Kemarau Panjang, Petani Garut Menyerbu Kota Besar

Musim kemarau yang telah berlangsung hampir empat bulan terakhir menyebabkan beberapa lahan pertanian di Garut mengering.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 05 Sep 2018, 21:00 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2018, 21:00 WIB
Nampak berapa lahan pertanian di sekitar Sukahurip, Garut mulai mengering akibat kemarau
Nampak berapa lahan pertanian di sekitar Sukahurip, Garut mulai mengering akibat kemarau (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Akibat musim kemarau yang mengancam lahan mereka, sejumlah petani di Desa Sukahurip, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, mulai beralih profesi menjadi pekerja serabutan di kota besar.

"Ya bagaimana lagi, sebab lahannya kan kering, mereka jadi buruh serabutan dulu di kota, nanti kalau sudah kembali hujan, kembali lagi," ujar Kepala Desa Sukahurip, Supiat, di Garut.

Menurutnya, musim kemarau yang telah berlangsung empat bulan terakhir, menyebabkan lahan mereka kering. Akibatnya, areal lahan pertanian produktif di Desa Sukahurip yang berada di dataran tinggi itu, mulai ditinggalkan petani. "Ada sekitar 50 hektare lahan pertanian sudah terjadi kekeringan," katanya.

Kebiasaan ini ujar dia sudah berlangsung lama, mayoritas warga yang selama ini menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam di beberapa area lahan pertanian sekitar, mesti ditinggalkan sementara waktu untuk menyambung hidup. Mereka beralih menjadi pekerja serabutan di kota besar. 

Padahal saat musim hujan berlangsung, lahan pertanian di Desa Sukahurip cukup subur, di area lahan sekitar 100 hektare milik warga itu, ragam hasil pertanian yang didominasi palawija seperti kol, kacang-kacangan, dan cabai mampu dihasilkan petani, dalam jumlah melimpah.

"Biasanya hasil pertaniannya dipasok ke kota," kata dia.

Namun di tengah potensi kesuburan tanah itu, untuk beberapa saat ke depan, area lahan warga ditinggalkan pemilik. Pola pengairan yang masih menggantungkan pasokan air hujan, serta kiriman air pipanisasi yang berasal sumber air danau Talaga Bodas, menjadi penyebab keringnya lahan mereka.

"Itu (pasokan air melalui pipanisasi) pun belum rebutan sama kebutuhan air bersih warga," ujarnya.

Tak ayal dalam beberapa kesempatan, warga mesti rela mengantre dan saling menunggu dengan sesama petani untuk mendapatkan air bersih itu. "Yang punya alat lengkap pipa yang masih bisa mencari ke sumber air, jika tidak ada ya dibiarkan saja ditinggalkan dulu ke kota," kata dia.

 

7000 KK Kesulitan Air Bersih

Warga Kampung Bebedahan Pasir Garut mulai antri mencari air bersih
Warga Kampung Bebedahan Pasir Garut mulai antri mencari air bersih (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Letak desa yang berada di kaki gunung dataran tinggi, menyebabkan saat musim kemarau tiba, wilayah Desa Sukahurip seringkali dilanda kekeringan, bahkan warga mengalami kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan minum dan memasak.

"Mereka kan harus berebut juga dengan beberapa petani untuk mengairi lahan," ujar Supiat menambahkan.

Ia menyebutkan, berdasarkan data ada yang dimiliki desa, ada sekitar tujuh ribuan kepala keluarga di Desa Sukahurip yang kesulitan air bersih dan berebut mengandalkan sumber mata air pegunungan.  "Makanya kami berharap ada bantuan pemerintah secara langsung ke sini," katanya.

Bukan hanya itu, pemerintah daerah bisa memanfaatkan keberadaan sumber mata air yang berada di Gunung Karaha Bodas melalui pembangunan pipanisasi yang lebih besar dan banyak. "Nantinya tidak hanya desa Sukahurip, tapi desa Cinta dan desa Cintamanik, mereka juga kekuragan air saat kemarau tiba," katanya.

Warga Mulai Antre Air Bersih

Beberapa jeriken air milik warga Kampung Bebedahan Pasir Garut nampak antri mendapatkan air bersih
Beberapa jeriken air milik warga Kampung Bebedahan Pasir Garut nampak antri mendapatkan air bersih (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Kekeringan lahan yang melanda desa Sukahurip mulai dirasakan warga Kampung Bebedahan, Pasir, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Sukawening. Perkampungan warga yang menuju Sukahurip itu, mulai merasakan dampak kemarau dengan mulai mengantre air bersih.

"Airnya kecil sekali, saya bisa dua tiga kali mengantri di sini," ujar Nur (40), salah satu warga Kampung Bebedahan yang tengah mengantre air bersih di masjid jami Nurul Huda yang berada di sana.

Menurutnya, antrian warga mendapatkan air bersih tidak terelakan lagi, sumber air bersih dari Sindanglayu yang selama ini menjadi tujuan warga mulai mengering seiring datangnya kemarau. "Memang tidak semua, namun yang khusus buat (mengairi) kampung kami  (sumber airnya) sudah mengecil," ujar dia menambahkan.

Saat ini jarak sumber air dengan pemukiman warga sekitar dua kilo meter yang dialirkan melalui pipa paralon plastik, namun teriknya kemarau, air yang mengalir pun hanya memiliki debit yang kecil. "Lumayan lama juga untuk mengisi satu jeriken kecil ini," ungkap dia sambil menunjukan beberapa jeriken yang ia bawa.

Kondisi serupa dialami Asep (45). Untuk mencukupi kebutuhan warga, ia berharap pemerintah segera turun tangan memberikan bantuan air bersih yang diberikan secara berkala.

"Minimal ada mau sumbernya dari gunung atau PDAM, tidak masalah buat kami," kata dia.

Saat ini, kolam yang biasa menampung air di beberapa pemukiman warga sudah mengering, tak ayal kondisi itu menyebabkan hampir mayoritas kampung Bebedahan, menggantungkan pasokan air bersih dari satu-satunya saluran pipa kecil yang digunakan saat ini.

"Apalagi jika saat salat, harus menunggu dengan yang mau berwudu," ungkap dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya