Liputan6.com, Raja Ampat - Anyaman merupakan salah satu tradisi asli Indonesia. Banyak daerah di Indonesia yang memiliki anyaman khas masing-masing, tidak terkecuali Raja Ampat. Secara turun temurun keahlian menganyam digunakan oleh penduduk lokal Raja Ampat dalam membuat sendiri beragam peralatan rumah tangga.
Anyaman khas Raja Ampat menggunakan bahan baku utama berupa kulit kayu kasana (Trichospermum grewioides) dan daun pandan (Pandanus odoratissimus). Untuk mempercantiknya, bahan-bahan tersebut juga diberi warna menggunakan pewarna alam. Dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke Raja Ampat, anyaman menjadi salah satu potensi suvenir khas yang turut dijajakan.
Seiring dengan pasar yang trennya semakin meningkat, anyaman tradisional tersebut turut mengalami perkembangan, baik dari desain produknya maupun pada bahan baku yang digunakan. Noken-noken bergaya kasual diproduksi dengan motif-motif yang menarik untuk berbagai fungsi, salah satunya Kahene, sebagai tempat botol air minum.
Advertisement
Baca Juga
Untuk menarik pasar, perajin mengubah beberapa bahan baku alam menjadi bahan baku sintetis. Misalnya, tali dik dari akar pandan atau tali ganemo dari kulit melinjo (Gnetum gnemon) diubah menjadi tali plastik (rafia). Selain itu, penggunaan bahan pewarna alam juga diubah menjadi pewarna tekstil, sehingga warna yang dihasilkan jauh lebih mencolok atau variatif.
Dalam bidang industri tekstil dan kerajinan tangan, penggunaan pewarna tekstil merupakan bahasan yang sensitif, karena berpotensi mencemari lingkungan. Banyak ahli masih mengupayakan berbagai cara untuk meminimalisasi atau meniadakan sama sekali dampak lingkungan yang terjadi akibat penggunaan bahan tersebut.
Oleh karena itu, penggunaan bahan pewarna tekstil pada anyaman di Raja Ampat menjadi perhatian khusus, karena sebagian besar dari luas wilayahnya merupakan kawasan konservasi. Selain berpotensi mencemari lingkungan, warna-warna mencolok yang dihasilkan oleh pewarna sintetis juga membuat produk tradisional tersebut jauh dari kesan etnik. Penggunaan tali plastik juga justru menurunkan nilai estetika pada produknya.
Sejak akhir 2018 lalu, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Kabupaten Raja Ampat bersama dengan Fauna & Flora International–Indonesia Programme (FFI–IP), Darwin Initiative, dan OroVerde – Die Tropenwaldstiftung, melalui program livelihood, melakukan pendampingan pada para pengrajin anyaman. Salah satu program yang dilakukan adalah mengedukasi pengrajin anyaman tentang potensi pencemaran lingkungan dari limbah yang dihasilkan sepanjang proses pembuatan produk kerajinan tangan.
Sebagai solusi dalam menjawab keresahan pencemaran tersebut, dianjurkanlah untuk menggunakan kembali bahan baku alam. Karena selain ramah lingkungan, penggunaan kembali bahan baku alam berarti melestarikan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat Raja Ampat.
Kini tali plastik (raffia) sudah tidak digunakan lagi pada anyaman di kampung-kampung di Teluk Mayalibit. Selain itu, pengrajin di sana juga sudah menggunakan kembali pewarna alam seperti buah ringka (Bixa orellana) untuk membuat warna merah, asui (magenta plant/Peristrophe bivalvis) untuk membuat warna ungu, atau tali kuning (Arcangelisia flava) untuk menghasilkan warna kuning.
"Masyarakat cenderung melestarikan apapun yang memiliki nilai penting bagi kehidupan mereka. Penggunaan kembali bahan baku dan pewarna alam adalah langkah awal yang baik. Karena selain mengembalikan pengetahuan lokal yang masyarakat adat miliki sejak awal sehingga bisa didokumentasikan dengan baik, di sana juga ada nilai konservasi budaya dan sumber daya alam," ujar Arief Hamidi, Botanist FFI-IP, ketika menanggapi penggunaan kembali bahan baku dan pewarna alam pada produk kerajinan tangan di Teluk Mayalibit.
Arief juga menambahkan bahwa dengan begitu Raja Ampat bisa memiliki dokumentasi biodiversitas penting dan erat bagi budaya masyarakat setempat.
“Dokumentasi tersebut akan menjadi acuan untuk pengembangan potensi lainnya. Siapa tahu ada jenis-jenis yang dimanfaatkan di Raja Ampat ini, yang bisa menjadi bahan baku potensial untuk komoditas yang bagus, baik untuk makanan, obat, atau material,” lanjutnya.
Pengetahuan ini juga bisa terus diturunkan ke generasi selanjutnya, bahkan dipelajari oleh pihak lain. Sehingga pelestarian budaya anyaman Teluk Mayalibit bisa menjadi contoh untuk kawasan wisata dan masyarakat adat daerah lainnya
Mengingat penggunaan bahan baku alam berarti memperoleh langsung bahan baku dari alam, tanpa membudidaya, Arief juga menitipkan pesan agar terus mengupayakan proses pemanfaatan lestari. Yaitu perlu dicari tahu lebih lanjut mengenai pemanenan yang berkelanjutan. Sehingga ekonomi masyarakat bisa terpenuhi tanpa adanya overeksploitasi dan jenis-jenis yang dimanfaatkan tetap sustainable di alam.
Mengembalikan lingkungan sekitar desa ke kondisi ideal seperti dulu ketika masyarakat masih mudah dalam memperoleh bahan baku tanpa harus masuk jauh ke dalam hutan adalah salah satu langkah yang diharapkan.
"Jenis-jenis yang bisa dibudidayakan juga sebaiknya dibuat kebun khusus, tanpa membuka hutan, tentunya. Sehingga pengrajin dipermudah aksesnya menuju bahan baku kerajinan tangan tanpa perlu masuk jauh ke dalam hutan atau merusak hutan," ujarnya.
(Ana Septiana/peneliti, kontributor Liputan6.com)