Menilik Benang Merah Kasus Korupsi Lahan Negara yang Menjerat Jentang

Meski telah menguras waktu panjang penyidikan, kasus dugaan tindak pidana korupsi penyewaan lahan negara di kawasan Makassar New Port tak kunjung rampung. Ada Apa?

oleh Eka Hakim diperbarui 19 Jan 2020, 23:00 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2020, 23:00 WIB
Tim Kejagung menyerahkan buronan dugaan korupsi penyewaan lahan negara, Soedirjo Aliman alias Jentang ke Kejati Sulsel (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Tim Kejagung menyerahkan buronan dugaan korupsi penyewaan lahan negara, Soedirjo Aliman alias Jentang ke Kejati Sulsel (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar Proses penyidikan perkara dugaan korupsi penerimaan uang sewa terhadap lahan negara di Kawasan Buloa tepatnya lokasi pembangunan proyek nasional Makassar New Port yang telah menetapkan Soedirjo Aliman alias Jentang sebagai tersangka belum juga rampung.

"Penyidik dan Penuntut Umum masih bekerja untuk sikap selanjutnya," singkat Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Idil via telepon.

Alih-alih rampung, tersangka yang dikenal masyarakat Sulsel sebagai seorang pengusaha ternama yang kerap terlibat sejumlah perkara sengketa lahan di Makassar itu bahkan dikabarkan mendapatkan perlakuan istimewa.

Ia yang sempat berstatus buron atau masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) selama dua tahun lebih itu, diam-diam diberikan penangguhan penahanan dan hanya menjalani masa penahanan sebagai tahanan titipan di sel Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas 1A Makassar selama dua bulan.

"Yang bersangkutan usianya 80an dan sedang sakit," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Firdaus Dewilmar di Kantor Kejati Sulsel, Selasa 17 Desember 2019.

Selain itu, pertimbangan lainnya, kata Firdaus, adanya putusan bebas Mahkamah Agung (MA) terhadap tiga terdakwa dalam kasus yang sama serta adanya putusan perdata terkait status lahan yang memenangkan Jentang.

"Satu lagi, saat ini kan kita sedang mengejar adanya kerugian negara senilai Rp500 juta. Tapi ternyata ada aset berupa lahan negara yang dikuasai oleh Jentang diduga secara ilegal dan nilainya itu Rp800 miliar. Yang mana bagusnya kita kejar?," terang Firdaus.

Ia mengatakan penangguhan penahanan diberikan karena pihaknya melihat Jentang memiliki Itikad baik untuk duduk bersama membahas masalah aset yang dikuasainya.

"Jadi kita harus melihat dengan cermat, kasus yang menjerat Jentang nilainya cuma Rp500 juta, tetapi ada aset lahan yang lebih besar yang nilainya mencapai Rp800 miliar yang harus diselamatkan," ujar Firdaus usai menghadiri pertemuan dengan Pimpinan DPRD Sulsel.

Dalam duduk bersama membahas masalah aset yang nilainya begitu besar tersebut, kata dia, turut dihadiri pihak Kementerian Perhubungan, BUMN, Pelindo, Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar.

Prinsip Kejaksaan dalam hal ini, kata Firdaus, akan berupaya menyelamatkan aset milik pemerintah dengan tetap mempertimbangkan kehadiran Jentang di wilayah tersebut sejak tahun 2000an.

"Sehingga kita harus menghargai itikad baiknya. Tapi pemerintah juga tidak bisa dipermalukan," jelas Firdaus.

Ia mengatakan, kasus penyelamatan aset yang ada di wilayah Makassar New Port menjadi salah satu rekomendasi tim Koorsupgah KPK yang lebih fokus pada penyelamatan aset.

"Untuk kasus korupsi lahan negara yang jerat Jentang dan nilainya Rp500 juta itu, saya janji kasih kepastian hukum. Apakah kasusnya dihentikan atau dilanjutkan. Pertimbangannya tadi saya sudah jelaskan," terang Firdaus.

Pegiat Anti Korupsi Beberkan Sejumlah Fakta

Anti Corruption Committe Sulawesi (ACC Sulawsi) beberkan sejumlah fakta kasus korupsi lahan negara yang jerat Jentang (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Anti Corruption Committe Sulawesi (ACC Sulawsi) beberkan sejumlah fakta kasus korupsi lahan negara yang jerat Jentang (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Keputusan Kejati memberikan penangguhan penahanan terhadap Jentang mendapat sorotan kalangan pegiat anti korupsi dan akademisi.

Lembaga binaan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bernama Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) diantaranya dengan tegas menyayangkan sikap Kejati tersebut.

Melalui Direkturnya, Kadir Wokanubun, lembaga ACC Sulawesi menjelaskan bahwa dalam kasus dugaan korupsi yang menjerat Jentang telah dikuatkan oleh perhitungan kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan keterangan para saksi serta dukungan putusan praperadilan yang telah menetapkan bahwa status tersangka Jentang sah demi hukum dan meminta Kejati selaku termohon praperadilan untuk melanjutkan kembali proses penyidikan dan segera melimpahkan perkaranya ke Pengadilan Tipikor setelah dinyatakan lengkap atau rampung (P.21).

"Unsur dugaan perbuatan pidana korupsinya terpenuhi tapi kok sulit amat rampung dan dilimpah ke persidangan bahkan mendapatkan perlakuan istimewa," terang Kadir.

Masyarakat menurut Kadir, justru mempertanyakan komitmen Kejati dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan melihat penanganan kasus Jentang yang terkesan digantung bahkan dicarikan celah pembenaran agar kasus dugaan korupsi yang menjeratnya tak segera dilimpah ke persidangan tipikor meski diketahui penanganan telah berlarut-larut.

Yang memiriskan lanjut Kadir, adanya pemberian penangguhan penahanan terhadap Jentang yang nota bene pernah berstatus DPO.

"Kejati telah mempertontonkan tindakan hukum yang tak dapat diterima nalar dan jelas telah mencederai supremasi penegakan hukum utamanya dalam pemberantasan korupsi," tegas Kadir.

Jentang yang baru saja tertangkap oleh tim Tabur Intelijen Kejagung setelah buron selama dua tahun lebih, belakangan diberi penangguhan penahanan dan hingga saat ini ia dikabarkan bersantai ria di Jakarta tanpa ada beban.

"Ini baru dalam sejarah penanganan kasus korupsi yang tersangkanya diberi penangguhan penahanan meski sebelumnya telah berstatus DPO. Hanya Jentang yang diberi keistimewaan begini," ujar Kadir.

Ia mengaku sangat kecewa dengan sikap Kejati yang dinilainya tidak komitmen dengan pemberantasan korupsi lantaran hingga saat ini tak mampu memberikan kepastian hukum kasus Jentang yang telah didukung oleh sejumlah alat bukti.

"Soal Jentang ingin menyerahkan lahan yang ditaksir senilai Rp800 miliar yang dikuasainya sejak lama dimana lahan itu terletak di Kawasan Buloa, itu tidak etis jadi alasan untuk menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi yang menjeratnya. Perkara tipikor tak bisa dibarter-barter begitu. Ini sama halnya telah menjatuhkan wibawa supremasi penegakan hukum dengan nyata," ungkap Kadir.

Ia sangat berharap agar KPK tidak tidur melihat fenomena penanganan kasus Jentang oleh Kejati yang hingga saat ini tak ada kepastian hukumnya.

"Koruptur di negeri kita ini sudah terang-terangan mempertontonkan kehebatannya. Yah salah satunya si Jentang ini. KPK harusnya terusik dengan fenomena penanganan kasus Jentang ini," tutur Kadir.

Azas Perlakuan Sama Dihadapan Hukum

Akademisi UKI Paulus Makassar, Jermias Rarsina mengingatkan Kejati terkait keberadaan azas perlakuan sama dihadapan hukum (equality before the law) terhadap Jentang (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Akademisi UKI Paulus Makassar, Jermias Rarsina mengingatkan Kejati terkait keberadaan azas perlakuan sama dihadapan hukum (equality before the law) terhadap Jentang (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Kritikan yang sama juga muncul dari kalangan akademisi. Jermias Rarsina misalnya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Paulus Makassar itu mengatakan segala pertimbangan yang dijadikan dasar dalam pemberian penangguhan penahanan terhadap Jentang menurutnya sangat keliru.

"Status DPO yang pernah melekat pada Jentang harusnya menjadi pertimbangan mendalam oleh Kejati," ucap Jermias ditemui di sebuah warkop di bilangan Jalan Urip Sumoharjo Makassar, Sabtu (19/1/2020).

Tak hanya itu, dalam kasus yang menjerat pengusaha ternama Sulsel itu, Kejati juga semestinya menerapkan prinsip perlakuan sama dihadapan hukum (equality before the law).

"Persamaan dihadapan hukum adalah asas di mana setiap orang tunduk pada hukum peradilan (proses hukum) yang sama," jelas Jermias.

Dalam perkara dugaan korupsi yang menjerat Jentang, kata dia, sebelumnya juga telah menyeret tiga orang rekannya duduk ke meja hijau dan sempat ditahan di tahap penyidikan hingga penuntutan.

Meski ketiganya masing-masing mantan Asisten 1 Pemkot Makassar, M. Sabri dan kedua karyawan Jentang, Rusdin dan Jayanti telah divonis bebas di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) dan putusannya dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap (incratch).

"Nah, Jentang juga harus mendapat perlakuan hukum yang sama seperti ketiga rekannya itu. Mengenai terbukti atau tidak perbuatan korupsi nanti, itu harus diuji dalam persidangan. Jadi tak boleh ada perlakuan istimewa. Semua orang sama dihadapan hukum," terang Jermias.

Berbicara tentang azas perlakuan sama dihadapan hukum, lanjut Jermias, telah diatur dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1). Dimana pada pasal 27 ayat (1) itu menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.

"Penggambarannya jelas bahwa ada perlakuan yang seharusnya sama, baik bagi setiap orang maupun bagi setiap warga negara," ucap Jermias.

Masyarakat, kata dia, tentunya akan menilai negatif kinerja Kejati ketika tidak menerapkan prinsip perlakuan yang sama dihadapan hukum kepada Jentang yang telah berstatus tersangka dugaan korupsi dan pernah menyandang status DPO.

"Saya kira Kejati semestinya memberlakukan azas perlakuan sama dihadapan hukum (equality before the law) tersebut terhadap Jentang," tutur Jermias.

Perjalanan Panjang Kasus Korupsi Lahan Negara yang Seret Jentang

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Firdaus Dewilmar (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Firdaus Dewilmar (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Tim Intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil menangkap Seodirjo Aliman alias Jentang dalam persembunyiannya di sebuah hotel di daerah Senayan, Jakarta, Kamis 17 Oktober 2019.

Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kejati Sulawesi Selatan Nomor: PRINT-509/R.4/Fd.1/11/2018. Dimana dari hasil perbuatannya itu, negara ditaksir telah merugi sebesar Rp500 juta.

Mukri yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung mengatakan Jentang memilih buron hampir 2 tahun setelah ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kota Makassar

"Jadi yang bersangkutan menghilang sejak ditetapkan sebagai tersangka tepatnya pada 1 Nopember 2017 oleh Kejati Sulsel," kata Mukri dalam keterangan rilisnya.

Ia mengatakan Jentang merupakan buronan ke 345 yang terdaftar pada program tabur 31.1 Kejagung. Dimana terhitung sejak program tersebut diluncurkan resmi oleh Kejaksaan pada tahun 2018 lalu.

"Dari total buronan yang berhasil tertangkap dalam program tabur 31.1, Jentang merupakan buronan ke 138 yang berhasil tertangkap di tahun 2019 ini," tutur Mukri.

Usai menangkap Jentang, Tim Intelijen Kejagung langsung menyerahkannya ke pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) guna menjalani proses hukum lebih lanjut.

"Tersangka langsung diterbangkan menuju Makassar untuk menjalani proses hukum selanjutnya," Mukri menandaskan.

Jentang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerimaan uang penyewaan lahan negara disertai dengan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Perannya terungkap sebagai aktor utama dibalik terjadinya kerugian negara dalam pelaksanaan kegiatan penyewaan lahan negara tepatnya yang berlokasi di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar atau kawasan proyek nasional Makassar New Port.

Berdasarkan itulah penyidik akhirnya menetapkan ia sebagai tersangka dugaan korupsi disertai tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang juga telah dikuatkan oleh beberapa bukti.

Diantaranya bukti yang didapatkan dari hasil pengembangan fakta persidangan atas tiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan buloa yang sebelumnya sedang berproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Ketiga terdakwa masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti.

Selain itu, bukti lainnya yakni hasil penelusuran tim penyidik dengan Pusat Pelatihan dan Aliran Transaksi Keuangan (PPATK). Dimana dana sewa lahan diambil oleh Jentang melalui keterlibatan pihak lain terlebih dahulu.

Jentang diduga turut serta bersama dengan terdakwa Sabri, Rusdin dan Jayanti secara tanpa hak menguasai tanah negara seolah-olah miliknya sehingga PT. Pembangunan Perumahan (PP) Persero selaku Pelaksana Proyek Makassar New Port terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500 Juta untuk biaya penyewaan tanah.

"Nah dana tersebut diduga diterima oleh tersangka melalui rekening pihak ketiga untuk menyamarkan asal usulnya," kata Jan S Maringka yang menjabat sebagai Kepala Kejati Sulsel saat itu dalam konferensi persnya di Kantor Kejati Sulsel, Rabu 1 November 2017 lalu.

Menurutnya, penetapan Jentang sebagai tersangka juga merupakan tindak lanjut dari langkah Kejati Sulsel dalam mengungkap secara tuntas dugaan penyimpangan lain di seputar lokasi proyek pembangunan Makassar New Port untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional tersebut.

"Kejati Sulsel akan segera melakukan langkah-langkah pengamanan aset untuk mencegah terjadinya kerugian negara yang lebih besar dari upaya klaim-klaim sepihak atas tanah negara di wilayah tersebut," tegas Jan.

Atas penetapan tersangka dalam penyidikan jilid dua kasus lahan negara ini, Kejati Sulsel pun langsung mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka koordinasi penegakan hukum.

"Tersangka dijerat dengan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)," Jan menandaskan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya