Memburu Jejak Dua Buronan Korupsi Lahan di Sulsel

Dua buronan kasus korupsi itu bernama Soedirjo Aliman alias Jentang dan Rosdiana.

oleh Eka Hakim diperbarui 06 Jan 2019, 20:03 WIB
Diterbitkan 06 Jan 2019, 20:03 WIB
Kejati Sulsel target kembali mengejar dua buronan korupsi tunggakan tahun 2018 (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Kejati Sulsel target kembali mengejar dua buronan korupsi tunggakan tahun 2018 (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) berjanji untuk menuntaskan perkara korupsi yang belum tuntas diselesaikan di tahun 2018.

Diantara tunggakan perkara korupsi yang dimaksud, yakni perkara korupsi yang menjerat dua orang yang dikenal masyarakat sebagai mafia tanah ternama di Makassar.

"Keduanya buronan di tahap penyidikan dan kita target mengejarnya di tahun 2019 ini," kata Tarmizi, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) pada rilis catatan akhir tahun 2018 kemarin.

Ia mengungkapkan, dua buronan kasus korupsi itu bernama Soedirjo Aliman alias Jentang dan Rosdiana.

Jentang merupakan tersangka kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara yang terletak di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar. Sementara Rosdiana sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembebasan lahan proyek underpass simpang lima Bandara Hasanuddin Makassar.

"Keduanya buron alias masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) setelah tak memenuhi panggilan yang dilayangkan secara patut oleh penyidik ditingkat penyidikan kasus yang menjeratnya," jelas Tarmizi.

Pengejaran terhadap Jentang telah memakan waktu setahun lebih. Berbagai langkah pun dilakukan Kejati Sulsel untuk mengendus keberadaannya.

Selain membentuk tim khusus yang tak diketahui identitasnya oleh internal Kejati sendiri, Kejati Sulsel juga menggandeng institusi penegak hukum lainnya diantaranya Kepolisian dan TNI.

"Kejati Sulsel juga telah kordinasi dengan KPK untuk melacak keberadaan dia (Jentang). Kita kan tahu KPK memiliki alat canggih dan tidak memerlukan izin Pengadilan jika ingin menyadap atau melacak nomor telepon target," ungkap Tarmizi.

Kronologi Korupsi Penyewaan Lahan Negara Buloa Makassar

Kejati Sulsel sita lahan yang diklaim oleh Jentang, buronan kasus korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Kejati Sulsel sita lahan yang diklaim oleh Jentang, buronan kasus korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Diketahui, pasca ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar, Jentang dikabarkan minggat bersama istri ke Jakarta, tepatnya Kamis 2 November 2017 dan hingga saat ini memilih buron dan tak memenuhi panggilan penyidik Kejati Sulsel.

Jentang dinilai berperan sebagai aktor utama dibalik terjadinya kerugian negara dalam pelaksanaan kegiatan penyewaan lahan negara yang terdapat di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.

Penetapan dirinya sebagai tersangka telah dikuatkan oleh beberapa bukti diantaranya bukti yang didapatkan dari hasil pengembangan fakta persidangan atas tiga terdakwa dalam kasus korupsi penyewaan lahan negara Buloa yang hingga saat ini perkaranya bergulir di tingkat kasasi. Ketiga terdakwa masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti.

Selain itu, bukti lainnya yakni hasil penelusuran tim penyidik dengan Pusat Pelatihan dan Aliran Transaksi Keuangan (PPATK). Dimana dana sewa lahan diambil oleh Jentang melalui keterlibatan pihak lain terlebih dahulu.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel, Jan Maringka kala itu mengatakan Jentang diduga turut serta bersama dengan terdakwa Sabri, Rusdin dan Jayanti secara tanpa hak menguasai tanah negara seolah-olah miliknya sehingga PT. Pembangunan Perumahan (PP) Persero selaku Pelaksana Proyek Makassar New Port terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500 Juta untuk biaya penyewaan tanah.

"Nah dana tersebut diduga diterima oleh tersangka melalui rekening pihak ketiga untuk menyamarkan asal usulnya," kata Jan dalam konferensi persnya di Kantor Kejati Sulsel, Rabu 1 November 2017.

Penetapan Jentang sebagai tersangka juga merupakan tindak lanjut dari langkah Kejati Sulsel dalam mengungkap secara tuntas dugaan penyimpangan lain di seputar lokasi proyek pembangunan Makassar New Port untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional di Sulsel.

"Kejati Sulsel segera melakukan langkah langkah pengamanan aset untuk mencegah terjadinya kerugian negara yang lebih besar dari upaya klaim-klaim sepihak atas tanah negara di wilayah tersebut ,"tegas Jan yang saat ini menjabat Jaksa Agung Muda Intelkam (JAM Intelkam) Kejagung itu.

Atas penetapan tersangka dalam penyidikan jilid dua kasus Buloa tersebut, Kejati Sulsel juga langsung mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka koordinasi penegakan hukum.

"Tersangka (Jentang) disangkakan dengan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ," Jan menandaskan.

Kronologi Korupsi Pembebasan Lahan Underpas Simpang Lima Bandara

Kejati Sulsel target penangkapan Rosdiana yang menjadi buron dalam kasus korupsi pembebasan lahan underpas Bandara (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Kejati Sulsel target penangkapan Rosdiana yang menjadi buron dalam kasus korupsi pembebasan lahan underpas Bandara (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Hampir sama dengan Jentang, Rosdiana memilih mangkir dari panggilan penyidik Kejati Sulsel pasca statusnya ditingkatkan sebagai tersangka. Ia bersama Ahmad Rifai, Kasubag Pertanahan Pemerintah Kota Makassar (Pemkot Makassar) ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan proyek underpass simpang lima Bandara.

"Rosdiana (buron) bertindak sebagai penerima ganti rugi lahan sedangkan Ahmad Rifai bertindak sebagai Sekretaris Tim Pengadaan lahan," kata Tarmizi.

Dalam proyek pembebasan lahan, Ahmad Rifai diduga melakukan kongkalikong dengan Rosdiana yang bertindak seolah-olah sebagai kuasa penerima anggaran atas lahan yang masuk dalam pembebasan proyek underpass.

Padahal, lahan yang dimaksud atau diajukan oleh Rosdiana tersebut, tidak termasuk sebagai lahan yang dibebaskan dalam proyek pembangunan underpass. Hal ini terbukti dengan temuan sertifikat tanah yang diajukan untuk diganti rugi.

"Jadi ada sebidang tanah yang menerima pembayaran adalah orang yang tidak berhak. Artinya ada kongkalikong. Jadi ada orang yang bertindak seolah-olah sebagai penerima ganti rugi padahal dia tidak berhak," jelas Tarmizi.

Dari perbuatan keduanya, negara diduga dirugikan sebesar Rp 3.482.500.000 sesuai dari hasil perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Sulawesi Selatan (BPKP Sulsel).

"Uang ganti rugi lahan yang diterima oleh Rosdiana sebesar nilai kerugian negara tersebut, dimana Ahmad Rifai turut mendapat fee sebesar Rp 250 juta dari Rosdiana," urai Tarmizi.

Proyek pembebasan lahan proyek underpass simpang lima Bandara, diselidiki oleh Kejati Sulsel pada awal tahun 2017 lalu. Dimana proyek tersebut diketahui menggunakan anggaran yang bersumber dari APBN melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dijalankan oleh Balai Jalan Metropolitan Makassar (BJMM) senilai Rp 10 miliar.

Dalam perjalanannya, Pemkot Makassar diminta oleh BJMM untuk menyediakan lahan yang akan digunakan pada proyek tersebut. Selain itu Pemkot juga diminta untuk membuat daftar nominatif (inventarisasi lahan) yang akan digunakan untuk pembebasan lahan proyek underpass.

Namun dalam perjalanan pelaksanaan pembebasan lahannya, ditemukan adanya indikasi dugaan salah bayar senilai Rp 3,48 miliar.

Pada tahap penyelidikan, beberapa pihak terkait dalam proyek tersebut diperiksa secara maraton. Diantaranya Camat Biringkanaya, Andi Syahrum Makkuradde dan mantan Kasubag Pertanahan Pemkot Makassar, Ahmad Rifai.

Tepat November 2017, status kasus pembangunan underpass simpang lima Bandara pun resmi ditingkatkan oleh Kejati Sulsel dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan karena pertimbangan alat bukti adanya unsur perbuatan melawan hukum didalamnya dianggap telah terpenuhi. Sejumlah pihak lain yang terkait pun turut diperiksa kembali secara maraton oleh tim penyidik Kejati Sulsel.

Diantaranya Camat Tamalanrea, Kaharuddin Bakti, Kepala Kelurahan Sudiang, Udin dan Asisten 1 Pemkot Makassar yang bertindak selaku Ketua Tim Pengadaan Lahan, M. Sabri juga diperiksa sebagai saksi pada bulan Desember 2017 lalu. Kemudian berlanjut memeriksa mantan Kepala Badan Pertanahan (BPN) Kota Makassar, Iljas Tedjo Prijono pada tanggal 8 Januari 2018.

Tak hanya itu, tim penyidik Kejati Sulsel juga telah memeriksa sejumlah orang yang tergabung dalam tim panitia pengadaan lahan lainnya yang diduga mengetahui dan terlibat dalam proyek merugikan negara tersebut.

Mereka adalah dua staf Kesbangpol Kota Makassar yakni A. Rifai dan Hasan Sulaiman yang masing-masing bertugas sebagai mantan Sekretaris Panitia Pengadaan Lahan dan staf panitia pembebasan lahan. Keduanya diperiksa pada tanggal 29 Januari 2018 lalu.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya