada Duanya Ala Sekolah di Bantul

Sekolah yang satu ini punya pengajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan. Cek seperti apa metodenya.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 04 Mei 2018, 06:33 WIB
Diterbitkan 04 Mei 2018, 06:33 WIB
Sanggar Anak Alam
Sanggar Anak Alam di Bantul menerapkan pendidikan berbasis riset dan komunitas

Liputan6.com, Yogyakarta Sanggar Anak Alam atau Salam yang berada di Nitiprayan, Bantul bukan sekolah kebanyakan. Ada murid, ada guru, tetapi metode yang diterapkan dalam belajar mengajar berbeda.

Metode pengajaran yang tidak biasa ini baru ada di sekolah ini. Baru satu-satunya di Indonesia.

Jangan bayangkan suasana belajar formal di dalam ruang kelas. Tidak akan ditemui guru yang mengajar sembari menghadap papan tulis atau murid yang duduk diam memandang diktat.

Sanggar Anak Alam punya kelas berjenjang, selayaknya sekolah umum, dari PAUD TK sampai SMA. Pelajarannya bukan menghafal atau mengerjakan soal-soal, melainkan riset.

Lagi-lagi, jangan membayangkan riset ilmiah seperti laboratorium khusus. Pendidikan berbasis riset ini bisa diterapkan di mana saja dan untuk apa saja.

"Anak dibiasakan riset sejak kecil karena riset juga menghadirkan peristiwa, jadi hal sekecil apapun bisa lewat riset," ujar Toto Rahardjo, pendiri Salam, kepada Liputan6.com, Rabu (2/5/2018).

Menurut Toto, inti dari riset adalah memantik rasa ingin tahu lewat pertanyaan anak. Tahapan daur belajar diterapkan di sini, mulai dari murid mengajukan ide penelitian, guru atau fasilitator merekonstruksi, membangun struktur, analisis, dan mencapai kesimpulan.

Ia mencontohkan, riset yang diajukan bisa menyesuaikan keinginan anak. Misal, anak gemar memancing karena kerap diajak ayahnya. Riset bisa meliputi berapa lama perjalanan memancing yang dikaitkan dengan matematika, jenis ikan yang diperoleh dikaitkan dengan geografi atau bahasa, dan sebagainya.

Guru atau fasilitator dituntut untuk kreatif karena mereka yang membantu murid untuk mengembangkan riset mereka.

"Sekolah ini tidak menerapkan mata pelajaran tertentu, semua hal bisa dikaitkan," ucap Toto.

Toto juga menjelaskan perbedaan Sanggar Anak Alam dengan sekolah alam kebanyakan. Memilih kata anak alam berarti setiap anak memiliki orisinalitas masing-masing. Bakat dan ketertarikan setiap anak berbeda, oleh karena itu sekolah tidak boleh menghilangkan hal itu.

"Saya melihat banyak [sekolah ]( 3497249 "")yang merusak itu jadi kami menerapkan metode yang tidak memudahkan penyeragaman," ujarnya.

 

Berangkat dari Kelemahan Pendidikan Dasar

Sanggar Anak Alam
Sanggar Anak Alam di Bantul menerapkan pendidikan berbasis riset dan komunitas

Toto bercerita penerapan metode riset di Sanggar Anak Alam bukan tanpa pertimbangan. Ia menilai kelemahan pendidikan dasar selama ini disebabkan dua hal, yakni tidak ada struktur berpikir dan tidak memahami sebab akibat.

"Lewat riset, struktur berpikir dan logika anak terbangun dengan sendirinya," tuturnya.

Tujuan dari penerapan metode ini adalah tidak melahirkan follower. Kenyataan selama ini media sosial dan teknologi tinggi justru tidak menghasilkan apa-apa karena kebanyakan orang menjadi follower.

Pendidikan berbasis riset juga menerapkan pengajaran budi pekerti sejak dini. Bukan lewat mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, akan tetapi langsung praktik dalam kehidupan sehari-hari.

Misal, anak kelas 1 SD diminta untuk membawa mainan yang paling disukai ke sekolah untuk dijadikan bahan riset. Persyaratan lain, mainan itu harus ditinggal di sekolah dan boleh dipinjam oleh teman lainnya.

"Maknanya dalam, benda yang disukai harus rela ditinggal dan dipinjamkan kepada orang lain, mengajarkan anak berbagi sejak dini," ujarnya.

 

Ujian Nasional Bukan Target

Sanggar Anak Alam
Sanggar Anak Alam di Bantul menerapkan pendidikan berbasis riset dan komunitas

Sanggar Anak Alam tidak mengikuti kurikulum yang diterapkan karena memiliki metode sendiri. Penyelenggaraan ujian tetap dilakukan lewat program kesetaraan Kejar Paket untuk mendapatkan ijazah.

Toto sengaja tidak mengubah status sekolahnya menjadi sekolah swasta dengan pertimbangan idealisme. Sanggar Anak Alam akan menjadi sama dengan sekolah kebanyakan yang harus mengikuti aturan kurikulum dan sistem pengajaran.

Sanggar Anak Alam berstatus PKBM. Pembelajaran disesuaikan dengan minat anak untuk digali lebih lanjut. Anak tidak dibebani target menghafal, karena itu sudah menjadi agenda para guru dan fasilitator.

PAUD TK diisi dengan bermain. Kelas 1 sampai 3 SD fokus kepada penguasaan huruf dan angka. Satu-satunya pelajaran di Sanggar Anak Alam adalah menulis huruf dan angka lewat riset yang dilakukan.

"Mengapa menulis itu perlu? Karena dunia menyepakati harus bisa baca dan tulis," kata Toto. Setelah itu anak kelas 4 SD ke atas fokus untuk pengembangan diri.

Untuk persiapan ujian nasional, Sanggar Anak Alam hanya butuh waktu dua bulan. Biasanya, mereka tidak hanya berlatih soal melainkan juga mengkritisi soal.

Menurut Toto, kerap kali ditemukan soal yang menjebak dan tidak pas sehingga bermakna ambigu. Dia mencontohkan ada sebuah soal berbunyi, "Matahari terbit dari sebelah..."

"Itu jawabannya bisa tidak pasti, bisa dari sebelah kanan atau kiri, tergantung dari anak berdiri, seharusnya yang tepat bukan dari sebelah, melainkan dari arah, kalau pertanyaannya dari arah, secara otomatis jawabannya arah mata angin," tuturnya.

 

Berawal dari PAUD

Sanggar Anak Alam
Sanggar Anak Alam di Bantul menerapkan pendidikan berbasis riset dan komunitas

Sanggar Anak Alam berdiri pada 2000. Ketika itu hanya ada PAUD. Lambat laun orangtua murid merasa bingung mencari sekolah untuk anaknya karena sudah terbiasa dengan pendidikan di tempat itu.

Pada 2008 dibuka jenjang SD, tiga tahun kemudian didirikan SMP, dan setahun lalu mulai dibuka SMA eksperimental. Jumlah pengajar di tempat ini 48 orang dengan jumlah murid per kelas berkisar 15 orang.

Keberadaan Sanggar Anak Alam tidak bisa dilepaskan dari peran pasangan suami istri Toto Rahardjo (59) dan Sri Wahyaningsih (58). Mereka berbagi peran mengembangkan pendidikan di sekolahnya.

"Yang mendampingi istri saya setiap hari dan saya kebagian mengonsep seperti apa sekolah ini," kata Toto.

Ia bercerita saat mengonsep hal pertama yang dilakukan adalah menelusuri dan membuat daftar mengenai beragam hal yang tidak disukai dari sekolah.

Ia berdiskusi dengan anak-anaknya, teman, serta kerabat. Ada satu indikasi anak tidak suka sekolah, yakni ketika guru rapat dan pulang lebih awal, maka murid menyambut gembira.

"Kami ingin ada sekolah yang menciptakan kenangan, murid selama ini jarang punya kenangan dengan sekolah, kebanyakan mereka punya kenangan dengan teman-teman di sekolah," ucapnya.

Totok menuturkan gambaran Ki Hajar Dewantara soal sekolah sebagai taman tepat. Taman identik dengan sesuatu yang menyenangkan dan tidak penuh tekanan.

Demikian pula Sanggar Anak Alam berkeinginan menciptakan pendidikan yang memerdekakan.

 

Keterlibatan Penuh Orangtua Murid

Sanggar Anak Alam
Sanggar Anak Alam di Bantul menerapkan pendidikan berbasis riset dan komunitas

Perkembangan Sanggar Anak Alam juga tidak bisa dilepaskan dari peran orangtua murid. Selain riset, pendidikan di tempat ini juga berbasis komunitas.

Ketika menyelenggarakan acara, mereka tidak memakai dana sekolah. Sri Wahyaningsih membenarkan orangtua murid ikut memiliki sekolah. Pengajaran ekstrakurikuler juga melibatkan orangtua murid.

Misal, orangtua murid yang berprofesi sebagai fotografer mengajar untuk ekstrakurikuler fotografi.

Komunitas yang dibangun juga membuat hubungan antar orangtua murid dn anak-anak semakin erat. Setiap anak mengenal orangtua teman satu sekolahnya.

Situasi yang terbangun ini juga memberi dampak positif, yakni anak lebih memahami temannya. Tidak ada kasus perundungan di sekolah ini.

Biaya sekolah yang terjangkau juga membuat orangtua semakin aktif ikut mengembangkan pembelajaran anaknya. Biaya per bulan berada di kisaran Rp 420.000, sudah termasuk makan siang dan kudapan.

 

Kesenian Jadi Media Belajar Anak

Sanggar Anak Alam
Sanggar Anak Alam di Bantul menerapkan pendidikan berbasis riset dan komunitas

Sanggar Anak Alam juga memiliki cara sendiri merayakan Hari Pendidikan Nasional. Mereka menggelar pameran seni rupa karya orangtua murid.

Hasil dari pameran ini juga diperuntukkan bagi pengembangan pendidikan di sekolah itu. Ada 23 karya yang dipamerkan di galeri sebuah Warung Kopi DST yang berlokasi di Tamantirto Kasihan Bantul. Pameran bertajuk Caraka itu digelar pada 2 sampai 15 Mei 2018.

"Kesenian bukan mata pelajaran melainkan media dalam anak belajar dan kegiatan semacam ini berpengaruh terhadap suasana belajar anak," kata Toto.

Anak-anak yang belajar di Sanggar Anak Alam tidak berorientasi kepada penggunaan gawai atau perangkat elektronik karena keseharian mereka diisi dengan berkomunitas.

Toto berpendapat Sanggar Anak Alam dan seniman memiliki pandangan yang mirip di masyarakat. Keduanya sulit diterima secara sosial.

"Jadi tidak mengherankan ketika sekitar 50 persen orangtua murid di Sanggar Anak Alam adalah seniman," ucapnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya