Warna Sunda Wiwitan Cigugur pada Sulaman Keberagaman

Potret keberagaman di kawasan Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat tersimpan dalam sebuah ingatan warga Sunda Wiwitan

oleh Panji Prayitno diperbarui 27 Nov 2020, 07:00 WIB
Diterbitkan 27 Nov 2020, 07:00 WIB
Warna Sunda Wiwitan Cigugur Pada Sulaman Keberagaman
Seren Taun salah satu upacara adat masyarakat akur sunda wiwitan cigugur yang masih lestari. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Kuningan - Setelah agamanya jadi barang terlarang, Abah Bojana (81) tidak kehilangan tuhan. Sejak tidak boleh memeluk Agama Djawa Sunda (ADS), abah memeluk Katolik. Di institusi barunya ini, dia masih terus menjalankan nilai tuntunan agama lamanya.

Abah Bojana mulai memeluk Katolik sejak pemerintah secara resmi membubarkan ADS. Keputusan memeluk Katolik juga mendapat restu dari orangtua abah sesuai ajaran Sunda Wiwitan Cigugur.

"Pemerintah turun ke desa-desa memberitahu dan meminta warga untuk memeluk agama yang diakui pemerintah. Akhirnya saya memeluk Katolik tapi tidak menghilangkan jati diri saya sebagai Sunda Wiwitan," ujar dia, Selasa (24/11/2020).

Tubuhnya yang sudah menua tak menyurutkan semangat Abah Bojana memelihara keharmonisan dalam lingkungan sekitar masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan Jawa Barat.

Girang Pangaping Adat masyarakat AKUR Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan, Okky Satrio Djati menjelaskan, ADS adalah sejenis kategorisasi agama yang disematkan oleh Belanda.

ADS atau agama Sunda Wiwitan diajarkan oleh sesepuh Sunda Wiwitan Cigugur Pangeran Sadewa Madrais Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat atau lebih dikenal Pangeran Madrais.

Saat itu, sekitar tahun 1700 sampai 1800 Belanda belum memahami ajaran Sunda Wiwitan. Bahkan, Agama Djawa Sunda sempat dilarang kolonial Belanda.

Namun, dari hasil penelitian antropolog Belanda bernama Kern, menyimpulkan Sunda Wiwitan termasuk agama adat. Bahkan, beberapa antropolog Belanda yang lain mempelajari lebih lanjut hingga dibentuk ADS dengan anggaran dasar dan rumah tangga Igama Djawa Sunda tahun 1800.

"Hasil penelitian Antropolog Kern diserahkan dalam bentuk laporan kepada Gubernur Jenderal pemerintahan kolonial," kata dia, Rabu (25/11/2020).

Belanda menyematkan ADS pada warga Sunda Wiwitan, tetapi tak berjalan mulus. Setelah merdeka dan ADS dibubarkan, stigma negatif terhadap warga adat melekat di masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan video pilihan berikut ini


Perlakuan Diskriminasi

Warna Sunda Wiwitan Cigugur Pada Sulaman Keberagaman
Anak-anak Sunda Wiwitan Kuningan tengah asyik bermain sambil membersihkan lingkungan Paseban. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Politik adu domba Belanda menjadi salah satu penyebab munculnya stigma negatif warga Sunda Wiwitan hingga saat ini. 

"Misalnya dalam prinsip hidup Sunda Wiwitan mengajarkan agar masyarakat makan dan minum dari hasil keringat sendiri. Itu diadu domba dengan dipelintir oleh Belanda kepada kalangan pesantren sehingga dibuat stigma bahwa kami musyrik pengikut Madrais sesat karena minum keringat padahal itu artinya hasil dari keringat sendiri ya hasil dari kerja," kata Okky.

Stigma tersebut sempat melekat kuat hingga tahun 2000-an. Dalam perjalanannya, warga Sunda Wiwitan Kuningan pernah bekerjasama dengan Departemen Agama tahun 2012.

Pemerintah menurunkan 25 dosen se-Indonesia. Mereka meneliti dan menginap di rumah warga kawasan Cigugur.

"Hasilnya masih ditemukan stigma negatif pada kami padahal dipelintir oleh Belanda saat menjajah. Meskipun perlahan hilang tapi masih ada yang melintir. Memang harus perlahan menghilangkan stigma negatif," ujar Okky.

Namun, saat ini, di tengah nuansa keberagaman, warga adat Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan masih mendapat perlakuan dikriminasi.

Okky mengaku, anak-anak Sunda Wiwitan masih sering dirisak oleh teman sebayanya di sekolah. Warga adat Sunda Wiwitan Kuningan juga masih terus berjuang memperoleh hak sipil mereka.

Menurut Okky, Putusan MK Nomor 35/PUU-IX/2012 Terkait Pengakuan Hak Masyarakat Adat dianggap bukan solusi. Sebab, untuk memperoleh hak sipil, warga adat harus mengikuti aturan yang ditetapkan.

"Sebelum memasukkan kolom penghayat dalam KTP kita harus berorganisasi dulu ada pengakuan dari organisasi penghayat yang diakui pemerintah otomatis punya AD/ART. Ini kan jatuhnya jadi ormas sementara kami bukan ormas kami agama lokal," ujar Okky.


Bangun Tempat Ibadah

Warna Sunda Wiwitan Cigugur Pada Sulaman Keberagaman
Paseban Tri Panca Tunggal salah satu situs warisan sesepuh Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan menjadi cagar budaya. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Menurut Okky, warga Sunda Wiwitan di Kuningan sebagian besar tinggal di pedesaan. Hidup, rukun beragam dengan ajaran lokal yang diwariskan leluhur.

"Kami punya pengalaman dulu mendirikan paguyuban adat AKUR tahun 1982 tapi dibubarkan. Jadi kami berpikir kembali ke identitas masyarakat adat yang bukan organisasi. Kalau pake kriteria organisasi kami masuk ormas dan bukan masyarakat adat lagi," ujar Okky.

Kerukunan masyarakat di Cigugur Kuningan sudah terpelihara sejak ratusan tahun lalu. Bukan hanya dalam interaksi sosial, masyarakat sekitar Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan turut serta membangun kampungnya menjadi lebih rukun dan harmonis.

Semasa muda, Abah Bojana bersama warga lain turut membantu membangun tempat ibadah, mulai dari masjid, musala, hingga gereja.

"Mulai banyak bangun tempat ibadah setelah tahun 1964 atau ketika ADS dibubarkan. Bahkan, sampai sekarang," kata dia.

Baginya, memeluk agama adalah hak asasi manusia. Dia mengaku, sebagian besar keluarga Sunda Wiwitan Kuningan beragam.

Sejak ADS yang disematkan Belanda dibubarkan, suasana keberagaman di kawasan Sunda Wiwitan Cigugur semakin harmonis.

"Kami gotong royong ikut bangun masjid, musala sampai gereja. Sekitar 25 tahun saya merasakan ADS sebelum dibubarkan pemerintah," ujar dia sembari mengingat masa mudanya.

Dia menyebutkan, dua dari tujuh anak kandungnya memeluk agama Islam dan hidup rukun.

"Yang penting sepengertian karena cara ciri manusia adalah cara ciri bangsa. Memang sebelum ADS dibubarkan saya pernah dapat pesan nanti akan ada pilihan sendiri dalam memeluk agama akhirnya setelah bubar diberi pilihan saya masuk Katolik. Prinsip itu kami masih bawa sampai sekarang ketika anak sudah dewasa diberi pilihan memeluk agama mana," ujar dia.


Perempuan Pimpin Ritual

Warna Sunda Wiwitan Cigugur Pada Sulaman Keberagaman
Masyarakat Adat Sunda Wiwitan berdasarkan catatan kuningan memiliki keturunan Sunan Gunung Jati. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Abah Bojana dan warga lain turut membantu pembangunan tempat ibadah. Bahkan, kata dia, hingga saat ini semangat pluralisme masih tertanam.

"Bahkan ada pesantren di dekat lingkungan kami kawasan Citambak dibangunnya sama-sama. Sebelumnya itu sawah milik kepala desa. Ketika dibangun ya sama-sama, air diambil dari Cigugur ya silahkan. Tidak pernah ada selisih," ujar dia.

Menurut dia, dalam menjalani hidup, prinsip utama adalah mengedepankan cinta kasih dan sepengertian.

"Suku dan agama apa pun kita tetap penduduk Indonesia dan ciptaan Tuhan. Saya sejak muda juga dekat dengan Islam karena keluarga juga ada yang muslim jadi ikut antar ponakan ke masjid untuk belajar mengaji," ujar Abah Bojana.

Tak hanya dalam konteks memelihara keberagaman antar masyarakat di kawasan Cigugur Kuningan. Di internal masyarakat AKUR Sunda Wiwitan sendiri memiliki banyak keragaman.

Perempuan Sunda Wiwitan Kuningan sering menjadi pemimpin dalam setiap ritual. Seperti dialami Girang Pangaping Adat masyarakat AKUR Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan Jawa Barat  Juwita Jatikusumah Putri.

Menurut dia, warga Sunda Wiwitan tak hanya membawa diri sebagai manusia seutuhnya. Tapi memiliki tanggungjawab moral dan spiritual dalam hidup sebagai penganut agama lokal.

"Saya sering mimpin ritual tapi bukan dalam konteks sebagai imam hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan spiritual manusia kepada pencipta," kata Juwita.

Salah satu ritual rutin warga adat Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan adalah Kurasan. Ritual tersebut dilakukan pada jam 05.00 pagi dan jam 18.00 sore atau setiap menjelang pergantian hari.

Dalam ritual kurasan, seluruh warga adat berkumpul di dapur ageung. Disana mereka melakukan meditasi.

"Di ritual itu biasanya ada yang memimpin terutama untuk menyalakan perapian, menuntun olah rasa dan sebagainya. Jadi bukan konteks sebagai imam," kata dia.

Juwita menjelaskan, ritual tersebut diberi nama kurasan dari kata menguras yaitu membersihkan. Ritual tersebut untuk membersihkan laku manusia selama di dunia.

Warga yang ikut ritual, diajak merefleksikan diri dengan meditasi. Diyakini sebagai salah satu cara untuk membersihkan laku diri.

"Salah satu dasar dari agama lokal kita karena tidak mungkin ada tuntunan ajaran kalau kita bukan seorang manusia yang punya cipta, rasa dan karsa. Sehingga berkembang menjadi budaya spiritual seperti  olah rasa ini," kata dia.

Dia menjelaskan, salah satu ajaran agama lokal adalah spiritual manusia lahir dari naluri religius. Dari ajaran tersebut, manusia tahu mana baik dan buruk.

"Mempertajam hati nurani yang menuntun kita berbuat lebih baik sehingga disepakati bersama menjadi sebuah tuntunan ajaran," kata Juwita.

Ajaran tersebut, ujar dia, ada di dalam salah satu catatan manuskrip yang ditulis sesepuh Sunda Wiwitan Kuningan Pangeran Sadewa Madrais. Bagi Sunda Wiwitan, tak ada dominasi laki-laki dan perempuan dalam memimpin sebuah ritual.

"Sampai sekarang masih dijalankan dan menjadi tuntunan hidup," ujar dia.

Tidak hanya ritual harian, Juwita dipercaya menarikan tarian Pohaci dalam acara Seren Taun. Tari pohaci dilakukan pada puncak acara Seren Taun.

Dalam puncak seren taun, warga adat melakukan ritual mengawinkan benih padi jantan dan betina. Dengan harapan dapat memberi kesuburan sehingga hasil panen melimpah dan kualitas bagus.

"Kalau di internal keluarga Sunda Wiwitan umumnya membolehkan anaknya memilih sendiri memeluk agama lain. Tapi prinsipnya ketika sudah diberi dasar ajaran lokal paling tidak mereka akan tetap mengingat diri dan asal usulnya," ujar Juwita.


Nilai Kebangsaan yang Bersifat Pluralitas

Warna Sunda Wiwitan Cigugur Pada Sulaman Keberagaman
Potret keberagaman masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur dari penampakan makam yang berbeda agama namun saling berdampingan. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Semangat gotong royong menjadi salah satu wujud pluralitas warga AKUR Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan. Mereka lebih mengedepankan kebersamaan hingga melestarikan adat tradisi warisan leluhur.

"Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan Cigugur terbuka kepada pendatang tapi tetap mempertahankan nilai tradisi karena bagian dari ciri khas Sunda Wiwitan dan adaptasinya beda-beda antar Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan dengan daerah lain," kata Dosen Antropologi Fisip Unpad Bandung Ira Indrawardana, Rabu (18/11/2020).

Dalam interaksi sosial baik di dalam maupun luar warga AKUR Sunda Wiwitan tak pernah membatasi diri. Ira menyebutkan, warga  Sunda Wiwitan Kuningan mengedepankan nilai kebangsaan yang bersifat pluralitas.

Warga Sunda Wiwitan Cigugur mengedepankan dialog jika ada warga dari luar ingin menjalin ikatan pernikahan.

"Prinsipnya keyakinan tidak memaksakan, mau pasangan dari keluarga laki-laki atau perempuan jika ada hubungan relasi dengah suku lain bagaimana dialog. Bahkan, dalam hal berkeyakinan orangtua tidak memaksakan anaknya untuk berkeyakinan seperti halnya leluhurnya. Ini nilai toleransi tinggi," ujar dia.

Bahkan, setelah dinyatakan sah menikah, warga Sunda Wiwitan harus berbakti kepada mertua. Selain berbakti kepada orangtua sendiri.

Dalam kacamata antropologi, agama lokal adalah agama laku perilaku. Dia menjelaskan, orangtua di Sunda Wiwitan Kuningan mengajarkan kepada anaknya nilai kehidupan.

"Ada prinsip di masyarakat Sunda Wiwitan Kuningan yaitu meskipun tidak sepengakuan tapi yang penting adalah sepengertian. Jadi bukan kepada formalitas keagamaan tapi kepada jiwa rasa," sambung Ira.

Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat adat Sunda Wiwitan di Jawa Barat meyakini tidak ada yang paling benar. Sebab, agama adat ditekankan bagaimana mereka bisa berinteraksi sosial di lingkungan dengan dasar kemanusiaan.

Nilai budaya yang diambil sebagaimana prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

"Ketika sudah menanamkan nilai kemanusiaan maka kesadaran kepada keilahian akan ada. Ini termasuk kearifan lokal tingkat tinggi," kata dia.


Kesetaraan Gender

Warna Sunda Wiwitan Cigugur Pada Sulaman Keberagaman
Tokoh masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur Pangeran Djatikusumah dan istri menerima kunjungan Ratu Hemas dan Anggota DPR RI Maman Imanulhaq. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Ira menjelaskan, ajaran Sunda Wiwitan menempatkan perempuan dan laki-laki sejajar. Yang berbeda adalah ketika mereka berbagi tugas.

Baik tugas kodrati maupu tugas yang hasil interaksi sosial budaya. Tidak ada perempuan lebih rendah dari laki-laki.

"Meski memang awalnya dari tugas kodrati ya dan tidak ada hal tabu kalau laki-laki Sunda Wiwitan menggendong anak memasak begitu juga perempuannya bekerja. Yang penting berbagi tugas," kata dia.

Masyarakat Sunda Wiwitan Kuningan sangat menghormati sanghiyang pohaci atau dewi kesuburan. Sebab, perempuan atau ibu diyakini sebagai lambang kesuburan atau pelindung dari bumi dan langit yang memberi kesuburan.

"Perempuan menjadi penentu awal kehidupan manusia. Kalau pola pendidikan berdasarkan nilai kearifan lokal menekankan pada bagaimana berbuat kemanusiaan," ujar dia.

Keberagaman masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur juga terlihat dari salah satu tradisi atau ritual bernama Ngadapur. Dalam ritual tersebut, masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur bermeditasi menghadap ke sebuah tungku berapi dari bambu.

Pemimpin dalam ritual Ngadapur ini tidak diharuskan laki-laki. Ira menyebutkan, di Sunda Wiwitan Kuningan, pemimpin ritual Ngadapur adalah Putri Rama Djatikusumah.

"Itu yang ritual ngadapur. Di internal keluarga saya saja setiap olah rasa atau meditasi sembahyang bisa saya atau istri yang pimpin doa bahkan anak saya. Jadi tidak ada aturan baku," ujar dia.

Praktik ritual yang tak memandang gender tersebut, jelas Ira merupakan sebuah penghayatan kepada tuhan sang pencipta. Masyarakat Sunda Wiwitan Kuningan meyakini untuk menghayati tuhan tidak ada yang dominan.

"Bahkan gender tidak berlaku di Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan. Mungkin jika dalam hubungan sosial ada dominan sesuai pembagian tugas. Tapi kalau kebiasaan spiritual semua sama," ujar Ira.


Pendampingan

Warna Sunda Wiwitan Cigugur Pada Sulaman Keberagaman
Keluarga Sesepuh Sunda Wiwitan Cigugur saat bertemu Bupati Kuningan membahas penetapan masyarakat adat. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Terpisah, Direktur Advokasi Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengaku masih tetap konsisten mengadvokasi warga Sunda Wiwitan Kuningan untuk mendapat pengakuan masyarakat adat.

Dia menceritakan sempat mengawal proses verifikasi, identifikasi masyarakat Adat Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan. 

"Kami sempat ikut dalam pertemuan terkait tim yang dibentuk Bupati Kuningan dan hasilnya disepakati akan ada proses verifikasi identifikasi masyarakat adat Sunda Wiwitan Kuningan. Tapi untuk pertemuan berikutnya kami tidak bisa ikut karena kondisi juga sedang covid-19 jadi WFH," ujar dia.

Seiring perkembangannya, Arman mengaku mendapat dokumen hasil tim verifikasi identifikasi yang dibentuk oleh Bupati Kuningan Acep Purnama.

Hasilnya disebutkan masyarakat Sunda Wiwitan Kuningan masuk dalam kategori warga adat. Hanya saja, dia mengira hasil tersebut belum diserahkan kepada Bupati Kuningan dalam sebuah rekomendasi.

"Untuk kemudian ditetapkan bupati sebagai masyarakat adat dalam surat keputusan," kata dia.

Dia mengaku tidak mengerti apa alasan tim bentukan Bupati Kuningan belum menyerahkan hasil tersebut. Dia mensinyalir ada persoalan di internal panitia terpadu yang dibentuk Acep Purnama.

"Kritik saya adalah tim bentukan Bupati Kuningan tidak melibatkan masyarakat adat hingga akademisi. Tim inti memberi solusi agar dibuatkan tim terpadu dan baiklah kalau begitu tim terpadu segera dibuat SK oleh bupati atau ketua panitia masyarakat adat yang diketuai Bupati Kuningan," ujar dia.

Kendati demikian, Arman mengaku masih terus memantau perkembangan perjuangan masyarakat Sunda Wiwitan Kuningan untuk mendapat pengakuan hak sipil.

"Sunda Wiwitan masuk sebagai anggota jaringan AMAN jadi harus dikawal terus hanya situasinya saja yang berbeda," dia menandaskan.

 *Tulisan ini bagian dari program Story Grant Pers Mainstream Jawa Barat yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya