Asita: Kebakaran Gili Lawa Lantaran Lemahnya Pengawasan

Ketua Asita NTT, Abed Frans mengatakan pengawasan terhadap kawasan wisata Taman Nasional Komodo di Flores bagian barat masih lemah, sehingga mudah terancam dari bahaya kebakaran.

oleh Amar Ola Keda diperbarui 04 Agu 2018, 16:02 WIB
Diterbitkan 04 Agu 2018, 16:02 WIB
Gili Lawa
Suasana terbakarnya Pulau Gili Lawa di Taman Nasional Komodo. (Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Kupang - Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Nusa Tenggara Timur (NTT) Abed Frans mengatakan, pengawasan terhadap kawasan wisata Taman Nasional Komodo di Flores bagian barat masih lemah, sehingga mudah terancam dari bahaya kebakaran. Misalnya, kebakaran di Gili Lawa.

"Kebakaran yang terjadi pada Rabu (1 Agustus 2018) malam di Gili Lawa, menjadi bukti lemahnya pengawasan dan koordinasi di lapangan terhadap kawasan Taman Nasional Komodo," ucap Abed Frans kepada Liputan6.com, Sabtu (4/8/2018).

Dia menjelaskan, kebakaran di dalam kawasan wisata Komodo sudah dua kali terjadi dalam selang waktu yang tidak begitu lama.

"Seharusnya tidak boleh terjadi lagi kecolongan seperti ini," kata Abed.

Menurut dia, kemungkinan sangat kecil jika peristiwa kebakaran Gili Lawa terjadi secara alamiah karena kejadiannya berlangsung pada malam hari.

Ia mengatakan pula, memang tidak ada satwa purba komodo (Varanus komodoensis) di Gili Lawa. Hanya saja, dampaknya merugikan karena destinasi wisata komodo sudah mendunia dan masuk dalam 10 kawasan wisata unggulan di Tanah Air.

Kepala Balai Taman Nasional Komodo Budi Kurniawan mengakui adanya kebakaran di Gili Lawa tersebut. Namun, tidak berdampak pada satwa Komodo yang merupakan salah satu ikon dari tujuh keajaiban dunia (New7 Wonders) itu.

"Memang ada kebakaran, tapi tak ada Komodo di Gili Lawa, karena di sana bukan habitatnya," ujarnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Dukung Penataan Ulang TN Komodo

Gili Lawa
Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Nusa Tenggara Timur Abed Frans. (Liputan6.com/Ola Keda)

Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Nusa Tenggara Timur Abed Frans mendukung penataan ulang pola kunjungan wisatawan ke kawasan wisata komodo yang terancam mulai melebihi kapasitas (overcapacity).

"Sebagai pelaku wisata kami sangat mendukung agar pola kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Komodo ditata kembali agar lebih terorganisasi," kata Abed.

Ia menambahkan, otoritas Balai TN Komodo pun akan menata kembali arus wisatawan. Terutama, membatasi jumlah kunjungan untuk menghindari dampak kelebihan kapasitas terhadap kawasan wisata Komodo .

Balai TN Komodo mencatat kunjungan yang semakin membeludak dan dikhawatirkan akan berdampak pada lingkungan atau habitat satwa purba komodo (Varanus komodoensis) itu.

Dalam tahun 2017, jumlah wisatawan ke TN Komodo tercatat mencapai sekitar 122.000 orang. Artinya, naik sekitar 11 persen dari tahun 2016 sebanyak 82.000 orang.

"Dalam kondisi musim ramai kunjungan atau high sesion, arus wisatawan per bulan bisa mencapai lebih dari 10.000 orang," kata Kepala Balai TN Komodo Budi Kurniawan, saat dihubungi secara terpisah.

Menurut Abed Frans, kunjungan wisatawan ke kawasan komodo harus ditata kembali agar lebih terorganisasi untuk melindungi satwa purba itu dari dampak aktivitas wisatawan semakin membeludak.

Otoritas terkait, lanjutnya, memang mengejar peningkatan angka kunjungan. Namun, bukan berarti tidak bisa mengatur pola kunjungan yang baik demi kelestarian satwa komodo yang merupakan salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia (New7 Wonders) itu.

"Sehingga bukan dibatasi, melainkan pola kunjungan diatur misalnya dengan pola grup yang diatur berapa jumlah yang masuk dalam kawasan dalam waktu kunjungan tertentu," katanya.

Ia menambahkan, selain untuk menjaga kondisi satwa Komodo, penataan kembali pola kunjungan wisatawan juga untuk memudahkan otoritas setempat mengendalikan masalah sampah hasil dari aktivitas wiatawan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya