Jangan Buru-Buru Tanam Padi di Gunungkidul

Hujan lokal mulai turun di wilayah Yogyakarta, termasuk Gunungkidul. Petani sigap dengan mulai mengolah sawah. Namun, usaha itu tak disarankan BMKG.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Sep 2018, 14:02 WIB
Diterbitkan 03 Sep 2018, 14:02 WIB
Sawah di Afrika
Ilustrasi pertanian organik, sawah, di Afrika (foto: bloomberg.com)

Liputan6.com, Yogyakarta - Dinas Pertanian dan Pangan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengimbau petani tidak buru-buru menanam palawija dan padi meski hujan lokal sudah turun di beberapa wilayah.

"Informasi dari BMKG, hujan baru akan mulai awal November mendatang, sehingga kami berharap petani tidak terburu-buru mulai menanam," kata Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian dan Pangan Gunungkidul Raharjo Yuwono di Gunungkidul, Minggu, 2 Agustus 2018, dilansir Antara.

Dia mengatakan mayoritas petani menanam lebih awal setiap ada hujan awal. Diperkirakan sekitar 40 persen lahan pertanian di Gunungkidul sudah mulai diolah. Sistem menanam lebih awal di kalangan petani Gunungkidul itu disebut ngawu-awu.

Sistem itu terlalu berisiko jika tidak segera diguyur hujan. Apalagi, tanah di Gunungkidul sebagian besar merupakan lahan tadah hujan.

"Lebih baik menunggu daripada berisiko gagal tumbuh karena hujan diperkirakan masih November," katanya.

Raharjo mengatakan pemerintah sudah menyiapkan diri menjelang musim penghujan mendatang. Di antaranya bantuan benih padi dari pemerintah pusat untuk lahan seluas seluas 4.000 hektare atau 100 ton sudah diterima petani.

"Pada awal September juga akan didistribusikan benih padi hibrida untuk lahan 2.250 hektare," katanya.

Dia mengatakan untuk target produksi padi di Gunungkidul mencapai 301.926 ton gabah kering giling. Targetnya naik dari realisasi pada 2018, yakni 293.380 ton gabah kering giling.

"Petani di wilayah Gunungkidul ada yang masih menanam padi, seperti di Kecamatan Ponjong, Karangmojo, Semin dan Patuk," katanya.

Salah seorang petani, Ranto Wiyatno (65), warga Dusun Plumbungan, Putat, Patuk, mengaku sudah mempersiapkan lahan untuk ditanami padi. "Untuk lahan yang tidak teraliri irigasi sudah dipersiapkan untuk musim hujan mendatang," katanya.

 

 

Penyebab Hujan Datang Lebih Awal

20160308-Ilustrasi Hujan-iStockphoto
Ilustrasi Hujan (iStockphoto)

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta menyatakan hujan yang mengguyur Yogyakarta selama beberapa hari terakhir dipicu oleh gangguan belokan angin di daerah ini.

"Ada gangguan belokan angin yang terlihat di wilayah Yogyakarta," kata Kepala Kelompok Data dan Informasi BMKG Yogyakarta, Djoko Budiono di Yogyakarta, Senin (3/9/2018).

Menurut Djoko, hingga saat ini secara umum di Daerah Istimewa Yogyakarta masih dalam periode musim kemarau. Meski demikian, kenaikan massa udara yang dipicu oleh fenomena belokan angin di atas Yogyakarta, memicu pembentukan awan-awan hujan.

"Oleh sebab itulah, dalam beberapa hari ini kondisi di beberapa tempat di Yogyakarta terlihat berawan hingga hujan," kata dia.

Ia mengatakan hujan yang terjadi di Yogyakarta termasuk kategori ringan dengan rata-rata 5 mili meter (mm) per hari. Fenomena itu diprediksi hanya berlangsung dua hingga tiga hari.

"Setelah itu, kondisi cuaca akan seperti semula dengan kondisi cerah hingga berawan hingga memasuki musim pancaroba yang diperkirakan terjadi pada Oktober," kata Djoko.

Sementara itu, ia mengatakan 34 kecamatan di DIY masih rawan mengalami bencana kekeringan meteorologis di penghujung musim kemarau. Potensi kekeringan tertinggi ada di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Dlingo, Imogiri, Kasihan, Piyungan, Pleret, Sewon (Kabupaten Bantul).

Selanjutnya, Gedangsari, Ngawen, Nglipar, Paliyan, Playen, Ponjong, Purwosari, Semanu, Semin, Tanjungsari (Gunung Kidul), Girimulyo, Kalibawang, Sentolo, Samigaluh, Temon (Kulon Progo), Berbah, Minggir, dan Ngemplak (Sleman).

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya