Ruang Aman Perempuan di Rumah Tuhan

Pusat krisis perempuan di Bandung ini menyediakan tempat pengaduan bagi perempuan korban kekerasan rumah tangga, lengkap dengan rumah amannya atau shelter.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 27 Mei 2022, 00:00 WIB
Diterbitkan 27 Mei 2022, 00:00 WIB
Ilustrasi kekerasan kepada perempuan (Liputan6.com / Abdillah)
Ilustrasi kekerasan kepada perempuan (Liputan6.com / Abdillah)

Liputan6.com, Bandung - Shelter Women’s Crisis Center (WCC) Pasundan-Durebang sudah jadi bagian hidup Pendeta Karmila Jusup (56) sehari-hari. Pusat krisis bagi perempuan penyintas kekerasan ini merupakan tempat kerja Karmila sekaligus tempat dia tinggal.

"Saya itu banyak ikut rapat atau seminar via Zoom. Setelah itu mengurusi shelter," kata Karmila membuka pembicaraan kepada Liputan6.com, Sabtu (26/3/2022).

Sore itu, Karmila baru saja menyelesaikan pekerjaannya mengurusi keperluan shelter WCC Pasundan-Durebang, di Jalan Raden Dewi Sartika, Kota Bandung. Nyaris tak ada waktu luang bagi Karmila untuk bersantai.

Karmila menganggap bahwa penyintas perempuan membutuhkan dukungan pihaknya. Mereka menghadapi risiko kekerasan dan eksploitasi, bahkan beberapa dari mereka bisa berada dalam pilihan situasi yang sulit, antara hidup dan mati.

"Saya percaya pada keadilan bagi mereka semua dan hak untuk hidup layak tanpa kekerasan," ujarnya.

Shelter WCC Pasundan-Durebang merupakan sebuah jaringan kerja yang bertujuan untuk membantu para perempuan yang sedang dalam kondisi krisis akibat kekerasan yang dialaminya. Pusat krisis perempuan di Bandung ini menyediakan tempat pengaduan bagi perempuan korban kekerasan rumah tangga, lengkap dengan rumah amannya atau shelter.

Pusat krisis tersebut menjalankan tempat penampungan bagi para penyintas, termasuk perempuan pekerja migran, mendukung kasus-kasus darurat, menyediakan layanan konseling hukum dan psikologis serta menyelenggarakan pelatihan untuk memberdayakan para penyintas.

Awalnya, WCC Pasundan-Durebang didirikan dengan tujuan memenuhi kebutuhan perempuan dalam komunitas gereja dan untuk mendukung penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Seiring waktu, pelayanan ini pun terbuka untuk masyarakat umum termasuk bagi pekerja migran yang mengalami kekerasan.

"Kami menyediakan tempat tinggal yang aman bagi para penyintas, layanan kesehatan, konseling, dan layanan hukum sesuai kebutuhan," ucap Karmila yang menjabat manajer shelter WCC Pasundan Durebang.

Cikal bakal WCC Pasundan-Durebang sendiri bermula dari diskusi antar pendeta fungsionaris di Gereja Kristen Pasundan (GKP) pada 2004. Ketika itu, Karmila menjabat sebagai Sekretaris Komisi Pelayanan Perempuan GKP.

Fokus isu yang mencuat mayoritas adalah KDRT. Sejumlah jemaat sebagian besar pernah mengalami kekerasan atau mendengar pengalaman orang lain. Namun, kebanyakan justru mendiamkan kasusnya karena dianggap hal biasa.

"Jadi, harus diubah paradigmanya karena solusinya tidak cukup dengan berdoa," kata Karmila.

Menurut Karmila, awal permasalahan kekerasan terhadap perempuan berawal dari sikap bias yang selama ini tertanam di masyarakat. Sehingga, pemikiran bias harus disadarkan terlebih dulu.

"Sering ada anggapan kalau terjadi masalah di rumah tangga itu karena salah perempuan. Karena itu, kita harus berangkat dari kesadaran bahwa KDRT ada karena berkaitan dengan masalah gender yang bias," tuturnya.

Karmila pernah menemukan kasus KDRT terhadap perempuan di mana sang suami tidak punya pekerjaan. Orang lain mencemooh rumah tangga laki-laki tersebut karena tidak berdaya, tapi istrinya bekerja jadi tulang punggung. Mendapat tekanan, suami stres dan marah dilampiaskan kepada istrinya. Lambat laun hal itu pun jadi pertengkaran.

Bukan hanya kekerasan fisik, hal yang jarang terungkap justru kekerasan seksual dalam rumah tangga karena itu dianggap hal yang memalukan jika diketahui orang lain. Karena itu, Karmila bersama sejumlah pendeta bertekad membuat pelayanan khusus untuk korban KDRT. Tak hanya itu, mereka juga menerbitkan buku renungan memuat tentang keadilan gender hingga program kebaktian khusus perempuan.

Kondisi ini kemudian mendorong Karmila untuk menimba ilmu dan pengetahuan di Presbyterian Church in the Republic of Korea (PROK), pada 2011. Selama tiga bulan, ia belajar di Durebang Center yang merupakan bagian dari program pelayanan perempuan di gereja tersebut.

Durebang Center sendiri awalnya berfokus pada pendampingan perempuan Korea Selatan yang dieksploitasi menjadi penjaja seks di kamp tentara Amerika ketika berlangsungnya perang Korea sekitar 1950-an. Namun, seiring waktu lembaga tersebut kini melayani pekerja migran perempuan yang mengalami kekerasan.

"Kami hampir berhenti pada 2011 itu karena tidak ada dana, tidak ada donor yang mendukung. Untuk membangun center di Bandung, kami masih berpikir dari mana biayanya," ucap Karmila.

Selain ke Korea, Karmila bersama empat rekannya juga belajar mendampingi korban kekerasan di Yogyakarta, tepatnya di Rifka Annisa Women Crisis Center sekitar 2012. Rifka Annisa Yogyakarta sendiri memulai layanannya pada 1993.

Selain melakukan pendampingan untuk perempuan korban kekerasan, lembaga ini juga melakukan sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat luas mengenai masalah kekerasan terhadap perempuan dan keadilan gender. Lembaga ini juga melakukan upaya strategis dalam rangka perubahan kebijakan maupun perubahan sikap para penegak hukum berkaitan dengan isu kekerasan terhadap perempuan.

Melalui kerja sama antara GKP dan PROK, akhirnya disepakati pembangunan layanan khusus kasus kekerasan terhadap perempuan hingga terbentuknya WCC Pasundan-Durebang pada 2013.

"Pada 2013 kami mulai membangun center dengan manajemen sendiri. Layanannya adalah pencegahan, penanganan, dan pemulihan akibat kekerasan yang dialami perempuan dan anak," ujar Karmila.

Pendampingan Berbasis HAM

Salah satu tantangan yang dihadapi pada awal pendirian WCC Pasundan-Durebang adalah kecurigaan masyarakat terkait kristenisasi. Hal itu sempat menimbulkan tekanan bagi pengelola. Namun, seiring waktu pusat krisis ini sudah menjadi mitra Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dengan menjadi anggota forum pengadaan layanan tingkat nasional.

"Pendampingan kita bukan kristenisasi melainkan pelayanan kami berbasi Hak Asasi Manusia (HAM). Jadi, kami menerima berbagai macam latar belakang agama dan etnis," kata Karmila.

WCC Pasundan-Durebang memiliki komitmen bahwa pendampingan terhadap penyintas kekerasan perempuan terbuka untuk semua orang dalam rangka berbagi ruang. Oleh karena itu, pusat krisis ini tidak hanya melayani umat Kristen, melainkan juga umat di luar Kristen. Hal itu sesuai dengan misi Pasundan-Durebang yang berusaha mengembangkan pelayanan inklusif.

Berkaitan dengan aspek pelayanan dan profesionalitas, pelayanan WCC Pasundan-Durebang mencakup penyediaan perlindungan, pendampingan, hingga membantu penyelesaian kasus secara hukum. Lingkup kerja organisasi ini meliputi wilayah Jawa Barat, bukan hanya Kota Bandung.

"Sering para pengurus dan anggota kita bepergian jauh ke lokasi korban dan memberikan bantuan," ucap Karmila.

Mematahkan Bias Gender

Karmila Jusup
Manajer Shleter WCC Pasundan-Durebang, Karmila Jusup. (Foto: Huyogo Simbolon)

Perjuangan Karmila menyuarakan kesetaraan gender dan menghentikan kekerasan terhadap perempuan baik di masyarakat dan gereja tidak mudah. Sebagai perempuan Kristen keturunan Tionghoa di Jawa Barat yang mayoritas beragama Islam, dia tumbuh beserta diskriminasi yang ia alami.

"Ayah saya kecewa karena dia berharap punya anak laki-laki, tetapi yang lahir adalah perempuan. Dan dia anggap perempuan itu tidak perlu mendapatkan pendidikan karena stereotip bahwa perempuan itu cukup bisa melayani suami," katanya.

Ibu Karmila sendiri mendukung anak perempuannya, tapi bingung tak tahu caranya. Di sisi lain, Karmila tidak tinggal diam. Ia yang tinggal bersama keluarga besar, mendapat dukungan dari kakak ibunya.

"Coba saya tidak hidup di keluarga besar di mana kakak ibu saya tidak membela saya, mungkin saya tidak berani menghadapi ayah saya. Saya berani menentang keinginan dia karena ada keluarga ibu saya. Dia membela saya karena keponakan mereka," tuturnya.

Karmila pun tetap ngotot melanjutkan sekolahnya. Ibunya mencari duit untuk membiayai sekolah Karmila dengan menjahit dan berjualan kue.

"Tapi karena faktor ayah saya kuat banget, keterampilan dia itu terpendam jadinya," ungkapnya.

Pengalaman masa lalu membuat Karmila belajar bahwasannya ada pandangan bias soal kedudukan perempuan. Di mana para istri dianggap tidak boleh melebihi suami, tidak boleh bekerja dan berkarya serta hanya melayani suami.

"Potensi yang dimiliki ibu saya itu sama seperti perempuan lainnya. Jadi, perempuan jangan takut dengan stigma hanya mengurusi rumah tangga, mereka juga mampu memgembangkan potensinya," ujarnya.

Memperjuangkan kesetaraan gender sejak dari lingkup jemaat gereja juga bukan berarti tanpa hambatan. Karmila yang memulai karier sebagai pendeta pada 1993, mendapat respons negatif menyuarakan kesetaraan gender.

"Ibu pendeta, memang ada ya KDRT di jemaat? Kalau di jemaat saya sih enggak ada," kata Kamila, menirukan ucapan seorang pendeta perempuan kepadanya. Pernyataan itu didapatkan Karmila dalam rapat kerja sinodal dari Komisi Pelayanan Perempuan Sinode GKP.

Mereka juga sempat beradu argumentasi. Karmila tetap kokoh dengan pendirian. "Saya bisa saja percaya di gereja ibu tidak ada, tapi ini berdasarkan pengalaman saya saat jadi pendeta jemaat hampir 30 persen dari anggota jemaat saya mengalami KDRT, bagaimana kita diam?," tuturnya.

Karmila berpendapat, pelayanan secara khusus terhadap perempuan korban kekerasan harus diperjuangkan meski kerap berbenturan dengan anggaran. Adapun penanganan yang mereka lakukan adalah penanganan yang komprehensif, psikologi (psikolog anak dan dewasa), medis (penanganan dokter spesialis) dan pemberdayaan ekonomi.

“Gereja tidak hanya mengurusi masalah spiritual, tapi melingkupi persoalan holistik, seperti isu sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, dan gender,” ujarnya.

Pentingnya MAdMB

Menyangkut posisi pekerja gereja dalam kaitannya dengan pendampingan perempuan korban kekerasan, Karmila menafsirkan dari perspektif korban tentang apa kata Alkitab. Metode ini dikenal dengan metode Membaca Alkitab dengan Mata Baru (MAdMB). Ini merupakan salah satu tafsir feminis yang mencoba membaca Alkitab dari pengalaman korban, khususnya perempuan korban kekerasan.

Prinsip dasarnya adalah bersikap kritis terhadap Alkitab sebab narasi Alkitab dapat digunakan sebagai cara subversif untuk memengaruhi atau memenangkan pembaca dengan membuat pembaca tak menyadari bias-bias tertentu dalam konteks historis dari teks.

Karmila beralasan teks-teks kitab suci tidak luput dari pesan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan sehingga perlu ditafsir ulang. Apalagi, dalam konteks Indonesia, agama atau kitab suci merupakan sumber nilai hidup masyarakat termasuk pandangan terhadap hubungan perempuan dan laki-laki.

"Sejak 1997, kami sudah melakukan apa yang disebut dengan membaca Alkitab dengan Mata Baru (MAdMB), melakukan tafsir alkitab dari berbagai perspektif, dari perspektif perempuan atau feminis, lintas iman dan kaum marginalized vulnerable lainnya," ujarnya.

Kamila pun mencontohkan pandangan tentang relasi suami-istri (“...istri harus tunduk pada suami seperti jemaat tunduk kepada Tuhan...”, Efesus 5). Tunduk kepada suami di sini, tidak berarti seorang suami secara sewenang-wenang memperlakukan istrinya misalnya dengan melakukan kekerasan. Tetapi seorang istri juga harus tahu bagaimana menjadi seorang istri yang baik menurut agama Kristen.

"Mengapa Alkitab perlu ditafsir? Sebab Alkitab ditulis pada zaman tertentu dan dalam konteks tertentu dan dengan pandangan dunia tertentu," katanya.

Konteks tertentu ini dalam masyarakat "patriarkis" dan "androsentris". Dalam lingkungan akademis, Alkitab menjadi teks. Namun, harus tetap diingat bahwa dalam teks itu terdapat konteks yang memandang laki-laki sebagai asal mula yang menentukan dan laki-laki sebagai pusat segala paradigma bermasyarakat.

Hal ini telah mengantar para perumus ajaran atau dogma gereja yang "belum terbebas dan membebaskan diri" dari budaya yang berat sebelah itu untuk menafsir dengan kacamata yang diskriminatif terhadap perempuan. 

"Berita gembira berarti berita yang tidak diskriminatif, berita yang menghidupkan keduanya. Sebab manusia, baik perempuan dan laki-laki, sama-sama adalah ciptaan Allah yang termulia di antara segala ciptaan lainnya," tutur Karmila.

Karmila juga menyatakan bahwa agama Kristen harus peduli dengan kekerasan dalam bentuk apa pun juga dan untuk siapa pun juga dan dalam lingkungan apapun juga, termasuk kekerasan dalam rumah tangga untuk dihapuskan.

"Kristen juga harus menjadi agama yang membebaskan dan menyembuhkan bagi komunitasnya dan bagi komunitas lain yang lebih luas dalam hal ini bagi perempuan korban kekerasan," ungkapnya.

Penyintas Memilih Diam karena Ancaman

Shelter WCC Pasundan-Durebang
Shelter WCC Pasundan-Durebang. (Foto: Dok. WCC Pasundan-Durebang)

Kasus kekerasan seksual terus terjadi. Tahun 2022 ini saja, WCC Pasundan-Durebang sudah menangani 90 kasus kekerasan seksual, dengan 60 persennya terjadi pada anak-anak.

Mereka ada yang tengah menjalani konseling psikologi, terapi, rawat inap, hingga proses hukum di pengadilan. Ada juga kasus korban perkosaan yang baru melahirkan.

"Sejak tahun kemarin (2021) juga melonjaknya karena pandemi Covid-19. Dalam dua tahun terakhir penanganan bahkan naik melebihi dari laporan," kata Karmila.

Kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin memprihatinkan. Catatan Tahunan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2011 hingga 2020 mencatat 2,7 juta kasus kekerasan seksual. Sementara itu, situasi pandemi Covid-19 membuat perempuan dan anak perempuan yang mengalami kekerasan di dunia siber juga bertambah.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kementerian PPPA, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode 1 Januari 2022 hingga 21 Februari 2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus. Sepanjang 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 10.368 orang.

Banyak perempuan, khususnya mereka yang menjadi korban kekerasan fisik, memilih untuk diam dan menyimpan sendiri kesengsaraannya selama bertahun-tahun, bahkan sepanjang hidupnya. Berikut ini uraian suara korban KDRT yang disarikan dari pengakuan dan kesaksian penyintas yang mendapatkan pendampingan dari WCC Pasundan-Durebang.

R (50) adalah penyintas korban kekerasan dalam rumah tangga di Malaysia yang pelakunya adalah suaminya sendiri. Kejadian penyiksaan suami terhadap R disaksikan sang anak yang kemudian dia lari mencari pertolongan kepada tetangga.

Lalu tetangga R menghubungi seorang perempuan yang ternyata bekerja di NGO Médecins Sans Frontières (MSF). Kemudian NGO ini yang membawa R ke rumah sakit dan meminta bantuan UNHCR untuk mendukung pengobatan R di rumah sakit.

"NGO ini juga menghubungi Tenaganita, salah satu CSO di Kuala Lumpur mitra Pasundan-Durebang, untuk mendapatkan informasi tentang lembaga yang dapat membantu saya ketika saya kembali ke Indonesia," kata R menuliskan sendiri kisah kekerasan yang dia alami.

Setelah itu, MSF menghubungi Karmila dari WCC Pasundan-Durebang Bandung dan KJRI Penang untuk bisa kembali ke Indonesia. Pihak KJRI pun membantu mengurus dokumen untuk kepulangan A ke Indonesia, dan menghubungi BP2MI di Jakarta untuk mengurus karantina. 

Pihak WCC Pasundan-Durebang selanjutnya menghubungi pihak BP2MI untuk kepastian bahwa R sudah bisa kembali ke Bandung. Untuk sementara, R dan anaknya tinggal di Pasundan-Durebang karena tidak mempunyai rumah dan kebutuhan hidup R masih didukung oleh lembaga tersebut.

“Sekarang saya dan anak saya sudah bebas dari kekerasan yang dialami lebih dari 10 tahun. Sekarang sudah bisa tidur dan hidup dengan tenang tanpa rasa takut akan ancaman pembunuhan dan penyiksaan dari pasangan saya," tutur R.   

R awalnya bekerja sebagai pekerja migran di Malaysia. Beberapa tahun kemudian ia berkenalan dengan seorang pria yang kemudian menjadi suaminya.

Awalnya, hubungan dengan suaminya yang juga pekerja migran dari Myanmar itu berjalan harmonis, namun permasalahan rumah tangga yang dipicu perekonomian membuat suami mengasari bahkan kerap menyiksa R.

"Sulitnya saya mendapat perlindungan karena saya kurang mendapat informasi siapa yang dapat menolong saya. Mengapa saya tidak tahu informasi pengaduan karena pasangan mengekang saya, dia melarang saya keluar rumah dan bergaul dengan teman atau tetangga," ungkapnya.

Penyadaran tentang Kesetaraan Gender

Infografis Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia. (Liputan6.com/Trieyasni)

Bagaimana gereja-gereja dalam menangani perempuan korban kekerasan tidaklah seragam. Ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia Darwita Purba menuturkan, jalan menuju penghapusan KDRT yang holistik dan berorientasi kepada pemberdayaan korban masih sukar, antara lain karena faktor budaya dan pendanaan.

Hal itu itu yang menjadi faktor penghambat untuk bisa sampai pada penanganan terhadap kekerasan ini. "Ada kebiasaan yang kuat kemudian menganggap suatu hal yang memalukan ketika harus membicarakan masalah rumah tangga ke ruang publik," tuturnya.

Sylvana Maria Apituley dalam catatan yang diterbitkan Komnas Perempuan berjudul Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respon Protestan) menyebutkan, telah banyak muncul inisiatif untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan di gereja-gereja Indonesia. Di mana sebagian besar inisiatif tersebut muncul di Pertemuan Raya Perempuan Gereja, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

KDRT misalnya, isu ini kini mulai dibicarakan secara terbuka oleh kaum perempuan di lingkungan gereja-gereja di Indonesia, khususnya anggota PGI. Beberapa gereja juga mulai menjadikannya sebagai salah satu agenda kerja.

Dari kegiatan khas seperti ibadah khusus perempuan, pelayanan kategorial seperti kaum ibu dan perempuan pemimpin gereja, hingga kegiatan komunitas seperti ibadah keluarga dan pembinaan jemaat, kini mulai diwarnai percakapan dan kajian tentang KDRT.

Menurutnya, tingkat kemajuan gereja-gereja dalam membicarakan dan menangani KDRT juga berbeda-beda. Sebuah gereja di tingkat lokal, wilayah, dan bukan sinodal, bisa saja menjadikan penghapusan KDRT sebagai program rutin yang didanai oleh gereja sebagaimana halnya pelayanan kategorial lainnya.

Kini, sekurangnya enam sinode sudah mengelola Pusat Layanan atau Pusat Krisis, yang mereka namakan antara lain “Rumah Pendamaian”: Gereja Kristen Pasundan (GKP), Gereja Kristen Evangelis (GKE) di Kalimantan, Gereja Masehi Injili di Sangir Talaud (GMIST), Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Kabanjahe, dan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di Pematangsiantar.

Sementara itu, sebagian besar gereja baru memasuki tahap membuka diri untuk memahami KDRT, atau sosialisasi KDRT, melalui berbagai pelayanan kategorial. Tentu dengan catatan bahwa ada gereja yang menjadikan isu KDRT sebagai program insidental dan ada yang sudah menjadikannya sebagai program rutin.

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), misalnya, mulai memasukkan diskusi tentang KDRT dalam program sinodalnya pada 2005. Gereja Kristen Indonesia (GKI) belakangan melakukan pembinaan dan sosialisasi ihwal KDRT melalui pembinaan orang dewasa di gereja, juga lewat media radio lokal.

"Perkembangan ini menunjukkan bahwa kebisuan tentang KDRT mulai dipatahkan, meski jalan menuju penghapusan KDRT yang holistik dan berorientasi kepada pemberdayaan korban masih sukar, antara lain karena faktor budaya dan pendanaan," ujarnya.

Sylvana menambahkan, sudah menjadi tanggung jawab gereja untuk memberdayakan warganya agar pro-aktif dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan sehingga gereja wajib mengambil langkah pastoral tertentu. Jika gereja ingin menghapuskan kekerasan, maka salah satu langkah pastoral strategis dan berkelanjutan bukanlah semata-mata menyediakan layanan krisis.

Sebaliknya, pemberdayaan terhadap korban kekerasan perlu diiringi dengan upaya-upaya menyadarkan warga gereja agar pro-aktif melaporkan kasus-kasus kekerasan, menjadikannya sebagai bagian dari tanggung jawab selakuanggota masyarakat.

Karena itu, mendorong komunitas gereja untuk bersikap pro-aktif atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya merupakan upaya mengubah “teologi” masyarakat tentang kaum perempuan. Pusat layanan krisis pada satu sisi dapat dijadikan salah satu indikator kepedulian gereja-gereja terhadap perempuan korban kekerasan.

"Indikator penting yang tak bisa diabaikan adalah ‘teologi’ gereja-gereja sebagaimana tampak pada liturgi-liturgi, pengakuan iman, ajaran dan tata gereja, disusul dengan program penyadaran tentang kesetaraan dan keadilan gender serta pembangunan komunitas gereja sebagai komunitas antikekerasan," tuturnya.

***

Liputan ini menjadi bagian dari program training dan hibah Story Grant: Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya