Liputan6.com, Yogyakarta - Teh nasgitel atau panas, wangi, legi, kentel adalah budaya minum teh yang menjadi bagian dari masyarakat Yogyakarta. Dulu, melepas lelah setelah seharian bekerja cukup dengan secangkir teh yang memiliki aroma yang kuat, rasa teh yang pekat, manis, dan tidak lupa panas.
Dikutip dari berbagai sumber, tanaman teh dibawa dokter dan ahli botani Jepang bukan sebagai minuman melainkan sebagai tanaman hias.Â
Advertisement
Baca Juga
Setelah melihat potensi tanaman teh sebagai produk yang laku di pasar internasional, tanaman ini menjadi komoditas wajib selama periode tanam paksa atau cultuurstelsel. Rupanya Keraton Yogyakarta sendiri juga memiliki upacara minum teh, yakni upacara Patehan.
Tentu tata cara pelaksanaan ngeteh ala Keraton Yogyakarta zaman dahulu berbeda dengan budaya minum teh ala Jepang maupun China. Seperti Cangkir yang digunakan oleh Sultan memiliki ukuran yang kecil, sehingga ketika memakainya cukup sekali minum.
Selain ukuran yang tidak biasa, cangkir-cangkir itu sendiri juga memiliki corak warna bermacam-macam. Ada yang berwarna merah muda, bercorak emas, perak, atau warna lain.
Corak warna-warna tersebut merupakan penanda tingkat jabatan orang-orang di dalam Keraton Yogyakarta. Tradisi Patehan sebenarnya tidak hanya satu versi melainkan tradisi ini juga dilaksanakan pada hari-hari besar seperti lebaran, ngapem, dan sungkeman.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Pelajaran Hidup
Lambat laun, tradisi minum teh mengakar di masyarakat Yogyakarta. Sebelum kedai kopi "menyerang" wilayah Yogyakarta, minum teh panas menjadi sebuah kewajiban.
Biasanya masyarakat Yogyakarta meminum segelas teh nasgitel, sebelum dan sesudah melakukan kegaiatan sehari-hari. Di dalam segelas teh nasgitel ini mengandung filosofi kehidupan yang mumpuni.
Teh nasgitel diibaratkan sebagai kehidupan. Selalu ada pahit, wangi, panas dan kental dalam kehidupan.
Kehidupan dari yang menyenangkan, menyulitkan dan penuh perjuangan. Sedangkan, gula batu itu adalah bentuk dari kenikmatan hidup.
Proses pembuatan teh nasgitel tidak pernah menggunakan gula pasir, karena gula batu dipercaya mampu memberikan cita rasa yang lebih enak. Namun sebenarnya tidak hanya karena rasanya saja, tapi filosofi bahwa kebahagian itu selalu diperoleh melalui kerja keras dan tempaan waktu.
Filosofi ini tampak saat diaduknya gula batu bersama teh secara perlahan-lahan. Bila teh yang panas, wangi, kental itu kemudian bertemu dengan gula batu yang mencair perlahan dan sampai pada tingkat kemanisan yang pas, itulah keseimbangan hidup.
Konon hidup yang terlalu pahit tentu tidak menyenangkan, demikian pula hidup yang terlalu manis. Mengaduk perlahan gula batu dalam balutan teh yang panas, wangi dan kental, sehingga ditemukan komposisi yang pas mempunyai kata kunci yaitu perlahan. Inilah yang hingga sekarang menjadi pegangan hidup kebanyakan masyarakat Yogyakarta.
Â
Penulis: Tifani
Â
Advertisement