Debit Air Sungai Cimanuk Turun Drastis Akibat Musim Kemarau

Akibat musim kemarau yang cukup panjang, debit air sungai Cimanuk hanya tinggal 30 centimeter dari sebelumnya 90 centimeter.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 21 Okt 2018, 02:00 WIB
Diterbitkan 21 Okt 2018, 02:00 WIB
Sejumlah lahan pertanian mengalami puso alias gagal panen akibat kemarau penjang
Sejumlah lahan pertanian mengalami puso alias gagal panen akibat kemarau penjang (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut Debit air sungai Cimanuk, Garut, Jawa Barat terus menyusut, akibat musim kemarau yang terjadi dalam lima bulan terakhir. Dampaknya, ancaman kekeringan bakal dirasakan lahan pertanian terutama daerah yang berada di hilir sungai.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Garut, Uu Saepudin menyebutkan penurunan debit air Sungai Cimanuk yang terjadi saat ini cukup drastis, akibat musim kemarau. “Saat ini debit Sungai Cimanuk hanya tinggal 30 sentimeter," ujarnya, Jumat (19/10/2018).

Menurutnya, debit air sungai terbesar di Garut itu terus menyusut akibat minimnya sumber air selama musim kemarau berlangsung. Dalam kondisi normal ujar dia, Cimanuk memiliki debit air 90 centimeter, namun kini tinggal 30 sentimeter.

"Penurunan debit airnya sudah mencapai sekitar 60 persen,” kata dia.

Akibat menurunnya debit air, sejumlah irigasi teknis yang selama ini memasok air ke lahan pertanian dan pemukiman warga pun mulai mengering. Bahkan irigasi di Cibatu dan Banyuresmi telah mengering, sementara irigasi lainnya diatur dengan ketat, agar mendapat bagian.

“Sebenarnya bukan hanya untuk lahan pertanian, bahkan untuk kebutuhan air minum pun sudah berkurang,” ujarnya.

Selama musim kemarau berlangsung, lembaganya mencatat dari 38 irigasi teknis yang ada, dua diantaranya sudah kering, akibat minimnya pasokan dari sumber utama Sungai Cimanuk. Untuk itu, lembaganyaa mengusulkan penambahan 71 irigasi teknis untuk mengaliri lahan yang produktif.

Uu menambahkan, dibanding tahun sebelumnya, penurunan debit air sungai Cimanuk tahun ini terbilang parah. “Biasanya saat musim kemarau  di daerah hulu masih ada hujan, namun saat ini di hulu pun sudah tidak ada hujan sehingga dampaknya cukup parah,” ungkap dia.

Akibat berkurangnya pasokan air, para petani di beberapa kecamatan akhirnya mengubah pola tanam dari awalnya lahan padi menjadi palawija. “Tanaman palawija itu tidak terlalu memerlukan air yang banyak,” kata dia.

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya