Perajin Pandai Besi Garut Riwayatmu Kini

Selain minim regenerasi, serbuan produk perkakas pabrikan dan produk Cina ikut memukul produk perkakas perajin pandai besi.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 20 Jun 2019, 04:00 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2019, 04:00 WIB
Sebanyak empat orang pegawai yang bertugas memukul, membakar tungku pembakaran dan menjepit bahan baku untuk diubah menjadi perkakas sesuai pesanan di pandai besi Cimaragas Garut
Sebanyak empat orang pegawai yang bertugas memukul, membakar tungku pembakaran dan menjepit bahan baku untuk diubah menjadi perkakas sesuai pesanan di pandai besi Cimaragas Garut (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Sempat merajai pasar perkakas lokal pada 1980 hingga dekade awal 2000-an, kini nasib perajin pandai besi Garut, Jawa Barat, berada di tengah persimpangan jalan menuju kepunahan.

Minimnya regenerasi, serta membanjirnya produk perkakas pabrikan termasuk Cina, membuat industri rumahan pandai besi perlahan memudar.

Hembusan angin dari sebuah blower tradisional, membuat tungku api semakin membara. Sementara tujuh pegawai lainnya, nampak bersemangat memukul potongan merah ‘menyala’ plat baja hasil pembakaran, untuk selanjutnya dibentuk sesuai pesanan.

"Saya menikmati saja tanpa ada yang mengejar target," ujar Sobur Burburan, (64), salah satu pemilik sekaligus pengrajin pandai besi Garut di bengkel utamanya Kampung Cimaragas, Kecamatan Cilawu, Garut, Rabu (19/6/2019).

Menggunakan topi lusuh dan baju sweater dengan pijakan sandal kulit, bapak empat anak ini, nampak serius memperhatikan potongan plat besi dan baja di tungku bakar.

"Dari potongan itulah awal mula kami bentuk menjadi perkakas," ujar dia sambil menunjukan tungku bakar.

Menurutnya, pengerjaan perkakas secara tradisional di bengkel pandai besi, memang membutuhkan kerja fisik yang optimal. "Lihat saja mulai mengembos bahan, memukul hingga membentuknya, lumayan menguras tenaga harus teliti," kata dia.

Selain ancaman keselamatan akibat besarnya potensi tungku api pembakaran, juga keuntungannya terbilang tipis. "Apalagi dengan adanya produk pabrikan dan produk Cina," ujarnya.

Menggunakan bara api hingga 400 derajat Celsius di tungku pembakaan, potongan plat besi dan baja langsung digarap para pegawai yang terbagi dalam dua kelompok itu.

"Plak plak plak," terdengar suara dari tiga pegawai lainnya, yang telah menunggu untuk memukul potongan material itu menjadi lebih pipih.

Sesekali Sobur dan ketujuh pegawainya nampak berhenti, mereka menyeka keringat yang keluar di dahinya masing-masing. "Lumayan cape," ujar Uju (58), salah satu pegawai pandai besi.

Menurutnya, pengerjaan ragam perkakas besi pengrajin pandai besi seperti pacul (cangkul), arit, golok, kored, congkrang, parang, jaet dan lainnya, membutuhkan ketelitian. "Salah sedikit harus dibakar lagi agar besi lembek dibentuk sesuai pesanan," ujarnya di Garut.

Puncak Keemasan Saat Krismon

Ijo (77), salah satu konsumen setia perkakas pandai besi Garutan, hingga kini masih menggunakan produk perkakas berbahan besi baja tersebut
Ijo (77), salah satu konsumen setia perkakas pandai besi Garutan, hingga kini masih menggunakan produk perkakas berbahan besi baja tersebut (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada 1998 silam, membawa berkah bagi para pengrajin pandai besi Cimaragas Garut. Saat itu bahan baku logam besi baja naik hingga 10 kali lipat.

"Awalnya hanya Rp 500 per kilo langsung menjadi Rp 5.000," ujar Sobur mengenang.

Namun beruntung, stok bahan baku logam milik pengrajin terbilang melimpah, hingga terbilang aman minimal untuk beberapa tahun ke depan. "Kalau kami tidak punya stok gak tahu apakah masih meproduksi atau tidak," ujarnya.

Menurut Sobur, perkakas yang dibuat pengrajin pandai besi, berasal dari campuran besi dan baja. "Kenapa pakai besi baja ? Sebab kami menjaga kualitas," kata dia.

Tak mengherankan meskipun digunakan dalam berbagai kebutuhan, perkakas hasil olah tangan pandai besi Cimaragas, sulit terbantahkan. "Tidak ada ceritanya bingkeng (benyok)," ujarnya.

Saat ini dari delapan keryawan yang dipekerjakan, mampu dihasilkan puluhan ragam perkakas berkualias. "Arit bisa 20 biji, pacul 9 biji, kored 20 biji, banyak lagi," papar dia.

Sedangkan soal harga satuan perkakas pengrajin pandai besi Cimaragas dijual mulai Rp 35 ribu ke atas, sesuai kebutuhan konsumen. "Beda-beda, kalau arit Rp 35 ribu, golok mulai Rp 40 ribu hingga Rp 150 ribu," kata dia.

Dalam setiap perkakas yang dihasilkan, pengerjaan yang baik dengan sokongan bahan baku yang baik pula, sanggup memberikan kepuasan bagi pelanggan.

"Sebab jika jelek kan barangnya akan kembali juga ke sini diperbaiki, malu dong," ujarnya sedikit bercanda.

Sejarah Pandai Besi

Beberapa pegawai pandai besi Cimaragas Garut, tengah menunggui tungku pembakaran bahan logam yang akan diolah menjadi perkakas
Beberapa pegawai pandai besi Cimaragas Garut, tengah menunggui tungku pembakaran bahan logam yang akan diolah menjadi perkakas (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Dirintis pertama kali oleh Haji Sahuri medio 1940-an, sang ayah yang merupakan pioneer pengrajin pandai besi di wilayah itu, mengetahui betul pasang surutnyanya pengrajin pandai besi.

"Dulu kan belum aman seperti sekarang ini, makanya jika ada pertempuan (Penjajah) ya berhenti dulu," kata dia.

Beberapa ragam senjata pejuang pun seperti golok, hingga samurai pernah dibuat di bengkelnya yang berada di persimpangan jalan raya Cilawu Garut tersebut. "Apapun kami buat sesuai pesanan," ujar dia.

Sobur mengatakan, berdasarkan cerita orang tua, awal mula rintisan usaha pandai besi, disebabkan minimnya produk lokal untuk memenuhi kebutuhan pasokan perkakas warga.

"Saat itu mayoritas penduduka kan petani dan berkebun," kata dia.

Berangkat dari potensi itu, Sahuri kemudian membuat ide mendirikan usaha sendiri mengolah besi dan baja, yang dilakukan secara otodidak. "Alatnya pun sangat sederhana," kata dia.

Namun perlahan pasti, usahanya terus berkembang seiring bagusnya kualitas perkakas yang dihasilkan. "Awalnya memang hanya keluarga saya adik-kakak yang terjun ke usaha ini," kata dia.

Pengrajin pandai pun semakin banyak hingga pada 1982-an saat musibah gunung Galunggung, Tasikmalaya, seluruh pandai besi di Cimaragas, berhenti seiring memburuknya lingkungan. "Kami lanjutkan 1985 setelah kondisi mulai membaik," kata dia.

Bahkan hingga medio 1990-an akhir, kawasan Cimaragas dikenal sebagai salah satu gudangnya pengrajin pandai besi di Garut. "Tapi sekarang paling tinggal tiga saja yang masih berproduksi," kata dia.

Naiknya harga bahan baku besi-baja, serta minimnya regenarasi kaum muda, menyebabkan usaha pandai besi mulai ditinggalkan. "Mana ada anak jaman sekarang mau mukul-mukul besi seperti ini, paling gengsi," kata dia sedikit bercanda.

Hal itu diperkuat dari tidak adanya keturunan dia yang bakal melanjutkan usaha pandai besi. "Anak saya empat semuanya tidak mau melanjutkan," kata dia.

Meskipun demikian, ia tidak patah arang, ke delapan pegawainya yang mayoritas tua nampak menikmati pekerjaan itu. "Yang pesan banyak tapi kami gak mau terbebani, semampunya saja lah," ujarnya bangga.

Lintas Generasi

Salah seorang pengrajin pandai besi Cimaragas, tengah menghaluskan salah satu produk perkakas pandai besai Cimaragas Garut
Salah seorang pengrajin pandai besi Cimaragas, tengah menghaluskan salah satu produk perkakas pandai besai Cimaragas Garut (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Sobur mengakui, satu di antara usaha lawas yang masih bertahan hingga kini adalah perajin pandai besi. "Sejak jaman penjajahan kami sudah memulai dan masih bertahan hingga kini," kata dia.

Tidak ada trik atau startegi khusus yang ia lakukan, agar usaha warisan orang tua tersebut tetap ngebul. "Ulet dan jangan mengingkari kerja keras, lakukan yang terbaik," ujarnya.

Baginya menghasilkan produk berkualitas dengan bahan baku berkualitas, mampu mempertahankan kepercayaan konsumen.

"Rata-rata pembeli kami merupakan pelanggan yang sudah puluhan tahun ke seni sejak jaman ayah," kata dia.

Tak jarang di antara mereka, sudah dianggap laiknya keluarga saat mengambil barang produk olahannya. 'Kadang bahkan mereka sengaja menunggu saat produk belum jadi, mereka sudah memahami kami," ujarnya.

Ijo (77), salah satu pembeli asal Kampung Cipetir, kawasan Gunung Cikuray mengakui sejak lama menjadi konsumen pengrajin pandai besi Garut. "Abah pertama kali ke sini (Pandai besi) tahun 1970-an saat masih muda, dan tak pernah pindah," kata dia.

Menurutnya, barang pesanan hasil olah tangan pengrajin pandai Cimaragas sudah dikenal luas, hampir seluruh petani di kampungnya. "Mahal sedikit tidak masalah, sebab kualitasnya terjamin dibanding produk pabrik saat ini," ujar dia.

Saat ini satu cangkul dihargai Rp 200 ribu yang dijual secara kredit kepada petani penggarap di desa. "Gak usah ngambil untung banyak-banyak yang penting manjang (langgeng) biar gak kapok," kata dia.

Tak ayal meskipun sudah sepuh, namun pesanan cangkul dan perkakasa lainnya tetap ada. "Saya kadang dua tiga kali ke sini ngambil pesanan," kata dia.

Di tengah ancaman membanjirnya produk pabrikan, Sobur berharap usahanya tetap berlangsung sambil melanjutkan silaturahmi. "Bagi saya tidak hanya mencari keuntungan semata, namun ada nilai kekeluargaan," papar dia.

Ancaman Produk Cina

Beberapa produk arit, congkrang yang dihasilkan dari pengrajin pandai besi Cimaragas Garut
Beberapa produk arit, congkrang yang dihasilkan dari pengrajin pandai besi Cimaragas Garut (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Selain minimnya regenerasi pengrajin pandai besi, persoalan lain yang selalu dihadapi saat ini, yakni membanjirnya produk perkakas pabrikan. "Belum lagi produk Cina yang harganya sangat murah sekali," kata dia.

Harga murah dengan cetakan yang lebih rapi, menjadi ancaman nyata penjualan produk hasil olah tangan pengrajin pandai besi Garutan. "Tapi biarkan saja, ya tahu kualitas pasti ke sini," ujarnya bangga.

Ia membandingkan harga satu bilah cangkul pabrikan dijual Rp 100 ribu, sementara produk olahan pengrajin pandai besi Rp 170 ribu hingga Rp 200 ribu per biji.

"Memang mahal sebab bahannya baja dan besi, dan prosesnya sulit, sedangkan pabrikan hanya besi biasa," kata dia.

Menurutnya, serbuan produk perkakas pabrikan wajar terjadi di tengah tinggi kebutuhan dalam negeri saat ini. "Perkakas seperti cangkul, kored itu tidak hanya buat pertanian semata, juga buat digunakan dalam proyek," ujarnya.

Bahkan sebagai salah satu negara agraris dunia, potensi kebutuhan petani terhadap perkakas terbilang tinggi. "Dulu sempat pemerintah berencana mengimpor cangkul juga dari Cina, bisa dibayangkan bagaimana nasib kita," ujarnya.

Namun perlahan pasti, rencana itu akhirnya dihentikan pemerintah, dengan alasan masih banyaknya pengrajin pandai besi di beberapa wilayah Indonesia.

"Infonya produk perkakas Cina bisa lebih murah lagi dibanding pabrikan saat ini," kata dia.  

Dengan pengerjaan yang telaten dan bahan campuran besi baja, Sobur optimis jika produk perkakas olahan pengrajin pandai besi masih memiliki penggemar beratnya.

"Jika petani tahu kualitas (perkakas) pasti produk hasil pandai besi, kalau asal nyangkul ya bisa dilihat sendiri," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya