Budaya Wayamasapi di Poso 'Dipaksa' Mati untuk Sumber Energi

Budaya menangkap sidat secara tradisional atau wayamasapi yang telah berlangsung ratusan tahun terancam hilang akibat pengerukan Sungai Danau Poso. Dari ratusan, kini hanya tersisa 3 perangkap milik warga yang bertahan di tengah masifnya pengerukan danau.

oleh Heri Susanto diperbarui 16 Sep 2022, 10:00 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2022, 10:00 WIB
Alat tangkap ikan warga di danau poso berdampingan dengan alat keruk danau
Ekskavator sedang mengeruk dasar Danau Poso berdekatan dengan alat tangkap ikan tradisional milik warga, Selasa (14/9/2022). (Foto: Heri Susanto/ Liputan6.com).

Liputan6.com, Sigi - Bersamaan dengan aktivitas, Fredi Kalengke (43) memeriksa wayamasapi-nya, ekskavator juga sedari tadi mengeruk dasar Sungai Danau Poso tak jauh dari Jembatan Yondo Pamona yang menghubungkan Kelurahan Sangale dan Pamona Puselemba, Kabupaten Poso, Selasa (13/9/2022).

Wayamasapi atau pagar masapi adalah alat tangkap ikan sidat tradisional masyarakat sekitar Danau Poso yang terbuat dari bambu yang disusun berjajar panjang di tengah danau. Cara tangkap ikan itu sudah ada sejak ratusan tahun dan menjadi ikon budaya Kecamatan Pamona, Kabupaten Poso.

Fredi merupakan keturunan ke-3 yang menggantungkan ekonomi dari situ. Dia salah satu dari tiga pemilik wayamasapi yang masih setia menjaga budaya itu meski diimpit alat keruk Danau Poso untuk megaproyek perusahaan. Sementara ratusan lainnya sudah terusir dan diberi kompensasi rata-rata Rp300 juta untuk setiap wayamasapi.

"Kami hidup turun-temurun dari menangkap sogili (sidat). Saya akan pertahankan," Fredi mengatakan di Wayamasapi-nya.

Sejak pengerukan danau dimulai tahun 2019 budaya di sepanjang sungai danau tektonik itu berkurang bahkan nyaris punah. Dari ratusan di tahun 2018 kini tersisa hanya 3 saja yang masih bertahan dengan jumlah tangkapan yang menurun pula akibat berubahnya ekosistem danau.

"Sebelumnya sehari kami bisa dapat 30 kg sogili dengan harga jual Rp100 ribu per kilogramnya. Tapi setelah pengerukan danau sehari paling banyak hanya 10 kg, itupun tidak menentu," Fredi menceritakan.

Simak video pilihan berikut ini:

Tentang Habitat Sidat Endemik dan Kompensasi yang Belum Selesai

Fredi Kalengke, salah satu pemilik wayamasapi yang tersisa di Danau Poso
Fredi Kalengke, salah satu pemilik wayamasapi atau perangkap sidat yang tersisa di Danau Poso saat memeriksa perangkapnya, Selasa (13/9/2022). (Foto: Heri Susanto/ Liputan6.com).

Turunnya hasil tangkapan sogili itu disebut merupakan dampak langsung dari pembongkaran dasar Danau Poso yang mengubah ekosistem habitat ikan endemik danau tersebut.

"Selain karena rusaknya habitat, aktivitas pekerja dengan lampu yang sangat terang juga membuat sidat bersembunyi," peneliti dari Institut Mosintuwu, Kurniawan Bandjolu, mengungkapkan, Rabu (14/9/2022).

Penurunan populasi sogili atau sidat diperkirakan akan terus terjadi dan mematikan usaha wayamasapi warga yang sulit bertahan jika pengerukan danau terus dilakukan. Padahal, sidat di Danau Poso punya keunikan karena endemik.

Dari 18 jenis sidat di dunia, 9 spesies hidup di Indonesia, dan 5 di antaranya di Danau Poso, yaitu Anguilla marmorata, Anguilla bicolor pasifica, Anguilla celebensis, Anguilla borneensis, dan Anguilla interioris. Anguilla marmorata adalah yang paling banyak ditemukan.

Semua kerusakan itu, kata Kurniawan, mesti jadi tanggung jawab perusahaan.

Sebagai pemilik wayamasapi yang tersisa Fredi mengaku terus dirayu perusahaan yang mengeksploitasi Danau Poso untuk menerima kompensasi yang tidak adil dan meninggalkan budaya yang menghidupinya selama ini.

"Kompensasi ditawarkan perusahaan selalu merugikan. Kami sekarang minta Rp2 miliar untuk setiap wayamasapi agar kami punya modal untuk berusaha atau tidak sama sekali. Ini budaya kami," Fredi menegaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya