Menyusuri Sejarah Industri Minyak Bumi di Blora

Kabupaten Blora tidak hanya terkenal sebagai penghasil kayu jati terbaik di Indonesia, akan tetapi sudah sejak lama bahkan sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaannya, Blora juga dikenal sebagai penghasil minyak bumi mentah.

oleh Ahmad Adirin diperbarui 15 Okt 2020, 10:10 WIB
Diterbitkan 13 Agu 2019, 00:00 WIB
Industri Minyak Bumi di Blora
Sejarah perminyakan tidak terlepas dari peran serta Raden Mas Adipati Arya (RMAA) Tjokronegoro III saat menjadi Bupati Blora era 1886-1912 Masehi. (Liputan6.com/Ahmad Adirin)

Liputan6.com, Blora - Kabupaten Blora merupakan kabupaten kecil di Provinsi Jawa Tengah dengan bentangan pegunungan kapur yang tandus dan keras. Secara geografis kabupaten yang dikelilingi oleh hutan jati ini berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Timur.

Kabupaten Blora tidak hanya terkenal sebagai penghasil kayu jati terbaik di Indonesia, akan tetapi sudah sejak lama bahkan sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaannya, Blora juga dikenal sebagai penghasil minyak bumi mentah.

Di kota ini, sejarah mencatat kekayaan alam berupa Minyak dan Gas bumi (Migas), bahkan tentang minyak bumi Blora tersimpan dengan baik dalam dokumen peninggalan Bupati Blora tempo dulu era kepemimpinan tahun 1886-1912, dokumen Pertamina.

Bahkan, terarsip dan terdokumentasi di Tropenmuseum, yang beralamat di Linnaeusstraat 2, 1092 CK Amsterdam, Belanda.

Begitu mendengar nama kota Cepu, Blora, pasti langsung terpikirkan ladang minyak yang menjadi sumber utama minyak bumi negara yang terus diupayakan untuk mengurangi impor.

Sejarah Industri Minyak Bumi di Kabupaten Blora

Industri Minyak Bumi di Blora
Pengeboran minyak dari Batavia ke Tjepu (ejaan lama Kecamatan Cepu). Foto-foto peninggalan RMAA. Tjokronegoro III Tentang Migas di Blora.(Liputan6.com/Ahmad Adirin)

Minyak dan Gas (Migas) Blok Cepu menyisakan sejarah mendalam untuk masyarakat Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Salah satunya terkait penemuan sumber minyak yang pada akhirnya menjamur di Kabupaten Blora dan sekitarnya seperti sekarang ini.

Sejarah perminyakan di Kabupaten Blora tidak terlepas dari peran serta Raden Mas Adipati Arya (RMAA) Tjokronegoro III Bupati Blora era 1886-1912 Masehi. Beliau menjadi tokoh pribumi yang mendorong kolonial Belanda yang bernama Adrian Stoop, pemilik perusahaan minyak belanda "De Dordtsche Petroleum Maatschappij" hingga akhirnya menemukan sumber minyak di Blora pada tahun 1887 Masehi.

Meskipun pada saat itu baru menjabat bupati selama setahun, tetapi berkat dorongan dan izinnya lah perusahaan Belanda itu bisa sukses mendapatkan sumber minyak. Ini juga dituturkan dari catatan peninggalan RMAA Tjokronegoro III, oleh salah seorang keturunannya bernama Raden Nganten (RNgt) Ratnasari.

Menurutnya, bupati yang memimpin sejak tahun 1886 hingga 1912 itu mempunyai kegemaran menulis tentang bahasan Kabupaten Blora dan mendokumentasikannya, termasuk beberapa lokasi sumber minyak bersama kolonial Belanda juga didokumentasikan dan masih terarsip dengan baik hingga saat ini. Bahkan, beberapa hasil dokumentasi tersebut juga diarsipkan oleh Belanda di Tropenmuseum.

"Beliau dulu gemar menulis dan tertib administrasi, selain itu juga rapi dalam hal pengarsipan. Termasuk juga tentang sejarah minyak bumi di Blora. Menurut beliau, arsip merupakan bagian sejarah yang tidak dapat dipisahkan sebagai panduan atas sebuah cerita kejadian masa lalu yang saat ini masih ada," ungkapnya kepada Liputan6.com, ditulis Senin, 5 Agustus 2019.

RNgt Ratnasari mengatakan, pada masa Bupati Tjokronegoro III menjadi tonggak awal sejarah keberadaan teknologi sederhana tepat guna bagi pengolahan sumur-sumur minyak di Blora.

"Salah satunya beliau juga yang awalnya mendorong Belanda melakukan pengeboran pada tahun 1894 di Desa Ledok, Kecamatan Sambong," terangnya. Tujuan utamanya, lanjut Ratnasari, masyarakat pribumi Blora agar bisa mendapatkan kemakmuran atas hasil minyak yang dimiliki.

Rekam sejarah migas di kabupaten Blora sendiri saat ini mengalami banyak perubahan dalam hal tata kelola. Ada tiga kali pergantian aturan mengenai tata kelola migas, yakni masa penjajahan kolonial Belanda yang saat itu Bupati Bloranya RMAA Tjokronegoro III, masa pascakemerdekaan (Sukarno dan Soeharto), dan masa era reformasi.

"Pengelolaan migas pertama sebelum kemerdekaan sudah ada eksplorasi dan produksi besar-besaran, ini bisa dilihat dari banyak dijumpainya sumur-sumur tua yang bahkan beberapa masih beroperasi hingga saat ini," jelas dia.

Merunut sejarah migas dipandang perlu untuk membuka tabir yang belum banyak diketahui masyarakat secara luas. Menurut Ratnasari, mengingat sejarah yang sangat panjang terkait perminyakan di Blora, maka tidak mengherankan jika Blora menjadi pusat studi perminyakan.

Ini dapat dilihat dengan adanya SMK Migas sebagai pendidikan kejuruan khusus perminyakan dan juga berdirinya PEM Akamigas.

Kedua sekolah perminyakan tersebut siswanya berasal dari berbagai daerah dari provinsi yang ada di Indonesia. Bahkan, untuk PEM Akamigas beberapa mahasiswanya adalah pegawai Pertamina dan perusahaan perminyakan swasta dari seluruh Indonesia.

Masyarakat di Blora sendiri masih menyimpan harapan terkait perminyakan Blora ke depan. Tidak hanya dari segi participating interest seperti yang selama ini diributkan oleh beberapa tokoh publik, tetapi juga impian kembali tentang eksplorasi minyak di Kabupaten Blora.

Termasuk, pengelolaan kembali sumur-sumur tua dengan teknologi yang memadai dan semakin berkembang, sehingga diharapkan dapat menambah pendapatan masyarakat dan meningkatkan income per kapita daerah.

"Jadi wajar dan jangan heran jika minyak akan selalu menjadi isu politik dari masa ke masa di Kabupaten Blora, karena ini sangat menarik" Ratnasari memungkasi.

 

Persoalan Seputar Minyak dan Gas di Kabupaten Blora

Industri Minyak Bumi di Blora
Aktivitas warga zaman sekarang di sumur tua yang terletak di Desa Ledok, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora. (Liputan6.com/Ahmad Adirin)

Baru-baru ini wacana judicial review terhadap undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah kembali disuarakan sejumlah warga yang mengatasnamakan sebagai Aliansi Masyarakat Sipil Blora (AMSB).

Akibat aturan tersebut, Seno Margo Utomo selaku ketua AMSB, mengatakan selama ini Blora tidak mendapatkan dana bagi hasil (DBH) Migas Blok Cepu masuk sekalipun masuk Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) bersama Kabupaten Bojonegoro dan Tuban, Jawa Timur.

Perhitungan DBH Migas didasarkan pada keberadaan mulut sumur produksi Migas Blok Cepu yang saat ini berproduksi puncak di atas 200 ribu barel per hari (bph) berada di wilayah Kabupaten Bojonegoro.

Adanya UU tersebut, DBH Migas hanya diberikan kepada daerah penghasil dan kabupaten dalam satu provinsi. Artinya, kabupaten lain yang jauh dari mulut sumur seperti Banyuwangi dan Jember, malah memperoleh DBH Migas Blok Cepu, karena berada dalam satu provinsi.

"Itulah yang kami nilai tidak adil bagi Blora. Meskipun Blora masuk WKP tapi tidak memperoleh sepeser pun DBH Migas dari Blok Cepu," Jelas Seno, ditulis Senin 5 Agustus 2019.

Sejauh pengamatan, ini jelas menjadi pekerjaan rumah dan permasalahan yang masih tersisa dalam perjalanan panjang perminyakan di Kabupaten Blora.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya