Liputan6.com, Yogyakarta - Aroma khas yang muncul setelah hujan yang dikenal sebagai petrichor, ternyata berasal dari bakteri tanah dan senyawa kimia alami. Proses di balik fenomena ini menjelaskan mengapa manusia begitu peka terhadap bau segar tersebut.
Mengutip dari berbagai sumber, petrichor merupakan istilah yang diciptakan ilmuwan Australia pada 1964. Istilah ini merujuk pada bau khas tanah setelah hujan.
Aroma hujan ini terutama dihasilkan oleh geosmin, senyawa organik yang diproduksi bakteri streptomyces dan actinomycetes. Bakteri ini hidup di tanah lembap dan melepaskan spora saat lingkungan mengering.
Advertisement
Baca Juga
Ketika hujan turun, tetesan air menghantam tanah dan melepaskan spora serta geosmin ke udara. Partikel kecil ini kemudian terbawa angin dan menciptakan aroma segar yang khas.
Manusia memiliki kepekaan terhadap geosmin. Hidung kita dapat mendeteksinya dalam konsentrasi 5 bagian per triliun, lebih sensitif daripada hiu terhadap darah di air laut.
Selain bakteri, minyak atsiri yang dikeluarkan tanaman selama cuaca kering juga menjadi penyebabnya. Senyawa organik ini menempel pada batuan dan tanah, lalu terlepas saat hujan membasahi permukaan.
Hujan gerimis atau rintik-rintik cenderung menghasilkan aroma lebih kuat dibanding hujan deras. Hal ini karena tetesan air yang kecil mengangkat lebih banyak partikel dari permukaan tanah tanpa menghanyutkannya.
Sebaliknya, hujan lebat justru membersihkan udara dari partikel tersebut, mengurangi intensitas baunya. Penelitian menunjukkan bahwa aroma setelah hujan dapat memengaruhi suasana hati.
Beberapa ilmuwan mengklaim bahwa kepekaan manusia terhadap geosmin telah terkait dengan nenek moyang kita yang mengandalkan hujan untuk bertahan hidup. Bau ini bisa menjadi sinyal alam bahwa air sebagai sumber kehidupan telah tiba.
Penulis: Ade Yofi Faidzun