Liputan6.com, Bangkalan - Kabupaten Bangkalan di Jawa Timur disarankan memoles wisata religi sebagai city branding. Demikianlah kesimpulan akhir penelitian oleh Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Unitomo yang dibukukan dengan judul "Memoles Destinasi Wisata, Menangun Citra Kota".
Baca Juga
Advertisement
Terlepas dari sejumlah kesalahan teknis dalam buku ini, seperti kekeliruan pemuatan foto sapi sonok sebagai budaya Bangkalan padahal bukan, buku ini menarik karena penerbitannya bersamaan dengan viralnya sejumlah wisata alam di Bangkalan pada masa pandemi.
Seperti Pantai Biru dan Pantai Talango, keduanya terletak di Kecamatan Tanjungbumi. Atau kafe apung 'Kutai' di pesisir Kecamatan Labang.
Rabu (18/11/2020) lalu, tiga orang dosen Fikom Unitomo, yaitu Farida, Zulaikha, dan R Hartopo Eka Putra, yang mengerjakan penelitian ini selama tiga tahun sejak 2018, membedah bukunya dalam satu forum diskusi kecil di Hotel Yello Surabaya.
Pesertanya antara lain akademisi dari Universitas Trunojoyo Madura, jurnalis, dan pegawai Bappeda dan Dinas Pariwisata Bangkalan, juga Adi Wicaksono, staf ahli platform kebudayaan Indonesiana 2020, Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Adi Wicaksono mengisyaratkan setuju dengan hasil penelitian ini, dengan mengungkapkan sebuah data bahwa 61 persen pariwisata di Indonesia berbasis kebudayaan.
Daya tahan wisata budaya di masa depan juga diperkuat hasil survei Kementerian Pariwisata bahwa 60 persen wisatawan menyenangi wisata berbasis budaya baik wisata sejarah atau wisata religi
"Wisata berbasis budaya lebih mudah dikembangkan dan lebih berdaya tahan karena basisnya adat istiadat," kata Adi.
Simak Video Pilihan Berikut:
Kondisi Wisata Religi Bangkalan
Tiga peneliti yang semuanya dosen di Unitomo in sempat mengunjungi Pasarean Syaikhona Kholil di Desa Martajesah saat Pandemi. Yang mereka saksikan di sana menguatkan pendapat Adi Wicaksono bahwa wisata religi memang memiliki daya tahan saat situasi sulit.
Farida, salah satu peneliti, menuturkan kunjungannya pada Juli atau tiga bulan setelah pandemi covid-19 masuk Indonesia itu, terlihat bahwa makam ulama yang juga guru pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari itu tetap ramai didatangi peziarah, walau tak seramai sebelum pandemi.
"Sayangnya, protokol kesehatan tak diterapkan secara ketat. banyak peziarah atau pedagang di sana tak memakai masker, juga tak ada fasilitas cuci tangan," tutur Farida.
Selain Pasarean Mbah Kholil, Bangkalan memiliki wisata religi lain yaitu Pasarean Aer Mata di Kecamatan Arosbaya. Pasarean Potre Koneng di Gunung Geger dan Pasarean Bujuk Cendana di Kwanyar.
Zulaikha, peneliti lain menyimpulkan, selain Pasarean Mbah Kholil, wisata religi lain masih minim fasilitas toilet umum. Di Wisata Gunung Geger bahkan tak tersedia toilet, padahal untuk mencapai lokasinya, peziarah harus menaiki ratusan anak tangga.
Maka, meski wisata religi di Bangkalan bisa dijadikan City Branding, penelitian ini menyimpulkan kondisinya "masih jauh panggang dari api" untuk sampai ke tahap itu.
Sebab, selain pembenahan manajemen, City Branding wajib didahului kajian ilmiah oleh tim ahli. Sementara manajemen yang baik tak hanya meningkatkan pendapatan asli daerah, tapi juga bisa meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar lewat penjualan kerajinan dan kuliner khas.
Advertisement
Dampak Pandemi
Kepala Dinas Pariwisata Bangkalan, Mohammad Hasan Faisol, mengamini hasil penelitian itu. Dia bersepakat bahwa di masa depan wisata religi memang harus jadi ikon kabupaten yang terletak di barat pulau Madura ini.
Mantan Camat Kamal ini pun tak menampik soal fasilitas seperti toilet umum yang belum purna.
Walau sebenarnya, kata dia, dirinya bersama kelompok masyarakat sadar wisata (pokdarwis) telah merancang agenda perbaikan lokasi wisata, tetapi harus terhenti karena anggaran di dinas pariwisata habis terdampak refocusing untuk penangan wabah covid-19.
"Anggaran kami habis, hanya tersisa untuk kegiatan rutin saja. Untuk tahun 2021, kami akan gandeng dinas lain untuk membenahi dan melengkapi fasilitasnya," kata dia, Minggu (22/11/2020).
Meski sepakat dengan rekomendasi para peneliti, Faisol sendiri meinginkan wisata religi dan wisata alam juga dunia kuliner tetap seiring sejalan menjadi paket komplit, karena tiap kecamatan mempunyai potensi yang berbeda-beda.
"Semua harus jalan. Saling menopang satu sama lain, sehingga perekonomian sama-sama menggeliat," ujar dia.