Ketika Eksploitasi Danau Poso Berbuah Kemiskinan Petani Desa Meko

Ratusan warga di Desa Meko, Kabupaten Poso resah lantaran luasan lahan pertanian makin menyusut akibat terdampak proyek PLTA yang mengeksploitasi Danau Poso.

oleh Heri Susanto diperbarui 12 Sep 2022, 05:00 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2022, 05:00 WIB
luapan danau poso yang menggenangi sawah desa meko
foto dari udara, luapan Danau Poso yang masuk ke lahan pertanian warga di Desa Meko. (Foto: Rai Rarea).

Liputan6.com, Poso - Di tepi jalan yang bersebelahan dengan lahan belukar dan rawa di Desa Meko, Kecamatan Pamona Barat, Poso, sepulang menjadi buruh tani, Made (53 th) berhenti. Dia menatap jauh dan memeriksa beberapa titik dengan seksama.

“Di situ dulu lahan sawah saya ada 3 hektare. Tapi sekarang tidak bisa lagi digarap,” Kata Made sambil menunjuk ke lahannya yang sudah berubah jadi rawa dan alang-alang,” Made menuturkan, Sabtu pagi (10/9/2022).

Serupa dengan Made, juga ada I Gede Sukaartana (48 th). Dua hektare lahan sawahnya juga tak berbekas sudah. Berganti rumput yang tumbuh di atas genangan air. keduanya sudah sejak tahun 2019 tidak lagi bisa menggarap sawah mereka.

Di desa itu, I Gede sebenarnya adalah kepala desa. Namun kondisi yang dihadapi desanya saat ini banyak membuatnya menanggung dilema; menjadi penyambung pesan dari pemerintah sekaligus menjadi korban Proyek Bendungan PLTA Poso Energy yang menyebabkan sawah-sawah tak bisa lagi digarap akibat luapan Danau Poso.

Sejak mega proyek itu dimulai tahun 2019, lahan pertanian di Desa Meko dan beberapa desa lainnya yang berdampingan dengan Danau Poso mulai kerap ditutupi air danau terbesar ke-3 itu. Pembendungan membuat elevasi permukaan danau meningkat dan luber hingga ke desa-desa dan menutup sumber ekonomi mayoritas warga.

I Gede dan Made hanya sebagian kecil pemilik sawah yang terdampak. Di Desa Meko hingga tahun 2022, 96 hektare sawah milik 71 kepala keluarga rusak dan memaksa mereka mencari sumber baru demi menopang ekonomi.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Kompensasi Merugikan hingga Ancaman Pertanian

Kades Meko di lahan pertanian yang rusak
Warga menunjukkan lahan pertanian di Desa Meko yang rusak akibat luapan Danau Poso. (Foto: Heri Susanto/ Liputan6.com).

Menjadi buruh tani dengan upah Rp80 ribu per hari di sawah orang jadi pilihan kebanyakan warga yang kehilangan lahan bertani di desa itu untuk bertahan. Jumlah yang jauh dari cukup bagi warga yang sudah terlanjur terlilit utang untuk menggarap sawah mereka yang akhirnya terendam.

Nilai kompensasi kerugian yang disodor Poso Energy yakni 10 kg beras untuk tahun 2019 dan 15 kg untuk tahun 2020 dan 2021 per are sawah dengan nilai perkilogram Rp8.700 dinilai juga tidak sebanding dengan kerugian para petani. Sebab rata-rata lahan mereka bisa menghasilkan 40 sampai 50 kg per are atau senilai Rp322 ribu per are dan per musim tanam untuk sawah-sawah yang tidak bisa lagi digarap.

“Anak saya sampai sempat putus kuliah 1 tahun karena kami tidak punya uang lagi,” Made menceritakan.

Kondisi itu bahkan disebut I Gede, sang kepala desa bisa memperburuk kemiskinan di Desa Meko. Sebab walau ganti rugi diterima warga mereka juga kesulitan mencari lahan pengganti untuk bertani. Ditambah lagi kebijakan sempadan Danau 100 meter dari air pasang berpotensi menggusur permukiman warga.

Dari 800 jumlah penduduk di desa itu sendiri, 95 persen mengandalkan pertanian sebagai penghidupan. Dari jumlah itu 450 petani masuk kategori tidak mampu. Jumlah yang dikhawatirkan akan bertambah akibat eksploitasi Danau Poso tersebut.

“Kami khawatir tidak ada lagi lahan tani untuk anak-anak di desa ini nanti. Sedangkan angka kelahiran pertahun 50 sampa 70 di sini,” I Gede Sukaartana mengungkapkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya