Liputan6.com, Nagan Raya - Saat melintas di depan pintu gerbang Pusat Perkantoran Suka Makmue, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, ada penampakan menarik. Di depan gerbang utama pusat birokrasi kabupaten yang masyarakatnya dikenal awak meuremeune atau masyarakat yang memiliki keteguhan tinggi beradat istiadat itu, terpampang nama jalan 'Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno'.
Adanya nama jalan yang ditabalkan pada 17 Agustus 2015 ini memiliki sejarah tersendiri.
Untuk menelusuri jejak Sukarno di Nagan Raya, Liputan6.com bertolak 15 kilometer dari Pusat Perkantoran Suka Makmue, tepatnya di Desa Peuleukung, Kecamatan Seunagan Timur, Aceh, Sabtu 29 September 2018.
Advertisement
Baca Juga
Di lokasi, Teungku Marsyul Alam, pria berusia 70 tahun mengaku, memiliki rangkuman jejak Bung Karno di Nagan Raya.
"Kalau wawancara, makan waktu lama. Coba lihat saja di buku itu, ada semua," ucapnya seraya memberi buku berjudul Abu Habib Muda Seunagan.
Di buku itu, Habib Muda Seunagan bernama lengkap Habib Muhammad Yeddin bin Habib Muhammad Yasin, selanjutnya disebut Abu Peuleukung. Abu Peuleukung merupakan tokoh kharismatik sekaligus pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia pada pendudukan Belanda dan Jepang. Ia juga dikenal sebagai seorang nasionalis sejati.
Makamnya berada di Desa Peuleukung, Kecamatan Seunagan Timur, Nagan Raya. Ulama, Guru atau mursyid Thariqat Syattariyah di Nagan Raya ini lahir di Krueng Kulu, Seunagan, diperkirakan sekitar abad sembilan belas dan wafat pada 1972.
Jejak Bung Karno dalam literasi Abu Peuleukung rupanya penghormatan besar kepada Sang Ploklamator RI. Termasuk juga jalan tersebut. Keduanya memiliki hubungan erat.
Teungku Marsyul Alam sendiri merupakan cucu Abu Peuleukung dari garis keturunan anak Abu Peuleukung bernama Aja Aji Bernun, atau Mak Aji.
Melawan DI/TII di Aceh
Selain pejuang pada masa kolonial, jasa Abu Peuleukung bagi kedaulatan NKRI dapat ditilik dari kiprahnya melawan DI/TII di Aceh.
Abu Peuleukung menentang keras pemberontakan Darul Islam (DI) yang dipantik oleh Daud Beureueh dengan pasukannya Tentara Islam Indonesia (TII) pada 1953 itu.
Pemberontakan berawal atas kekecewaan Daud Beureueh karena Aceh dilebur kedalam Provinsi Sumatera Utara. Oleh Daud Beureueh, Sukarno dianggap telah mengkhianati hati rakyat Aceh.
Saat diajak bergabung, Abu Peuleukung dengan tegas mengatakan, memberontak kepada pemerintah yang sah hukumnya adalah haram. Baginya, DI adalah penghianat bangsa.
Dalil yang menjadi dasar penolakan Abu Peuleukung untuk tidak masuk ke barisan DI yang juga bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) Jawa Barat dibawah komando Kartosuwiryo itu, adalah surah An-nisa ayat 59.
Pendapat ini diikuti dua ulama Aceh, Syekh Muda Waly dari Labuhan Haji, dan Hasan Krueng Kalee dari Aceh Besar.
Untuk menghadapi DI, Abu Peuleukung secara khusus membentuk sebuah organisasi rakyat, dengan nama Organisasi Pagar Desa (OPD). OPD digadang-gadang memiliki ribuan pasukan terlatih.
Label seorang 'republiken' di pundak Abu Peuleukung, dapat ditelusuri pula saat dirinya menyambut baik proklamasi dengan mengibarkan bendera merah putih di Seunagan, yang saat itu secara administratif merupakan wilayah Aceh Barat.
Pengibaran bendera oleh Abu Peuleukung di Seunagan ini sebagai pengibaran bendera merah putih pertama di seluruh Aceh.
Advertisement
Keturunan Sunan Kalijaga
Sikap dan keberpihakan Abu Peuleukung atau Habib Muda Seunagan terhadap anasir-anasir yang memecah persatuan dan kesatuan bangsa, menarik perhatian Sukarno.
Atas jasanya, ia diundang Sukarno ke Jakarta. Disitulah keduanya membangun ikatan yang kuat. Sukarno rupanya menaruh hormat yang sangat besar kepada sang habib. 'Ayahanda', demikian sapaan Sukarno untuk Abu Peuleukung.
Dalam pertemuan itu, Sukarno tanpa ragu, mengatakan, bahwa ia masih punya hubungan darah dengan Abu Peuleukung.
Diceritakan, ketika itu Sukarno menanyakan kepada Abu Peuleukung hendak mendatangi suatu tempat untuk dikunjungi yang kemudian akan dilayani dan dibiayai pemerintah.
"Saya mau ziarah ke Masjid Demak, masjid itu dibangun oleh endatu saya, Habib Said Ataf. Dialah yang membuat tiang dari serbuk kayu atau tatal," jawab Abu Peuleukung.
Mendengar itu, Sukarno sumringah dan menyebut, dia masih punya hubungan darah dengan Abu Peuleukung.
Menurut Soekarno, hubungan itu tersambung lewat Sunan Kalijaga, seorang wali yang turut membangun Masjid Agung Demak pada abad ke 15, terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
"Kita masih satu garis keturunan. Saya adalah keturunan Sunan Kalijaga," ucap Soekarno kepada Abu Peuleukung.
Konon setelah dialog tersebut, Soekarno memeluk Abu Peuleukung, sambil meneteskan air mata, sampai-sampai kopiah sang presiden terjatuh.
* Liputan6.com yang menjadi bagian KapanLagi Youniverse (KLY) bersama Kitabisa.com mengajak Anda untuk peduli korban gempa dan tsunami di Palu dan Donggala. Yuk bantu Sulawesi Tengah bangkit melalui donasi di bawah ini.
Â
Â
Semoga dukungan Anda dapat meringankan beban saudara-saudara kita akibat gempa dan tsunami Palu di Sulawesi Tengah dan menjadi berkah di kemudian hari kelak.
Saksikan video pilihan berikut ini: