Perjuangan Petani Sigi Lewati 3 Bencana Silih Berganti

Usai diterpa gempa dan likuefaksi, kini petani di Sigi harus menghadapi pandemi Covid-19 yang datang di tengah upaya mereka menata kehidupan dan perekonomian.

oleh Heri Susanto diperbarui 04 Des 2020, 13:00 WIB
Diterbitkan 04 Des 2020, 13:00 WIB
Suharianto (56 th), petani penyintas bencana di Kabupaten Sigi menunjukkan tomat hasil panen dari lahan yang disewanya pascabencana
Suharianto (56 th), petani penyintas bencana di Kabupaten Sigi menunjukkan tomat hasil panen dari lahan yang disewanya pascabencana, Senin (23/11/2020). Petani itu beralih ke tanaman hortikultura saat lahan sawah di sigi rusak dan Irigasi Gumbasa belum pulih. (Foto: Liputan6.com/ Heri Susanto).

Liputan6.com, Sigi - Kondisi sosial dan ekonomi petani di Sigi 2 tahun pascagempa dan likuefaksi belum benar-benar pulih. Perbaikan irigasi yang belum rampung, konversi pertanian sawah ke hortikultura, hingga pemasaran komoditas di tengah pandemi jadi tantangan petani untuk bangkit.

Senin sore itu (23/11/2020) Suharianto (56) terus mengitari lahan setengah hektare yang ditanaminya tomat di Desa Kalukubula, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi. Dia menyibak setiap tanaman berusia 3 bulan itu. “Sudah usia penen soalnya. Sayang sekali kalau ada yang rusak," kata Suharianto sambil terus mengamati buah tomat yang sudah kekuning-kuningan.

Pesanan 100 peti tomat untuk dikirim ke Kalimantan menambah semangat petani penyintas bencana itu.  Kabar baik lainnya, harga tomat saat ini sedang bagus-bagusnya, yakni Rp3.500 sampai Rp4.000 per kilogram. Suharianto menghitung, dia bisa mendapat hingga Rp260.000 untuk setiap peti tomat berisi 65 kilogram.

"Sekarang ada 8.000 pohon yang saya tanam. Sampai selesai masa panen bisa menghasilkan sampai 10 ton. Ya Alhamdulillah harganya sedang naik. Sebelumnya, anjlok karena situasi pandemi," kata dia.

Musim panen di lahan yang disewanya lebih dari 2 tahun itu adalah ke-4 kalinya sejak dia bercocok tanam kembali usai gempa disusul likuefaksi yang meluluhlantakkan Desa Jono Oge termasuk rumah serta lahan sawah dan hortikultura miliknya seluas 3 hektare yang menjadi sumber ekonominya sejak tahun 1986.

Akibat bencana itu, lahan miliknya belum bisa digarap karena mengalami perubahan komposisi dan struktur yang diperparah dengan terhentinya pengairan Irigasi Gumbasa. Kini, lahan sewa setengah hektare itu menjadi penopang dirinya berserta istri dan 2 anaknya untuk bangkit dari keterpurukan.

Dua tahun lalu, Pak Santeng begitu sapaannya, bercerita, dia mulai bangkit dengan bantuan permodalan dari bank untuk menyewa lahan sawah yang tidak terurus karena berhentinya pasokan air dari irigasi gumbasa. Krisis air juga membuatnya urung bertani padi sawah dan memilih hortikultura dengan bantuan bibit donasi perusahaan pertanian.

"Dulu ini lahan sawah yang kering. Saya bayar lahan ini per tahunnya Rp4 juta. Sekarang mengandalkan sumber mata air alami. Sukarelawan banyak membantu saya waktu awal mulai menanam sampai pengadaan bibit," Suhariyanto mengenang.

Kini, di lahan sementaranya tersebut, Santeng tidak lagi sendiri menggarap pertanian hortikulturanya. Dia dibantu 9 orang penyitas bencana yang masih tinggal di Hunian Sementara (Huntara). Dia mengakui usaha bertaninya berkembang baik terutama dengan permintaan dari pasar luar Sulawesi Tengah yang selalu ada sepanjang tahun 2019.

Fase bangkit dari keterpurukan pascabencana alam yang dilakukan Suhariyanto itu kini harus berhadapan dengan bencana lainnya; pandemi Covid-19, yang membuat harga komoditas pertanian tidak menentu.

Dia mencontohkan, pada bulan September dan Oktober, 2020, dia dan petani lainnya merugi akibat harga tomat turun hingga hanya Rp25 ribu per peti yang berisi 65 kilogram. Pasalnya, panen yang melimpah hanya terserap di Kota Palu.

"Padahal, biasanya 50 persen hasil panen dari sini bisa dipasarkan di Kalimantan. Belum lagi untuk daerah Sulawesi Barat," katanya.

Menurunkan harga di tengah pengetatan akses keluar masuk ke daerah tujuan pemasaran, kata dia, juga menjadi solusi terburuk untuk meminimalisasi kerugian.

Meski begitu, bagi Suharianto, saat ini, bertani hortikultura masih menguntungkan ketimbang sawah di tengah krisis pengairan yang belum tuntas.

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Simak video pilihan berikut ini:

Penurunan Ekonomi hingga Solusi Kala Pandemi

Suharianto (56 th), petani penyintas bencana di Kabupaten Sigi lahan yang disewanya pascabencana
Suharianto (56 th), petani penyintas bencana di Kabupaten Sigi di lahan yang disewanya pascabencana, Senin (23/11/2020). Petani itu beralih ke tanaman hortikultura saat lahan sawah di sigi rusak dan Irigasi Gumbasa belum pulih. (Foto: Liputan6.com/ Heri Susanto).

Situasi yang dialami Suhariyanto sendiri adalah hal jamak yang terjadi di Kabupaten Sigi pascagempa dan likuefaksi tahun 2018 lalu. Bencana ini berdampak signifikan pada kondisi pertanian dan petani di daerah itu terutama yang mengandalkan lahan sawah.

Berdasarkan survei Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah yang dirilis pada Juni, 2019, bencana tersebut berdampak langsung terhadap 5.510 petani di Sigi yang mengalami penurunan pendapatan yang signifikan dibanding dua daerah terdampak gempa lainnya seperti Palu dan Donggala.

Data itu juga menyebut dari 16.913 hektare lahan pertanian di Sigi, 6.611 hektare rusak akibat likuefaksi dan macetnya saluran irigasi.

 

Grafis perubahan pendapatan warga sebelum dan setelah bencana
Grafis perubahan pendapatan warga sebelum dan setelah bencana berdasarkan data BPTP Sulteng yang rilis Juni, 2019. (Grafis: Heri Susanto/ Liputan6.com).

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTH) Sulawesi Tengah, Trie Iriany Lamakampali mengungkapkan, saat ini upaya konversi tanaman di lahan-lahan sawah yang terbengkalai ke jenis tanaman yang adaptif dengan kondisi air yang minim terus diupayakan. Hal ini dilakukan di tengah perbaikan saluran Irigasi Gumbasa yang rusak, Hingga akhir tahun 2019, konversi ini baru menjangkau 1.000 hektare lahan.

“Tanaman hortikultura dan palawija kami dorong untuk menggantikan padi sawah. Harapannya para petani tetap bisa berpenghasilan,” Kadis DPTH Sulawesi Tengah, Trie Iriany Lamakampali mengatakan, Senin (30/11/2020).

Mengatasi dampak pandemi, Trie mengatakan, sesuai intruksi Kementerian Pertanian, pihaknya secara berkala menggelar pasar tani agar produk pertanian bisa langsung diakses masyarakat sehingga meminimalisasi permainan harga tengkulak.

Solusi pemasaran di kala pandemi itu belum dirasakan signifikan dampaknya oleh Suharyanto dan sebagian besar petani di Sigi.

"Kami berharap solusi yang langsung dirasakan petani. Misalnya adanya koperasi atau pihak lain yang siap membeli hasil pertanian kami. Kalau hanya satu atau dua kali tidak ada dampaknya apalagi di situasi pandemi ini," Suharianto mengeluhkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya