Liputan6.com, Penajam - Beredarnya Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 22 Tahun 2019 yang mengatur pengawasan dan pengendalian transaksi jual beli tanah, membuat warga di Kabupaten Penajam Paser Utara resah.  Â
Fadliansyah, seorang warga di Kecamatan Sepaku menuturkan, terbitnya Perbup itu menimbulkan keresahan masyarakat di kawasan calon ibu kota baru itu. Keresahan itu sudah diungkapkannya saat Rapat Dengar Pendapat masyarakat dengan DPRD PPU, Selasa siang (19/11/2019) kemarin.
Baca Juga
"Kami selaku masyarakat PPU sangat menyayangkan adanya Perbup tersebut dan kami meminta kepada DPRD untuk mengkaji Perbup itu. Kami juga meminta bupati untuk mencabut Perbupnya," kata Fadliansyah.
Advertisement
Ia menegaskan, apabila bupati tidak mau mencabut dan tidak sejalan dengan masyarakat, maka pihaknya akan menurunkannya dari jabatan bupati.
"Kami harapkan DPRD bisa menggunakan hak angketnya, untuk menyelidiki apa maksud dan tujuan bupati dengan menerbitkan Perbup tersebut. Kami juga meminta kepada DPRD untuk menyelesaikan masalah ini dengan secepatnya dan memberikan waktu awal bulan Desember 2019 harus ada keputusan," tegasnya.
Sementara itu, Jamaluddin warga Kelurahan Saloloang mengatakan, keinginan bupati PPU membentuk Perbup ini apa dasarnya, sedangkan UU untuk Ibu Kota Baru saja belum ada, maka dari itu harus dibatalkan karena dianggap tidak jelas.
Adanya Perbup ini, lanjutnya, mengandung kesengsaraan bagi masyarakat PPU, maka dari itu pihaknya meminta Perbup ini dicabut secepatnya.
Â
Butuh Penjelasan Pemerintah
Ketua DPC Badan Advokasi Indonesia PPU, Handri Sutrisno meminta agar Kabag Hukum Setkab PPU, memberikan penjelasan asal-usul terbentuknya Perbup tersebut, karena dirinya sudah konsultasi kepada pakar hukum terkait dengan Perbup ini.
"Kalau landasan hukumnya tidak kuat maka jangan buat Perbup, maka dari itu kami ingin perbup ini dicabut kembali kalau tidak bisa diharapkan kepada DPRD untuk menggunakan hak angket untuk mencabut perbup itu," kata Hendrik.
Hal senada juga diungkapkan Roy Sebastian, juru bicara masyarakat. Dirinya mengatakan, melalui perbup itu pemerintah hanya menambah miskin masyarakat, di mana masyarakat dilarang jual tanah mereka sendiri.
"Perbup ini seharusnya dicabut dikarenakan menyusahkan masyarakat kecil di PPU," ujar Roy.
Menjual tanah, katanya, menjadi satu-satunya modal masyarakat untuk bersaing saat kawasan mereka menjadi Ibu Kota Negara.
Ketua Komis I DPRD PPU, HM Yusuf membeberkan, pihaknya ingin mengetahui permasalahan yang ada di masyarakat terkait dengan Perbup nomor 22 tahun 2019, dan Komisi I diwajibkan untuk menyelesaikan permasalahan terkait keresahan masyarakat. Di mana beberapa waktu lalu banyak masyarakat yang mengadukan kepada pihaknya terkait jual beli lahan yang dipersulit oleh pemerintah.
"Pada 31 Oktober 2019 lalu, kami komisi I DPRD sudah melakukan rapat kerja dengan pemerintah daerah, guna membahas terkait perbup tersebut dan kami berpihak kepada masyarakat dimana camat tidak berani mengeluarkan segel tanah milik masyarakat," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi II, H Wakidi menambahkan, munculnya perbup ini tentunya sangat meresahkan masyarakat. Di mana masyarakat sudah melakukan jual beli lahan seharusnya sudah dilakukan pembayaran namun batal dikarenakan adanya aturan Perbup nomor 22 tahun 2019 itu.
"Seharusnya untuk menerbitkan, pemerintah harus memahami terlebih dahulu apakah dengan adanya perbup ini dapat mensejahterakan masyarakat atau sebaliknya," urainya.
Kabag Hukum Setkab PPU, Andi Trisaldy dalam penjelasannya menerangkan, dari hasil rapat pada 31 Oktober 2019 kemarin, pihaknya sudah menyampaikan hasilnya kepada bupati PPU. Dan ada niat baik bupati untuk bertemu langsung dengan masyarakat guna membicarakan perbup ini dan akan menjelaskan maksud dan tujuan dibuatnya perbup tersebut.
Kabag Pemerintahan Setkab PPU, Sardi menjelaskan, Perbup ini asal muasal dari bagian pemerintahan yang membuatknya. Dimana hasilnya baru disampaikan ke bagian hukum agar dikaji ulang.
"Dalam pembuatan ini kami hanya mengetahui empat poin saja, sedangkan poin kelima adalah wewenang bapak bupati," jelasnya.
Dalam RDP tersebut pimpinan rapat menyimpulkan hasil pertemuan yakni, masyarakat meminta kepada DPRD untuk menggunakan hak interpelasi kepada bupati terkait penerbitan Perbup itu. Masyarakat meminta kepada DPRD apabila landasan hukum dalm penerbitan peraturan ini bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka harus dicabut dan pada minggu pertama bulan Desember harus ada kejelasan terkait masalah ini.
Â
Advertisement
Ditinjau Kembali
Wakil bupati PPU, Hamdam, Rabu (20/11/2019) mengungkapkan, apabila Perbup tersebut dalam pelaksanaannya justru berbeda dengan maksud dan tujuan pembuatannya tentu perlu dilakukan pengkajian ulang, bagian mana persoalan tersebut yang menimbulkan keresahan di masyarakat.
"Faktanya kemarin di tingkat masyarakat sudah mengadukan persoalan ini ke DPRD. Dan sikap masyarakat ini harus kita respons apapun yang muncul di tengah-tengah masyarakat, apalagi Perbup itu membuat gelisah masyarakat," tutur Hamdam.
Ia menilai, dampak terbit dan pemberlakuan Perbup itu menimbulkan respons negatif dari masyarakat. Menurut hematnya yang terjadi di luar dari harapan pemerintah.
"Harapan kita (Pemkab) adalah untuk memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian bagi masyarakat PPU maupun masyarakat luar yang ingin memiliki lahan di PPU, ternyata dampaknya berbeda. Jadi harus kita tinjau dan evaluasi kembali Perbup itu," tegasnya.
Namannya regulasi, jelasnya, pasti ada pro dan kontra jadi wajar terjadi, sehingga dalam pengkajian ulang mendapatkan respon positif dari masyarakat.
"Saya kira kita harus terbuka terhadap hal-hal seperti itu," pungkasnya.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini: