Liputan6.com, Pekanbaru - Ramadan sudah dekat. Masyarakat sekitar Istana Sayap di Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, menyambut datangnya bulan suci bagi umat Islam ini dengan tradisi Mandi Balimau Sultan.
Mandi Balimau Sultan merupakan tradisi turun-temurun dari Kerajaan Pelalawan. Helatnya pada tahun lalu sempat ditiadakan karena pandemi Covid-19 tapi tahun ini digelar kembali dengan menerapkan protokol kesehatan.
Advertisement
Baca Juga
Istana Sayap tak ramai seperti tahun-tahun sebelum pandemi tiba. Pelaksanaannya terbatas tanpa kerumunan masyarakat di pinggir Sungai Kampar, lokasi Mandi Balimau Sultan.
Biasanya, tradisi ini diiringi dengan Mandi Balimau Kasai bagi masyarakat luas, dikenal Petang Megang, setelah Sultan Pelalawan Assyaidis Syarif Kamaruddin Haroen menyiram kepala pada tetua adat ataupun kepala suku.
Balimau Sultan dimulai dari menjemput pewaris Kerajaan Pelalawan oleh sejumlah pengawal berbaju adat. Sultan kemudian diarak untuk melaksanakan salat berjemaah.
Sebelum itu, Sultan Pelalawan mengambil wudu di sebuah telaga yang dikhususkan bagi keluarga kerajaan. Tempat air ini dikenal dengan Talago Nago.
Usai salat, Sultan Pelalawan memimpin rombongan untuk berziarah ke pemakaman pendahulunya, tak jauh dari masjid. Kemudian dilanjutkan makan bersama dengan tamu undangan dan masyarakat sekitar.
Puncak acara adalah penyiraman air dari akar dan bunga dicampur jeruk nipis kepada kepala suku ataupun tokoh adat. Penyiraman ini sebagai sirat penyucian diri sebelum memasuki Ramadan.
Setelah itu, Sultan Pelalawan memberikan pepatah-petitih berisi pesan moral dalam beragama dan bermasyarakat. Sultan mengajak masyarakat rajin berbagi antara sesama.
"Selalu beristigfar dan mengaji, perbanyaklah sedekah dan memberi, senantiasalah menghitung diri, dalam puasa jangan menyalah, serahkan diri kepada Allah, mestilah puasa membawa berkah," kata Sultan Pelalawan kepada peserta Balimau Sultan.
"Saling menghormati janganlah lupa jaga persatuan sesama kita," sambung Sultan.
Bupati Pelalawan HM Harris yang hadir berharap kegiatan ini selalu digelar sebagai pengingat bagi generasi muda. Masyarakat diminta melestarikan adat yang sudah berusia ratusan tahun ini.
"Semoga digelar berkelanjutan setiap tahunnya," kata Harris.
Kegiatan ini dihadiri sejumlah pejabat, termasuk Bupati Pelalawan terpilih, Zukri. Terlihat pula Wakil Kepala Polda Riau Brigadir Jenderal Tabana Bangun.
Simak video pilihan berikut ini:
Balimau Kasai
Sebelumnya, Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Al Azhar menyampaikan, Balimau Kasai merupakan tradisi masyarakat Melayu dalam menyambut Ramadan. Kegiatan ini ada yang dilaksanakan di keluarga dan ada pula diupacarakan.
Mandi Balimau Kasai menggunakan air dengan wangi-wangian khas, dicampur bunga rampai, irisan jeruk purut serta akar-akaran. Semua bahan itu diletakkan dalam wadah lalu dicampur air secukupnya.
Jika dilaksanakan dalam keluarga, biasanya ayah dan ibu memandikan anaknya, atau abang ke saudaranya. Ini menjadi simbol penyucian diri menyambut Ramadan yang kemudian dilanjutkan dengan meminta maaf kepada orangtuanya, atau istri ke suami, lalu berlanjut ke tetangga.
"Hal ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu, sebagai simbol menyucikan diri," tegas Al Azhar.
Sementara yang diupacarakan, esensinya juga sama. Hanya saja dikemas dalam bentuk pesta adat yang biasa dilaksanakan di pinggir sungai dan selalu dihadiri pemuka masyarakat, tokoh adat, dan pemerintah.
Di Pekanbaru, upacara ini dilaksanakan di pinggir Sungai Siak. Sementara, di Kabupaten Kampar dan Pelalawan dilakukan di Sungai Kampar. Hal serupa juga diupacarakan masyarakat pesisir seperti Rokan Hilir, Bengkalis, dan Selatpanjang.
"Kalau di Pelalawan ada juga namanya Mandi Balimau Sultan oleh kerajaan di sana, sudah dilaksanakan sejak zaman kerajaan dulu. Di setiap daerah, tradisi ini disebut dengan Petang Megang," jelasnya.
Secara harfiah, petang diartikan hari-hari terakhir di bulan Syakban, karena sebentar lagi masuk Ramadan. Sementara Megang adalah memegang atau kemantapan memasuki Ramadan.
Advertisement
Pergeseran
Dahulu, tradisi ini menjaga kebersamaan kaum muda untuk menyambut Ramadan. Sehari sebelumnya, anak muda laki-laki akan masuk ke hutan mencari bunga rampai, akar-akaran khusus, serta jeruk perut.
Berikutnya, hasil pencarian itu diolah anak perempuan sehingga menjadi ramuan Balimau Kasai. Biasanya ada yang dibungkus ataupun diletakkan saja dalam wadah besar untuk dipakai bersama secara bergantian.
Seiring perkembangan zaman, kebiasaan mencari sendiri bahan Balimau Kasai sudah tidak dilakukan. Masyarakat lebih memilih yang instan karena sudah banyak dijual di pasar.
"Itu salah satu pergeserannya, sudah ada di pasar, orang lebih memilih membeli dari pada membuat sendiri," jelas Al Azhar.
Al Azhar mengakui, Balimau Kasai yang diupacarakan (Petang Megang) sudah banyak mendapat kritik dari beragam kalangan. Pasalnya, sebagian anak muda menjadikan acara menyucikan diri ini menjadi bercampur diri.
"Di sungai banyak bercampur antar laki-laki dan perempuan bukan muhrim, riang gembira terlepas dari esensi awal," imbuh Al Azhar.
Seharusnya, tegas Al Azhar, pesta menyambut Ramadan tidak dinodai ulah sebagian warga yang hanya ingin mencari kesenangan. Pasalnya, esensi dari Petang Megang adalah simbol bersuci secara adat.