Liputan6.com, Padang - Beberapa waktu belakangan konflik antara manusia dan satwa buaya muara kerap terjadi, pihak terkait menyimpulkan ada beberapa faktor yang jadi penyebabnya.
"Iya terjadi beberapa kali konflik, seperti di Kabupaten Pasaman Barat dua minggu terakhir terjadi tiga kali, kemudian di Agam juga terdapat buaya yang bertelur di lahan sawit," kata Pengendali Ekosistem Hutan Balai Konservasi Sumber Daya alam (BKSDA) Sumbar, Ade Putra kepada Liputan6.com, Kamis (28/1/2021).
Advertisement
Baca Juga
Ade menyampaikan, berdasarkan perilaku dan siklus hidupnya, satwa bernama latin Crocodylus porosus itu pada Januari hingga Juli memasuki musim kawin dan bertelurnya satwa buaya.
Buaya yang akan kawin dan bertelur cenderung mencari lokasi yang aman dari gangguan individu lainnya. Terutama induk buaya yang sedang bersiaga di sarang telurnya.
"Induk buaya ketika menjaga telurnya akan sangat agresif dan sensitif terhadap keberadaan mahkluk lain termasuk manusia," jelasnya.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Alih Fungsi Lahan
Namun demikian, Ade menyebut selain karena musim kawin dan bertelur, faktor lain yang menjadi penyebab konflik antara manusia dan buaya yakni adanya penyempitan habitat.
Hampir di seluruh lokasi terjadinya serangan buaya, kondisi alamnya sudah beralih fungsi menjadi perkebunan dan lahan budidaya lainnya.
Bahkan, sepanjang pinggiran aliran sungai sampai dengan muara sudah ditanami dan akhirnya memaksa buaya untuk berada sepanjang waktu di dalam air.
"Tentunya hal ini mengakibatkan semakin seringnya tingkat perjumpaan buaya dengan manusia," ujarnya.
Selain itu, kebiasaan manusia yang membuang sisa bahan olahan rumah tangga ke sungai dan pinggir pantai atau muara juga diduga ikut berperan menyebabkan buaya muncul.
Adanya pakan yang tersedia berasal dari sisa bahan olahan manusisa seperti sisa potongan ayam, sapi, kambing lainnya yang dibuang ke dalam air menyebabkan buaya terpancing untuk muncul.
Kejadian seperti ini ditemukan terjadi di Muara Sasak dan Muara Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat. Selain itu, aktivitas mencari ikan dengan menggunakan racun atau bius juga dapat menyebabkan buaya menjadi terganggu.
Advertisement
Keberhasilan Hidup Buaya Kecil
Beberapa upaya mitigasi dalam rangka pencegahan telah dilakukan, seperti sosialisasi, edukasi bagi masyarakat sekitar sungai, hingga pemasangan papan peringatan termasuk pemantauan.
Upaya itu dilakukan bersama-sama dengan pemerintah daerah, dan pihak perusahaan yang berdekatan atau berbatasan dengan habitat buaya muara.
Mengantisipiasi terjadinya serangan buaya, BKSDA mengimbau warga untuk waspada dan hati-hati ketika beraktivitas di dalam sungai atau muara, tidak beraktivitas pada malam hari karena buaya merupakan satwa yang aktif pada malam hari.
"Hindari sungai dengan arus tenang serta tidak beraktivitas sendirian," jelas Ade.
BKSDA mengajak warga agar mau berbagi ruang tempat hidup dengan buaya, mengingat habitatnya yang semakin menyempit.
Buaya merupakan jenis satwa yang dilindungi oleh peraturan perundangan di Indonesia, sesuai dengan undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Perburuan oleh manusia dan serangan dari predator lainnya maupun sesama buaya merupakan ancaman terhadap kelestariannya.
Hasil pemantauan BKSDA dari jumlah telur yang ada di alam, tingkat keberhasilan hidupnya ketika menetas hanya 25 persen, dan paling banyak hanya 5 persen mencapai dewasa.