Mengenal Wayang Kulit 'Sampakan', Menonton Tanpa Lelah

Sebagai generasi milenial, Ki Sindhu Gesit sukses menyuguhkan pementasan wayang kulit sesuai selera generasinya.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 05 Sep 2020, 12:30 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2020, 12:30 WIB
sindhu
Panggung teater dan pakeliran wayang kulit yang tak saling mendominasi dalam lakon Sang Panggung, karya terobosan Ki Sindhu. (foto: Liputan6.com/dok.Agus Budi S/Edhie Prayitno Ige)

Liputan6.com, Semarang - Jika ingin melihat kompleksitas seni pertunjukkan tradisional tontonlah wayang kulit. Namun jika ingin melihat kompleksitas seni pertunjukkan modern, tonton pula wayang kulit.

Pakeliran wayang kulit memang memiliki DNA yang bersifat lintas disiplin. Ada seni rupa melalui wayang kulitnya, ada teater monolog yang dimainkan dalangnya. Kerumitan seni musik melalui karawitannya, bahkan animasi melalui bayangan wayang yang bisa dilihat dari belakang layar. Atau komedi lewat scene adegan Limbukan, Gara-Gara dan di sekujur pementasan.

Dalang muda milenial Ki Sindhunata Gesit Widiharto kini menambah kompleksitas pementasan. Ia meramu pentas wayang kulit dengan model pakeliran sampakan. Sebuah konsep pertunjukkan yang menggabungkan wayang kulit dengan pentas teater bergaya Sampakan semacam Teater Gandrik, atau Teater Koma.

Bermodal naskah "Nyi Panggung" yang digubah sastrawan Eko Tunas, Ki Sindhu sukses menggabungkan realita pertunjukkan. Termasuk kehidupan di belakang panggung ketoprak tobong.

Dalang milenial Ki Sindhu Gesit Widiyanto seperti anak milenial lain, doyan es krim. (foto: Liputan6.com/dok.pribadi/edhie prayitno ige)

Menurut Eko Tunas, lakon Sang Panggung memang banyak menyoroti kehidupan belakang layar para pemain ketoprak tradisional.

“Dalam pentas Ki Sindu, dunia pakeliran dibedah ke dunia panggung ketoprak. Ditiupkan darah dan daging dalam kehidupan orang-orang panggung kesenian yang tersisih dari struktur dan system,” kata Eko Tunas.

Ditambahkan, kehidupan seni tradisional ibarat lampu minyak yang terus meredup nyaris mati. Inilah dunia ulang-alik yang mau direpresentasikan seorang dalang yang juga seorang aktor Teater Lingkar dari generasi termuda.

Ki Sindhu menjelaskan bahwa inovasi pentas wayang kulit yang dilakukannya memang masih baru. Belum pernah ada penggabungan kolaboratif yang saling mendukung dan berbagi peran antara wayang kulit dan teater tanpa saling mendominasi.

“Ini sebenarnya tugas akhir dalam ujian pendadaran S2 di Institut Seni Indonesia, Surakarta,” katanya.

 

 

Simak video berikut ini

Seimbang itu Tak Melelahkan

sindhu
Pembuka Sang Panggung adalah wayang kulit sebagai pakem dan sentral, tetap berpedoman pada hukum pakeliran tradisional. (foto: Liputan6.com/dok.Agus Budi S/edhie prayitno ige)

Pentas diawali dengan jejer wayang sebagai ritual wajib pementasan wayang kulit. Membabarkan simbol Guruloka, Giriloka, Janaloka. Guruloka adalah dunia pakeliran, Giriloka adalah panggung ketoprak, dan Janaloka adalah kehidupan orang-orang panggung yang mesti bedol barak untuk transmigrasi.

Eko Tunas mengapresiasi dengan sangat apik. Ia melihat semua ‘loka’ itu dikupas dengan jiwa wayang kulit, ketoprak, dan teater. Eksplorasi penyutradaraannya juga ekstra lintas batas.

“Ini seperti film panjang yang variatif dan kompleks atas konflik watak-watak yang digambarkan dari tiga dunia itu,” kata Eko Tunas.

Ditambahkan, Ki Sindhu seakan tidak memberi peluang, mana yang lebih kuat dari tiga dunia itu. Masing-masing diberi porsi sama kuat, bahkan menyatu dalam komposisi pertunjukan yang disutradarainya. Ki Sindhu juga ikut bermain sebagai tokoh Denmas Eko.

“Karakter yang saya pikir terlalu berat bagi anak muda seusianya,” kata Eko Tunas.

Kejutan dimulai ketika tengah mendalang, Ki Sindhu tiba-tiba bangkit. Ia langsung bergabung dengan panggung di sebelahnya dan langsung berperan sebagai tokoh Bos Ketoprak. Ia berinteraksi dengan kalangan orang-orang panggung di warung Yu. Maka terjalinlah dialog percintaan yang menyatu dengan nasib kesenian ketoprak.

Sastrawan, budayawan, monologer Eko Tunas. (foto: Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Ki Sindhu sangat detail menggarap pertunjukkan. Setting artistik yang tertuang dalam dua panggung sejajar berdampingan, konsep pedalangan yang konvensional, eksplorasi ilustrasi musik secara langsung, bahkan dalam penggarapan. Dari mulai artistik, pedhalangannya, eksplorasi musik hidup, tari, hingga semua pemain dengan setiap watak dalam lakon.

Bloking aktor dan penggarapan watak peran sangat diperhatikan. Keinginan Sindhu sukses diterjemahkan para aktor Teater Lingkar seperti Prih Raharjo, Roso Sejati, Anto Galon, Wiwiek, Teguh Satriya, Yayak, Yu, Ning, Juju, dan lain-lain. Pun dengan para penari yang begitu menjiwai peran.

“Di mata saya, lakon tiga dunia ini menjadi hidup, terasa berdarah-daging di panggung pertunjukan berdurasi 2 jam video,” kata Eko Tunas.

Atas karyanya ini, Ki Sindu dinyatakan lulus S2 di ISI Surakarta dengan predikat Cum Laude. Yang jelas Ki Sindhu mengaku akan terus bereksplorasi menyesuaikan zaman agar wayang kulit tak bernasib sama seperti ketoprak tobong.

“Saya kira akan menarik jika pertunjukkan yang selain padat kalau dilihat dari kacamata pentas wayang kulit dengan ritme tempo cepat, dan manggung di hadapan penonton yang beragam,” katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya