Liputan6.com, Kebumen - Basiran (58) masih berpeluh keringat ketika kami bertandang ke rumahnya di Desa Ambal Resmi, Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, Selasa (23/3/2021). Bapak tiga anak itu masih di ladang ketika kami tiba. Basiran pulang setelah anak laki-lakinya berbaik hati menjemputnya untuk kami.
Basiran merupakan pemilik tanah di pesisir selatan Kebumen yang kerap disebut Urut Sewu. Ia menjadi satu dari petani Urut Sewu yang sebagian tanahnya tercaplok setelah Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Tengah mengeluarkan sertifikat hak pakai atas nama Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD).
Basiran memiliki petuk sebagai alas hak sekaligus bukti kepemilikan tanah. Ia juga mengantongi surat perjanjian jual beli tanah atau segel dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi Bangunan (SPPT PBB) atas namanya sebagai penguat.
Advertisement
Pada masanya, petuk merupakan surat pajak untuk para pemilik tanah. Karena pajak hanya dipungut dari para pemilik tanah, maka warga yang memiliki petuk dianggap sebagai pemilik tanah dan petuk menjadi dokumen kepemilikan tanah. Begitupun pengenaan dan penerimaan pembayaran pajak oleh pemerintah kemudian diartikan sebagai pengakuan hak atas tanah yang dimiliki wajib pajak.
Baca Juga
Ada delapan petak tanah Basiran yang diklaim sebagai tanah negara dan disertifikatkan hak pakai atas nama TNI AD. Masing-masing bidang tanah memiliki lebar 8 meter dan panjang sekitar 200 meter.
Satu dari delapan bidang tanah itu ia beli tahun 1988. Surat perjanjian jual beli tanah ini menyebut batas selatan ialah laut.
Sejak saat itu, ia menggarap tanahnya, menanaminya dengan aneka tanaman palawija, sayuran, hingga buah-buahan. Sejak saat itu pula, ia membayar pajak bumi dan bangunan. Semua yang ia lakukan atas tanahnya menjadi bukti konkret bahwa Basiran menguasai tanahnya.
"Kula yasa niku mundut pertama taksih umur 25 tahun. Sing segel anu tuku, segel batese banyu asin (Saya membeli pertama masih umur 25 tahun. Yang bersegel itu beli, segel batasnya laut)," ujar dia.
Namun Basiran terkejut ketika mendengar kabar Menteri ATR/Kepala BPN, Sofjan A Djalil menyerahkan setifikat lima bidang tanah di lima desa kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Andhika Perkasa di Markas Kodam IV Diponegoro, Jumat (21/8/2020).
Lima bidang tanah itu antara lain di Desa Tlogopragoto dan Tlogodepok Kecamatan Mirit serta Desa Ambalresmi, Kenoyojayan, dan Sumberjati Kecamatan Ambal. Di antara lima bidang tanah itu ada tanah milik Basiran di Dusun Jenggreng Tengah, Desa Ambal Resmi yang ikut tersertifikasi menjadi tanah hak pakai TNI AD.
Ia terkejut karena selama ini warga Ambal Resmi tak menerima pemberitahuan mengenai proses pendaftaran tanah untuk TNI AD. Selama ini, warga Ambal Resmi juga tak keberatan TNI berlatih menembak di atas ladang mereka. Namun ia tak menyangka kerelaan warga justru dibalas dengan klaim terhadap tanah mereka.
"Rakyat mriki sadar sedanten, latihan monggo, tapi ampun dimiliki kados ngaten niku (Masyarakat di sini sadar semua, latihan silakan, tapi jangan dimiliki seperti itu)," kata dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Kirimkan Surat Keberatan
Sutarno (45) petani pemilik tanah yang lain tak kalah kecewa. Tanpa sepengetahuannya, tanah yang diwariskan turun-temurun diklaim atas nama TNI AD.
Turno, sapaan akrabnya, menanami tanahnya dengan terong, umbi, dan sayuran. Iapun taat membayar PBB dan memegang SPPT atasnamanya.
"Saene nopo-nopo musyawarah, niki mboten wonten rembagan mboten wonten musyawarah ngertos-ngertos pun disertifikat (Baiknya apa-apa dimusyawarahkan, ini tidak ada rembugan tidak ada musyawarah tahu-tahu sudah disertifikat)," tuturnya.
Turno menduga, desa memanfaatkan tanda tangan daftar hadir warga pada saat sosialisasi pematokan untuk keperluan pemagaran sebagai legitimasi bahwa warga menyepakati batas tanah negara yang diklaim TNI AD. Padahal, ketika itu warga menolak klaim tanah negara oleh TNI AD yang kemudian dibatasi dengan pagar berupa penel beton.
"Kan niku wonten daftar hadir, daftar hadir niku dilebetaken daftar persetujuan (Kan itu ada daftar hadir, daftar hadir itu yang dimasukan daftar persetujuan)," ujar dia.
BPN ataupun pemerintah desa tak pernah secara terang-benerang menjelaskan rencana pendaftaran tanah untuk TNI AD kepada masyarakat. Padahal, satu di antara ketentuan pendaftaran tanah ialah melibatkan pihak terkait, dalam hal ini petani pemilik tanah.
Ketertutupan proses pendaftaran tanah ini membuat petani pemilik tanah tak sempat melayangkan keberatan. Padahal Pasal 26 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menyatakan hasil pengukuran harus diumumkan paling tidak 30 hari untuk pendaftaran tanah sistematik dan 60 hari untuk pendaftaran tanah sporadis.
Batas waktu pengumuman kemudian diubah melalui PP Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Pada PP ini, waktu pengumuman dipercepat menjadi 14 hari untuk pendaftaran tanah sistematik dan 30 hari untuk sporadis.
Namun, para petani pemilik tanah tetap melawan. Mereka mengirimkan surat keberatan kepada Menteri ATR/Kepala BPN melalui Kantor Wilayah BPN Jawa Tengah pada awal September 2020 atau beberapa hari setelah serah terima sertifikat di Makodam IV/Diponegoro.
Sebanyak 15 orang perwakilan petani pemilik tanah mengirimkan surat keberatan ini ke Kantor Wilayah BPN Jawa Tengah di Semarang. Ketika itu, para petani mendapat pendampingan dari LBH Yogyakarta dan Semarang.
Dalam surat ini, para petani menyebut proses pendaftaran tanah oleh TNI AD cacat prosedur karena BPN tidak melibatakan para petani sebagai pemegang hak pada proses pengukuran bidang tanah secara sistematik. BPN pun tak menginformasikan proses pemastian letak batas bidang-bidang tanah di Desa Ambal Resmi kepada petani pemilik tanah.
BPN juga tak memberitahukan jadwal pelaksanaan pendaftaran tanah kepada warga, baik saat dimulai dan selesainya maupun saat penetapan batas dan pengukuran bidang tanah. Hal ini membuat para petani pemegang hak milik tidak bisa mengajukan keberatan atas hasil ajudikasi selama jangka waktu yang ditetapkan.
Advertisement
Kata Pejabat BPN
Atas sejumlah pertimbangan pada surat itu, para petani mendesak Kementerian ATR/BPN agar menerima keberatan mereka dan mencabut sertifikat hak pakai TNI AD yang terlanjur terbit. Namun karena tak ada pejabat BPN yang menerima perwakilan petani dan pendampingnya, maka rombongan hanya menitipkan surat tersebut kepada petugas Kanwil BPN. Hingga hari ini para petani tak mendapat jawaban atas surat keberatan yang mereka layangkan.
Sementara pemerintah desa juga tak berkabar terkait rencana pendaftaran tanah. Padahal, pemerintah desa mengetahui rencana pendaftaran tanah untuk TNI AD dan turut terlibat dalam proses pengukuran bersama tim dari BPN dan TNI AD. Diam-diam, Kepala Desa Ambal Resmi memberi restu terhadap rencana pengukuran tanah dengan mendelegasikan para perangkat desa untuk menyaksikan proses pengukuran. Desapun tak melayangkan protes atas klaim tanah warga oleh TNI AD.
Satu di antara perangkat yang terlibat pengukuran ialah Parijo, Bayan atau Kepala Dusun di Ambal Resmi. Saat pengukuran, ia mengaku diminta menunjukkan batas-batas tanah kepada tim pengukuran. Namun ia mengaku tak tahu perihal pemasangan patok yang menjadi dasar pengukuran.
"Kalau pemasangannya saya kurang tahu. Itu menunjukkan di sana sama TNI, di sana sudah ada patoknya," kata Parijo ketika ditemui di rumahnya, 6 Mei 2021 yang lalu.
Usai pengukuran, baik BPN maupun desa juga tidak menyosialisasikan hasil pengukuran kepada warga. Kepala Desa Ambal Resmi, Wagino, berdalih sosialisasi tidak dilakukan karena larangan berkumpul selama pandemi Covid-19. Hingga sertifikat terbit, sosialisasi tidak pernah dilakukan.
“Sosialisasi terbentur korona, kan tidak boleh kumpul-kumpul,” kata Wagino melalui sambungan telepon.
BPN punya cerita versinya sendiri perihal pengukuran tanah di Urutsewu. Kanwil BPN Jawa Tengah menerima permohonan pengukuran tanah dari Kodam IV/Diponegoro pada 4 Februari 2020. Menindaklanjuti surat permohonan ini, BPN bergerak cepat dengan menggelar rapat koordinasi dan survei lapangan pada 18 Februari 2020.
Rapat koordinasi yang diselengarakan di Kantor BPN Kebumen ini antara lain dihadiri perwakilan 15 pemerintah desa dari tiga kecamatan di sepanjang Urutsewu. Sehari kemudian, proses pengukurang dimulai secara bertahap mulai dari Desa Ayam Putih, Kecamatan Buluspesantren hingga Desa Wiromartan, Kecamatan Mirit.
“Bertahap desa demi desa dengan kedudukan batas oleh TNI didampingi masin-masing perangkat desa,” ujar Embun Sari, Kepala Kantor Wilayah BPN Jateng yang kini menjabat Dirjen Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan Kementerian ATR/BPN, ketika ditemui di kantor Kanwil BPN Jateng pada 7 Juni 2021 yang lalu.
Menjelang pengukuran, BPN hanya berkomunikasi dengan pemerintah desa. Menurutnya, BPN tidak perlu langsung berkomunikasi dengan warga karena itu menjadi domain pemerintah desa. Tugas BPN, lanjutnya, lebih pada teknis pengukuran di lapangan.
BPN juga menilai tidak perlu melibatkan warga karena tanah yang diukur berbatasan dengan tanah desa. Dengan alasan ini pula, BPN merasa cukup dengan menghadirkan kepala desa atau perangkat desa saat proses pengukuran berlangsung.
BPN juga memiliki perspektif yang sama dengan TNI AD yaitu sama-sama melihat tanah yang diukur merupakan tanah negara, bukan tanah warga. Sikap BPN ini berpegang pada dokumen resmi yang menyebut tanah itu telah masuk dalam daftar infentaris kekayaan negara (DIKN).
Komentar Kasad Andika Perkasa
Selain itu, BPN juga berdalih telah menurunkan tim peneliti ke lapangan yang menyimpulkan tanah itu dalam penguasaan TNI AD. Hal ini menurut mereka dibuktikan dengan tidak adanya protes warga ketika TNI mematok tanah itu.
“Jadi sudah clear and clean,” tuturnya.
BPN mengabaikan aspek yuridis seperti leter c, petuk, SPPT, segel dan aktivitas pertanian sebagai bukti penguasaan tanah. BPN menilai SPPT dan petuk bukan bukti kepemilikan tanah, namun bukti seseorang memanfaatkan tanah. Bukti kepemilikan tanah yang utama yaitu sertifikat tanah.
BPN juga menegasikan penolakan warga yang dilakukan sejak jauh-jauh hari ketika proses pemagaran berlangsung. Begitu pula penguasaan tanah oleh warga melalui aktivitas pertanian yang dilakukan sejak berpuluh tahun lalu.
Untuk mendapat keterangan lebih lengkap, kami juga mengonfirmasi Kodam IV/Diponegoro. Namun upaya kami menghubungi melalui sambungan telepon dan surat permohonan wawancara tidak mendapat respons.
Kami kemudian kembali bersurat ke Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Darat, dan Kodim 0709/Kebumen. Dari sekian surat yang kami ajukan, hanya Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad), Brigjen TNI Tatang Subarna, yang memberikan respons. Ia menyarankan agar menghadiri acara KSAD di Kebumen pada 4 September 2021 lalu.
Malam sebelum acara kami telah tiba di Kebumen. Namun pada tengah malam Brigjen Tatang mengabarkan acara digeser ke Korem 072/Pamungkas di Yogyakarta. Kami pun bergegas menuju ke Yogyakarta pada pagi harinya.
Setibanya di Korem 072/Pamungkas, acara serah terima sertifikat hak pakai TNI AD tengah berlangsung. Satu di antara sertifikat yang diserahterimakan ialah sertifikat bidang tanah di Urutsewu, Kebumen.
Ada tambahan dua bidang tanah di dua desa yang kembali disertifikatkan sebagai hak pakai TNI AD. Dua bidang tanah itu tersebar di dua desa, yaitu Desa Lembupurwo Kecamatan Mirit dan Desa Entak Kecamatan Ambal.
Tambahan dua ini menyusul dua sertifikat di Desa Brecong Kecamatan Buluspesantren dan Desa/Kecamatan Mirit. Jika dijumlah, maka total ada sembilan bidang tanah di sembilandesa yang telah bersertifikat hak pakai TNI AD seluas 464,3 Ha.
Sementara sisa enam bidang tanah di enam desa lainnya kini dalam proses komunikasi dengan warga. Proses sertifikasi satu dari enam desa ini bahkan hampir mencapai 100 persen.
“Memang ada yang sedang kita proses, tetapi seperti yang saya sampaikan tadi bahwa jangan sampai ada tekanan kepada siapapun,” kata Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jendral Andika Perkasa, pada sesi wawancara usai acara serah terima sertifikat tanah.
Pada pidato sambutannya, Andika menyatakan tidak akan mengambil tindakan apapun pada lahan yang belum bersertifikat hak pakai TNI AD. Ia menegaskan TNI AD dari tingkat pusat hingga jajaran di lapangan tidak akan menyentuh, apalagi mengelola tanah yang bukan menjadi haknya secara legal.
“Kami patuh hukum dan semua jajaran kami di bawah juga demikian, jadi tidak ada lagi, Pak Arif, seperti yang terjadi waktu itu di lapangan karena kami ke bawah, Pangdam, Danrem, Dandim, semua akan memegang itu,” ujar Andika kepada Bupati Kebumen, Arif Sugiyanto, yang turut hadir pada acara itu.
Terkait protes warga atas proses pendaftaran tanah untuk TNI, ia menyerahkan pada mekanisme hukum. Andika mempersilakan warga yang keberatan dengan penerbitan sertifikat hak pakai TNI AD untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.
“Mereka juga punya hak, setiap warga negara, untuk misalnya, membawa tuntutan ke ranah hukum. Kami terbuka karena itu mekanisme yang paling fair lah di Indonesia,” ucapnya.
Advertisement
Pendapat Akademisi UGM
Profesor Nurhasan Ismail, Guru Besar Ilmu Hukum UGM, mengatakan, dalam kasus sengketa tanah, pihak yang berhak atas tanah menurut hukum adalah yang memiliki alas hak. Alas hak di sini ialah menguasai dan memanfaatkan dalam kurun waktu sekurang-kurangnya 20 tahun atau lebih.
"Menurut PP 10 tahun 1961 yang kemudian diganti dengan PP 24 tahun 1997, maka penguasaan tanah secara fisik oleh penduduk yang sudah bertahun-tahun itu menjadi alas hak untuk menguatkan kedudukan dari penduduk itu sebagai pemegang hak. Itu bisa dibaca, kalau di UU PA merujuk pada pasal 5 dan pasal 22 ayat 2 UU PA," kata dia pada sesi wawancara khusus melalui aplikasi telekonferensi.
Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) pasal 5 menyatakan hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.
Sementara pasal 22 ayat 2 menyatakan hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah, penetapan pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, dan ketentuan Undang-undang.
Dengan demikian, jika mengacu pada PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka yang berhak atas tanah di Urutsewu adalah para petani yang menguasai dan memanfaatkan tanah itu secara turun-temurun selama berpuluh tahun. Menurut Nurhasan, jika ada pihak yang mengklaim tanah itu, maka ia berkewajiban memberikan ganti rugi.
"Jadi kalau masayarakat itu sudah menempati sejak tahun 50-an apalagi sebelum tahun itu, mungkin sudah turun-temurun dari generasi ke genarasi, maka sebenarnya ya tidak ada pilihan lain secara hukum kecuali penduduk itu yang harus dikuatkan posisinya," tuturnya.
Namun pada kenyataannya, BPN menerbitkan setifikat hak pakai atas nama TNI AD. Ini menurutnya tidak sesuai regulasi yang berlaku. Menurutnya, jalan terakhir untuk mengembalikan kepemilikan tanah warga adalah dengan mengajukan perkara ini ke pengadilan.
"Satu-satunya jalan ya pengadilan dan berharap hakimnya netral,".
Bagian pertama dari 3 tulisan mengenai konflik tanah di Urut Sewu, Kebumen. Laporan ini merupakan hasil kolaborasi dengan sejumlah jurnalis, antara lain Jamal Abdun Nashr (Tempo), Irwan Syambudi (Tirto.id), Anindya Putri Kartika (KBR), dan Stanislas Cossy (Serat.id).
Kolaborasi liputan ini merupakan bagian dari program AJI Yogyakarta yang tergabung dalam konsorsium bersama Walhi Yogyakarta dan LBH Yogyakarta dengan tema "Building Citizen Awarness on the Growing Agrarian Conflict in Yogyakarta and Its Adjacent Region". Program ini didukung oleh Open Society Foundation melalui Yayasan Kurawal.