Liputan6.com, Purwokerto - Internet memang melampaui segalanya. Apa saja ada di dunia maya, termasuk kajian agama, meski beberapa di antaranya, terkadang sulit dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Anak-anak hingga orang tua belajar dengan medium internet. Acap kali, pengetahuan agama pun diperoleh dari internet, utamanya, media sosial. Tak aneh jika lantas muncul kelompok-kelompok kajian agama yang berawal dari komunitas dunia maya.
Rektor Institut Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, Muhammad Roqib menilai wajar jika kaum muda terpelajar mempelajari sesuatu lewat internet. Menurutnya, tak ada yang salah dengan pola pembelajaran ini.
Advertisement
Baca Juga
Masalahnya, pembelajaran lewat inertnet tidak melewati tahapan-tahapan yang lazim. Sementara, kekayaan literasi, berawal dari kemahiran baca tulis Arab. Untuk mempelajari hukum agama, mestinya seseorang melewati tahap pembelajaran yang bisa dimulai dari baca tulis.
"Kalau bagus bacaannya nanti literasinya akan semakin baik," katanya, Rabu, 28 Agustus 2019.
Roqib mengemukakan, komunitas pembelajar agama lewat internet itu kini lazim disebut sebagai muslim tanpa masjid. Internet dianggap sebagai medium yang mampu memenuhi keingintahuan kaum muda terpelajar tentang semua hal, termasuk ilmu agama.
Padahal, tak semua kajian agama bisa dipelajari lewat internet. Ada beberapa hal yang butuh bimbingan atau pedagogi dan dialog antara guru dan murid untuk memperkaya wawasan. Ruang dialog ini akan membuat pembelajar lebih arif saat menanggapi sesuatu.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Ruang Dialog Kajian Agama
Dia menilai, internet tak menyediakan ruang dialog. Ketiadaan ruang dua arah ini ditengarai menyebabkan pandangan keagamaan seseorang saklek atau kaku. Lantas, muncul lah eksklusivitas pandangan agama.
"Internet, media sosial. Itu salah satu sumber yang digunakan. Jadi secara keilmuan sulit dipertanggungjawabkan, apalagi sampai sanadnya ke Rasulullah," dia mengungkapkan.
Dia mengakui, komunitas muslim tanpa masjid ini juga berkembang di perguruan tinggi di Purwokerto. Penyebabnya bisa ditebak. Pangsa terbesar internet adalah generasi muda, terlebih generasi muda terpelajar.
Ia menengarai, pandangan agama yang eksklusif itu berpengaruh besar terhadap pandangan keagamaan dan perilaku sosial seseorang. Imbasnya, muncul potensi radikalisme.
Untuk menekan munculnya radikalisme, IAIN Purwokerto menggandeng 27 pesantren di Purwokerto dan sekitarnya. Pesantren akan memperkuat berbagai aspek keagamaan, mulai dari baca tulis Arab, Alquran, hingga pandangan-pandangan agama yang inklusif atau terbuka.
IAIN memiliki program wajib pesantren untuk mahasiswa yang pengetahuan agamanya rendah, terutama dalam aspek baca-tulis Arabnya. Mereka akan tinggal di pesantren selama satu tahun untuk memperdalam baca tulis tersebut.
Di pesantren, para mahasiswa juga akan belajar kelimuan dengan dasar-dasar yang kuat. Dengan begitu, sanad atau jalur keilmuannya bisa dipertanggungjawabkan.
Penting lagi, pesantren memiliki ruang dialog keilmuan. Keberadaan ruang dialog itu harapannya menciptakan ruang diskusi yang membuat pikiran mahasiswa semakin terbuka.
"Kita sejak awal melakukan proses akademik, pengenalan akademik yang seimbang, antara pemahaman terhadap referensi baik secara online, maupun referensi melalui perpustakaan, berupa buku-buku, atau dialog-dialog," dia menjelaskan.
Advertisement