Liputan6.com, Jambi - Deretan pohon gaharu dengan tinggi beragam itu tumbuh berdampingan dengan pohon sawit di pekarangan belakang rumah Ahmad Supardi (63) di Desa Olak Kemang, Kecamatan Muara Tabir, Tebo, Jambi.
Baru berjalan beberapa langkah, Pak De Pardi--begitu Ahmad Supardi (63) sering disapa, lalu berhenti di antara batang gaharu dan sawit. Dia juga memamerkan keistimewaan pohon gaharu yang ia tanam dengan metode tumpang sari itu.
Advertisement
Baca Juga
Gaharu yang sering disebut dengan tanaman "dewa" itu adalah pohon yang bandel dan istimewa. Meski kulit kayunya telah dikocek, batang gaharu masih bisa tumbuh. Bahkan tumbuh tunas dari batang.
Pohon gaharu di belakang rumah Supardi, tumbuh tinggi mencapai tiga meter menandingi pohon sawit. Sehingga untuk menggapai daunya ia membutuhkan bantuan tangga.
"Kita ke sana cari pohon yang rendah supaya metik daunnya gampang," kata Supardi, petani gaharu di Tebo, Jambi, ketika mengajak Liputan6.com memetik pucuk daun gaharu akhir Agustus lalu.
Bersama istrinya, setiap pagi sudah menjadi rutinitasnya memetik pucuk daun gaharu. Meski usianya tak lagi muda ia sudah sangat peka membedakan mana pucuk daun yang layak dipetik.
Daun gaharu yang akan diproduksi menjadi teh harus betul-betul yang sesuai standar, yakni dengan warna hijau muda. Daun-daun muda gaharu yang telah dipetik itu dimasukan ke dalam tas keranjang.
Pucuk daun gaharu yang telah dipetik itu kemudian diolah. Ada beberapa proses yang harus dilalui untuk menjadikan minuman herbal dari daun tanaman yang bernama ilmiah Aquilaria malaccensis itu.
Yang pertama daun-daun yang telah dipetik harus dirajang. Setelah proses perajangan selanjutnya penjemuran. Tahap penjemuran ini adalah yang paling penting. Menurut Supardi, penjemuran daun teh gaharu membutuhkan waktu 3 hari, tidak boleh terkena matahari langsung.
Setelah proses penjemuran rampung, kemudian rajangan daun gaharu yang kering itu memasuki proses pengosengan atau sangrai. "Semua proses pengolahannya masih dilakukan secara manual," ujar Supardi.
Proses yang terakhir adalah pengemasan dengan komposisi 100 persen daun gaharu. Supardi mengatakan, dalam satu kilogram daun gaharu basah, setelah diolah, teh menjadi 240 gram.
Pengolahan teh gaharu milik Supardi ini bisa dikatakan satu-satunya di Provinsi Jambi. Dia telah memulai mengolah daun gaharu menjadi teh sejak 2015. Hingga akhirnya saat ini telah berkembang menjadi industri rumahan.
Menyela obrolannya tentang pengolahan gaharu, Supardi berkelakar. Ia mengatakan mula mengembangkan teh daun gaharu tersebut cukup mengeluarkan modal 4M. Modal tersebut kata dia, bukan dalam bentuk rupiah.
"Melainkan 4M ini adalah otodidak, yakni melihat, mengamati, meneliti, dan menciptakan," ucap Supardi dengan logat Jawa yang kemudian diiringi kekehan tawanya.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Khasiat Teh Gaharu
Aroma wangi khas teh daun gaharu menyeruak ketika Supardi menyajikan minuman herbal teh gaharu di dalam teko. Aromanya tentu berbeda dengan teh pada umumnya.
Saat ini, teh gaharu yang dikembangkan dari industri rumahan milik Supardi itu baru sebatas dengan cara penyajian teh rebus. Teh daun gaharu telebih dulu direbus bersama air mendidih yang kemudian disaring dan disajikan ke dalam teko atau gelas.
"Untuk saat ini penyajiannya baru bisa direbus, sekarang bersama Walhi Jambi sedang mengembangkan supaya teh gaharu ini bisa menjadi teh celup," kata Supardi.
Teh gaharu yang diolah dari industri rumahan milik Supardi, telah banyak diminati. Bahkan, pembeli ada yang datang dari luar daerah Tebo seperti dari Bungo dan Kota Jambi. Satu kemasan teh gaharu 12 gram dijual dengan harga Rp10.000.
Menurut Supardi, teh herbal daun gaharu diniilai mempunyai beragam khasiat dan manfaat. Selain memiliki khasiat sebagai aroma terapi, teh daun gaharu juga punya khasiat detoksifikasi tubuh serta untuk meredakan stres atau ketegangan.
Saat ini, Supardi masih berupaya mendaftarkan izin produknya ke pemerintah, termasuk juga perizinan PIRT dan seritifikasi halal dari LPPOM. Ia dibantu pendampingan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, baik itu dalam pengemasan hingga mengakses perizinan.
Ke depan, ia yakin, dengan produk olahan teh gaharu tersebut bisa mengangkat potensi Desa Olak Kemang. Sehingga keberadaan desanya bisa dilirik dan dikenal sebagai sentra produk teh gaharu. Saat ini, ratusan pak teh gaharu telah terjual.
Selain itu, teh gaharu tersebut, kata dia, juga menjadi sumber alternatif ekonomi masyarakat desa. Potensi gaharu di Desa Olak Kemang, kata Supardi, sangat banyak. Mayoritas setiap rumah tangga di desanya menanam gaharu dengan sistem sela tumpang sari dengan sawit dan pohon karet.
"Di Desa Olak Kemang ini ada sekitar 10 ribu batang gaharu," ujar Supardi.
Â
Advertisement
Potensi Ekonomi dari Gaharu
Pengolahan teh gaharu di Kabupaten Tebo, Jambi, menjadi bagian dari Wilayah Kelola Rakyat (WKR) tata konsumsi dan tata produksi yang mendapat pendampingan dari Walhi Jambi.
Dalam program pendampingan tersebut, M Rizky Alfian dari Divisi Penguatan Jaringan dan IT Walhi Jambi mengatakan, program WKR tersebut menjadi salah satu cara untuk mendorong agar produk ramah lingkungan menjadi potensi dan alternatif ekonomi.
"Walhi sedang mendorong agar produk ini bisa lebih diterima di pasar, salah satunya membantu Pak Supardi dan warga lainnya untuk mengemas produk teh gaharu ini sesuai dengan selera pasar," katanya.
Di desa tersebut, Walhi juga mendampingi Kelompok Wanita Tani (KWT) Srikandi Jaya untuk mencari alternatif ekonomi baru bagi kelompok perempuan. KWT yang kini beranggotakan 30 orang perempuan itu saat ini tengah mengembangkan produk pertanian.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Gaharu Indonesia (Asgarin) Jambi Abdul Khodir mengatakan, gaharu sangat potensial untuk dikembangkan. Semua bagian dari pohon gaharu bisa dimanfaatkan, mulai dari resin atau gubalnya, gaharu memiliki khasiat dan manfaat masing-masing.
Misalnya untuk kayu gaharu (eaglewood) banyak digunakan menjadi wewangian dalam peribadatan. Kayu gaharu memiliki karakteristik bau yang khas.
"Semua bagian gaharu dapat dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomis. Masih sangat potensial," kata Abdul Khodir.
Namun, potensi gaharu di Jambi, menurut Abdul Khodir, belum diterjemahkan pemerintah. Gaharu masih dianggap sebelah mata, padahal gaharu jika terkelola dengan baik bisa memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Dia mengatakan, saat ini sekitar 50 persen perdagangan gaharu masih menggunakan jalur pasar ekspor ilegal. Gaharu dalam berbagai bentuk potongan selanjutnya di bawa ke penampung besar di Jakarta, yang kemudian diekspor ke banyak negara.
Kondisi tersebut seharusnya mendapat perhatian pemerintah karena peluang terhadap gaharu masih terbuka lebar. Gaharu mempunyai manfaat yang tinggi, batangnya juga bisa diolah menjadi kerajinan tangan.
"Dan juga di Jambi sudah ada yang mengolah menjadi teh daun gaharu, peluang ini seharusnya diterjemahkan pemerintah, misalnya dengan akses permodalan, perizinan, dan pemasaran bisa diitervensi," ujar Abdul Khodir.