Merawat Perahu Bidar, Penjaga Kesultanan Palembang Darussalam

Perahu bidar dulunya digunakan untuk menjaga keamanan wilayah dari Kolonial Belanda, yang berusaha menjajah Kota Palembang di masa Kesultanan Palembang Darussalam.

oleh Nefri Inge diperbarui 23 Jun 2019, 10:00 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2019, 10:00 WIB
Lomba Perahu Bidar, Melestarikan Tradisi Kesultanan Palembang Darussalam
Lomba perahu bidar yang merupakan tradisi Kesultanan Palembang Darussalam digelar di Sungai Musi (Liputan6.com / Nefri Inge)

Liputan6.com, Palembang - Bentangan Sungai Musi di Kota Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), menjadi salah satu akses transportasi alternatif bagi sebagian warga. Belasan perahu kayu berjejer di tepian Sungai Musi pun berjejer menanti para penumpang setiap harinya.

Namun perahu kayu yang sering disebut perahu ketek, bukan menjadi salah satu perahu tradisional peninggalan masa lalu, yang masih ada hingga kini. Ada juga perahu bidar, yang juga masih menjadi alat transportasi masa lalu yang dilestarikan hingga saat ini.

Perayaan hari ulang tahun (HUT) Kota Palembang setiap tahun yang jatuh pada tanggal 17 Juni, selalu dimeriahkan dengan perlombaan perahu Bidar.

Lokasi kompetisi lomba perahu bidar ini sering digelar di Sungai Musi dan aliran sungai di pemukiman warga. Tradisi ini menjadi hiburan rutin warga Palembang dan membangkitkan euforia bagi peserta yang mengikuti perlombaan.

Kegiatan ini sendiri menjadi salah satu langkah pemerintah untuk melestarikan tradisi lokal, yang sudah ada sejak Kesultanan Palembang Darussalam.

Menurut Wali Kota (Wako) Palembang Harnojoyo, perahu bidar ini dulunya digunakan untuk menjaga keamanan wilayah. Saat itu Kolonial Belanda berusaha menjajah Kota Palembang di masa Kesultanan Palembang Darussalam.

"Kesultanan Palembang Darussalam akhirnya membentuk patroli sungai dengan menggunakan perahu bidar," ujarnya kepada Liputan6.com, saat ditulis Sabtu (22/6/2019).

Nama awal perahu bidar ini yaitu perahu pencalang. Nama tersebut berasal dari kata pancal yaitu lepas dan lang yang berarti menghilang.

Perahu pencalang diartikan sebagai perahu yang mempunyai kecepatan laju dan mudah menghilang.

Ada dua jenis perahu Bidar yang biasa digunakan, yaitu Perahu Bidar Tradisional dan Perahu Bidar Prestasi Palembang. Ada perbedaan diantara kedua perahu kayu ini.

Dua Jenis Perahu Bidar

Lomba Perahu Bidar, Melestarikan Tradisi Kesultanan Palembang Darussalam
Lomba perahu bidar yang merupakan tradisi Kesultanan Palembang Darussalam digelar di Sungai Musi (Liputan6.com / Nefri Inge)

Perbedaan perahu bidar tradisional dan prestasi terletak dari panjangnya. Perahu Bidar Tradisional dikayuh sekitar 40-60 orang dan lebih besar dengan panjang 29 meter, tinggi 80 sentimeter dan lebar 1,5 meter.

"Kalau Perahu Bidar Prestasi sepanjang sekita 12,70 meter, tinggi 60 sentimeter dan lebar 1,2 meter. Perahu jenis ini dikayuh menggunakan tenaga 20 – 24 orang awak," ujarnya.

Perahu bidar dulunya sering digunakan oleh para raja dan pangeran di Kesultanan Palembang Darussalam, menuju ke berbagai lokasi di seputaran wilayah Sumsel. Tradisi Lomba perahu bidar dulunya dinamakan kenceren.

Event ini juga menjadi kegiatan rutin di masa Kolonial Belanda, saat menyambut kedatangan tamu dari Kerajaan Belanda.

"Kompetisi ini juga digelar saat HUT Kecamatan Karyajaya Palembang dan Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir (OI) Sumsel," ungkapnya.

Simak video pilihan berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya