Memaknai Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi dalam Ketatanegaraan RI

Sesuai konstitusi negara, Undang-Undang Dasar (UUD) RI 1945 Pasal 1 ayat 3, Indonesia merupakan negara hukum atau rechtstaat. Hukum ditempatkan sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan.

oleh Yandhi Deslatama diperbarui 06 Apr 2022, 21:00 WIB
Diterbitkan 06 Apr 2022, 21:00 WIB
Rendy Dwiandika, Mahasiswa Doktoral Universitas Brawijaya. (Dokumentasi pribadi). (Selasa, 05/04/2022).
Rendy Dwiandika, Mahasiswa Doktoral Universitas Brawijaya. (Dokumentasi pribadi). (Selasa, 05/04/2022).

Liputan6.com, Jakarta - Sesuai konstitusi negara, Undang-Undang Dasar (UUD) RI 1945 Pasal 1 ayat 3, Indonesia merupakan negara hukum atau rechtstaat. Hukum ditempatkan sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan dalam segala bentuk serta menggunakan hukum dalam menjamin keadilan bagi warga negaranya.

Rendy Dwiandika, mahasiswa doktoral ilmu hukum Universitas Brawijaya (UB) memaparkan dalam karya ilmiahnya berjudul Landasan Sejarah Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang, A.V. Dicey menguraikan bahwa adanya 3 unsur penting dalam setiap negara hukum, yaitu supremacy of law, equality before the law, dan due prosess of law.

Di Indonesia, supremasi hukum yang menjadi landasan penegakan dan pengaturan hukum termaktub dalam UUD 1945, seperti di dalam Pasal 1 ayat (3). Begitu pun dengan aspek persamaan di depan hukum juga telah diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan "bahwa segala warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum serta pemerintah itu tanpa terkecuali, dan yang terakhir adalah mengenai terjaminnya hak-hak asasi manusia telah tercatat dan mengikat di dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan, pengakuan, serta kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

"Dengan demikian jelas Indonesia merupakan negara hukum karena telah memenuhi kriteria sebagaimana diuraikan oleh A.V. Dicey," Rendy menuliskan.

Setiap perundang-undangan di bawah konstitusi wajib menjiwai konstitusi dan yang bertentangan atau tidak sejalan dengan konstitusi memiliki konsekuensi dapat dibatalkan atau dapat diuji dengan mekanisme Constitutional Review (CR). CR di bidang hukum konstitusi dalam perspektif historis terlekat dan berseiringan dengan sejarah Mahkamah Konstitusi (MK) yang kewenangan utamanya adalah melakukan pengujian terhadap keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.

"Ketentuan mengenai konstitusional review diatur di dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum," Rendy memaparkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak video pilihan berikut ini:


Mengadopsi Hukum Belanda

Mekanisme CR yang secara praktis dilaksanakan di Indonesia secara historis sangat dipengaruhi oleh CR di negara-negara penganut eropa kontinental atau suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya.

Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda di mana banyak ketentuan aturan yang mengadopsi peraturan hukum Belanda yang pada dasarnya menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental atau dikenal juga dengan istilah civil law.

CR pada mulanya dicetuskan sejak revolusi Perancis dan konsep Separation of Powers dari JJ Rosseau dan De la Montesquieu, merupakan cikal bakal pengembangan CR ke depan. Bahkan, keberhasilan awal pemerintahan Napoleon dan pengaruh yang berkelanjutan dari hukum dan budaya Perancis, telah membawa sikap dan pendekatan CR menyebar ke seluruh Eropa dengan sistem hukumnya yang berbeda.

Perang dunia II menjadi tonggak sejarah dimulainya gagasan Mahkamah Konstitusi dengan CR menyebar ke seluruh benua Eropa dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dengan Mahkamah Agung dan mekanisme pemeriksaannya di Indonesia lebih dikenal dengan istilah judicial review (JR). Namun, Perancis mengadopsi sistem ini secara berbeda dengan jalan membentuk Constitutional Counsil (Counsceil Constitutionel), termasuk negara-negara bekas jajahannya, hal ini diungkapkan Prof Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Model-Model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara.

Landasan historis CR di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan CR di negara-negara Eropa. Gagasan bermula dari Hans Kelsen seorang ahli hukum Austria yang memisahkan kekuasaan kehakiman dalam hal peradilan biasa yang dilakukan oleh MA dengan peradilan konstitusi yang terpisah karena, ketidak percayaannya terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakan konstitusi, sehingga dirancang khusus badan tersendiri khusus untuk mengevaluasi UU apabila tidak sejalan dengan konstitusi dan membatalkannya hal ini jauh sekali rentang waktu sebelum berdirinya Mahkamah Konstitusi di Indonesia yaitu di sekitar tahun 1920.

Pembentukan lembaga tersendiri yang bertugas untuk melakukan CR di Indonesia yang diberi nama Mahkamah Konstitusi memiliki sejarah yang berliku. Bermula dari pengaruh pasca perang dunia II hingga perkembangan hukum di negara-negara Eropa yang demokratis yang melakukan perubahan nilai di mana Undang-Undang dapat dilakukan JR terhadap konstitusi dengan tujuan untuk menyatukan nilai agar sejalan dengan konstitusi sebagai dengan dasar negara.

Di Indonesia pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam rangka tuntutan untuk memberdayakan Mahkamah Agung (MA) diawali pada tahun 1970-an dengan perjuangan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memperjuangkan agar MA diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

"Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena dilatarbelakangi oleh suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik waktu itu. Juga tidak diperkenankannya adanya perubahan konstitusi, bahkan UUD cendrung disakralkan," Rendy menuliskan dari  kutipan Hukum Acara MK RI karya Maruarar Siahaan.


Gagasan Membentuk Mahkamah Konstitusi

Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi 'mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret-April tahun 2000. Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil atas UU, memberikan putusan atas pertentangan antar UU, serta kewenangan lain yang diberikan UU.

Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antar lembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta mengkaji lembaga pengujian konstitusional UU di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan MK diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945.

Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. Akhirnya sejarah MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001.

"Perjalanan sejarah membangun MK yang dialui oleh negara kita merupakan proses yang tepat dan keputusan para pemimpin negara beserta legislatif untuk mengesahkan Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 merupakan tonggak sejarah untuk memurnikan dan menjaga agar nilai-nilai Pancasila yang merupakan jiwa dari konstitusi dan juga dasar negara kita tetap melekat pada setiap ketentuan Undang-Undang.

Oleh karenanya MK juga diharapkan dapat menjaga dan melindungi seluruh stakeholder dalam setiap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara agar senantiasa nyaman dan merasakan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana tujuan negara kita karena setiap ketentuan produk legislatif dapat dilakukan review apabila tidak sejalan dan menggugah atau menyimpangi hak-hak masyarakat atau hukum sebagaimana dalam konstitusi negara," seraya menutup pembicaraan.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya