Liputan6.com, Palembang - Kesulitan pelaku usaha angkutan penyeberangan yang semakin kritis, akibat evaluasi dan penetapan tarif moda transportasi itu berlarut-larut hingga 1,5 tahun, dinilai lambat diatasi oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Menurut Bambang Haryo Soekartono, praktisi dan pemerhati sektor transportasi logistik, evaluasi tarif angkutan penyeberangan komersial antarprovinsi yang sangat lamban itu, tidak sesuai dengan kebijakan Presiden Joko Widodo agar aparat pemerintah melayani perizinan dengan cepat.
"Usulan evaluasi tarif sama seperti perizinan karena menyangkut pelayanan publik. Presiden Jokowi sudah memberikan batas perizinan maksimal tiga jam. Kenyataannya bertele-tele hingga 1,5 tahun," ujarnya, Kamis (5/12/2019).
Advertisement
Baca Juga
Kondisi diperparah dengan birokrasi yang panjang, karena melibatkan tiga instansi, yakni Kemenhub, Kemenko Maritim dan Investasi, serta Kementerian Hukum dan HAM.
Dia mengatakan, Kemenhub melanggar aturannya sendiri yakni Keputusan Menhub Nomor 58 Tahun 2003, tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan. Aturan itu menyatakan evaluasi tarif harus dilakukan setiap enam bulan sekali.
"Evaluasi tarif sudah 1,5 tahun tapi belum juga ditetapkan, sementara tarif belum naik dalam tiga tahun terakhir," ungkapnya.
Dia menilai, berlarut-larutnya evaluasi tarif menunjukkan Kemenhub kurang peduli terhadap kondisi angkutan penyeberangan dan perintah percepatan perizinan dari Presiden Jokowi.
Pada era orde baru saja, lanjut Bambang Haryo, birokrasi evaluasi tarif dipangkas dengan menghilangkan mekanisme melalui DPR RI. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21/1992 tentang Pelayaran.
Ketentuan ini diperkuat dengan Peraturan Presiden (PP) Nomor 82/1999 tentang Angkutan di perairan, yang menyebutkan penetapan tarif cukup melalui Menhub.
"Jadi birokrasi tarif yang panjang dan bertele-tele saat ini merupakan suatu kemunduran. Tidak sesuai dengan jargon Presiden Jokowi untuk memangkas hambatan usaha dan birokrasi," katanya.
Menurutnya, Kemenhub bukan hanya menunda penetapan tarif, melainkan juga mencicil kenaikan tarif angkutan penyeberangan selama tiga tahun ke depan.
Padahal, perhitungan tarif sudah sangat transparan, karena pendapatan dari penjualan tiket langsung diketahui oleh pemerintah melalui PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).
Pemerintah mengetahui bahwa pendapatan itu sulit untuk menutupi keselamatan dan kenyamanan pelayaran.
"Sebagai sarana (alat angkut) sekaligus prasarana publik yang supermassal, angkutan penyeberangan sangat vital karena tidak tergantikan oleh moda transportasi lain. Ini yang harus dilindungi oleh negara agar kondisi usaha kondusif, demi menjamin keberlangsungan angkutan antarpulau serta keselamatannya," ujarnya.
Anggota Komisi V DPR DRI Periode 2014-2019 sekaligus Dewan Pembina Gapasdap ini menyadari, kenaikan tarif bukan kebijakan populer bagi pemerintah. Namun keselamatan publik tidak boleh dikorbankan demi popularitas.
Dampak kenaikan tarif sebenarnya tidak signifikan terhadap harga barang yang diangkut, sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Dia menggambarkan, jika sebuah truk mengangkut 30 ton beras. Atau senilai Rp300 juta yang mana 30 ton, dengan harga beras Rp10.000 per kg diangkut melintas ke Merak-Bakauheni. Maka truk tersebut akan membayar tambahan tarif Rp 150.000 dengan asumsi dikenakan kenaikan tarif teringgi yakni 38 persen.
Dampak kenaikan tarif itu terhadap harga beras yang termasuk komoditas bawah, hanya Rp 5 per kg atau 0,05 persen. Jika yang diangkut produk bernilai tinggi, kenaikan tarifnya tentu menjadi relatif lebih rendah.
"Kenaikan itu mungkin sangat kecil bagi pemilik barang, tetapi bagi operator angkutan penyeberangan sangat besar. Artinya untuk menjaga kelangsungan usaha dan menjamin keselamatan nyawa publik," ujarnya.
Bambang Haryo mengingatkan kepada pemerintah termasuk Kemenhub, bahwa kondisi angkutan penyeberangan saat ini sangat memprihatinkan. Bahkan, banyak perusahaan yang kesulitan keuangan, kesulitan membayar gaji tepat waktu dan mencicil tagihan.
Penetapan Subsidi PSO
Ada beberapa perusahaan terpaksa dijual ke investor baru, karena tidak sanggup lagi menanggung beban. Ini akibat dari kurangnya perhatian pemerintah, yang selalu menunda-nunda kenaikan tarif.
Menurut dia, seharusnya tarif penyeberangan tidak perlu diatur pemerintah. Karena pemerintah tidak sanggup memberikan subsidi Public Service Obligation (PSO), seperti yang diberikan untuk kereta api kelas ekonomi dan komuter.
"Kenapa diskriminatif, Kereta Api (KA) diberikan PSO tetapi pelayaran tidak. Padahal, kapal penyeberangan sangat vital dan tidak bisa digantikan dengan moda lain. Sedangkan KA masih bisa diganti dengan moda darat lain, seperti bus, mobil pribadi atau sepeda motor," ungkapnya.
Jika pemerintah tidak sanggup atau tidak mau memberikan PSO kepada angkutan penyeberangan, tarifnya harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Apalagi, tarif untuk penyeberangan di lintas komersial.
Bambang Haryo mengatakan, bertele-telenya masalah tarif ini membuktikan Kemenhub tidak paham tentang pentingnya angkutan penyeberangan dan tidak peduli dengan konsep kemaritiman yang menjadi jargon Presiden Jokowi.
"Kemenhub lebih memperhatikan transportasi darat daripada kemaritiman. Ini sangat disesalkan, padahal nyatanya tol laut itu adalah penyeberangan, bukan seperti kapal tol laut yang sekarang tidak menentu jadwalnya," katanya.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement